Prolog

7.8K 430 139
                                    

Hanya seperti hari - hari biasanya. Di Rabu pagi yang cerah. Hanya suara angin sepoi dan juga beberapa tangkai daun yang bergemerisik membentuk sebuah melodi irama yang selaras dengan cuitan burung gereja yang kebetulan hinggap di atas tangkai pohon atau pun loteng rumah. Embun masih enggan untuk hilang dari tempat singgahnya semalam suntuk membuat beberapa benda ataupun tumbuhan masih terlihat basah. Pembatas balkon masih dingin di bawah permukan kulit putihnya. Buir - buir air yang berada di ujung surainya jatuh bersama dengan gravitasi bumi yang selaras. Handuk yang mengalung di sekitar tengkuknya ia pakai untuk mengeringkan Surai pirang nan basahnya. Hanya hingga persekian menit, kerusuhan mulai terjadi di dalam dapur besar nan mewah itu.

"Benda ini gunanya apa? Mengapa seperti ini bentuknya? "

"Itu untuk mengoles selai, bodoh. "Pemuda bertubuh tinggi dengan Surai pirang terang itu memasukkan dua lembar roti kedalam pemanggang nya lalu beralih kearah meja makan untuk mempersiapkan sarapan.

"Hey baconnya sudah matang. Apa lagi? "Tanya yang bersurai hitam lalu meletakkan semua bacon kedalam tiga piring dengan jumlah yang setara. Kedua tubuh tegap itu tampak memenuhi dapur saat pemuda yang baru saja berada di balkon itu masuk dan menyusul di antara kedua tubuh besar itu. Bersyukur memiliki tubuh kecil nan ramping.

"Aku akan membuat susu dan teh. "

"Aku susu. "Ucap yang bersurai hitam.

"Aku teh. "Jawab si pirang yang tengah memasang pin namanya. Nana Adiwiyata Jaemin Satya. Begitulah yang tertera di sana lalu menaruh kedua pin lainya di atas meja makan.

Pemuda dengan tubuh gagah dan salah satunya pemuda yang tidak merubah warna rambutnya di ruangan itu mengambil pin dengan nama Jeno Li Pamungkas dan memasang nya di kemeja sekolahnya lalu memasangkan pin dengan nama Renjun Anya Prasetyo di kemeja milik pemuda bertubuh ramping yang sedang mengaduk susu di dalam gelas.

"Nah telurnya sudah matang. Susu dan teh sudah siap. Roti panggang juga sudah. Aku akan mengambil barang - barang di kamar. Kalian sarapan lah terlebih dahulu. "Ucap Jeno lalu berjalan meninggalkan Renjun dan juga Jaemin di meja makan dan menyantap sarapan mereka. Jeno kembali dengan tiga tas punggung berbeda warna di tanganya. Satu bola basket yang ia kempit di antar lengan dan tubuhnya. Dua jam tangan dan juga satu handphone.

"Dimana jam tangan mu? " Tanya Jeno kearah Jaemin yang tengah menyesap tehnya. "Aku meninggalkanya di loker. "

Jeno segera mengabaikanya dan memilih untuk duduk dan ikut sarapan saat Renjun telah menyesap buiran terakhir dari susunya dan membawanya ke arah tempat pencucian piring lalu beranjak ke depan.

"Handphone ku... Dimana? "Tanya Jaemin seraya meraih tasnya.

"Ada di dalam tas mu. "

"Baju ku? "

"Sama. Di dalam tas. "

"Sepatu ku? "

"Astaga tuan Na!? Kau kira aku ini apa!? "Pekik Jeno kesal seraya mengurut pangkal hidungnya yang merasakan pening bertubi - tubi.

Jaemin mengerjap dengan wajah polos yang menyebalkan. "Babu ku bukan? "Jawabnya lalu terkekeh dengan suara dan ekspresi yang menyebalkan. Membuat Jeno mau tak mau memukul kepala itu dengan kepalan tanganya yang membuahkan sebuah ringisan sebelum Renjun kembali dan meraih sesuatu dari balik kantong tasnya dan mengaca di depan microwave untuk melapisi bibir merahnya dengan lipbalm dengan rasa coklat itu.

"Apakah kau harus melakukan itu? Tampak seperti perempuan. "Ujar Jaemin dan kembali di pukul oleh Jeno saat Renjun membalikkan badanya tak sempurna lalu kembali menghadap ke arah microwave.

𝑩𝒂𝒃𝒚 𝑱𝒊𝒔𝒖𝒏𝒈?Where stories live. Discover now