JEON

432 68 2
                                    

Lelaki berkulit pucat itu menghela nafas ketika baru saja ia memasuki ruangan pribadinya yang diberi sandi. Terlihat satu onggok manusia yang terbaring sembarangan di sofa hitamnya. Adik termudanya.

Siapa lagi. Tidak ada yang sesuka hati masuk ke dalam teritorialnya tanpa meminta izinnya terlebih dahulu. Perlahan ia membuka laci kedua dari bawah di lemari bukunya. Mengambil selimut rajut dari bulu domba berwarna krem dan perlahan menutupi tubuh yang meringkuk di bawahnya.

Tok tok.

"Kak..." ia menolehkan pandangan ke arah pintu yang diketuk perlahan dengan posisi setengah terbuka. Tersenyum mendapati tamunya dan mengangguk samar, mempersilahkannya memasuki ruangan.

"Sudah sedari tadi dia di sini? Sebelum kita pergi?" Tanya tamunya. Park Jimin, yang perlahan menyimpan piring aluminium foil di meja kakaknya berisi beef gyro dari restoran cepat saji favorit si Kakak.

"Sepertinya ketika kita di luar. Hoodienya sudah dingin terkena AC..." ia berdehum. Lalu mengelus pelan manusia yang tertidur.

"Kadonya sudah disimpan di kamarnya, Jim?" lanjutnya. Yang ditanya mengangguk antusias sambil merendahkan tubuhnya, di hadapan lelaki yang tertidur dengan wajah damai. Berusaha tidak mengeluarkan suara sama sekali walau ia tahu jelas jika ada gempa berkekuatan tinggi pun, Sang Pangeran Tertidur ini tidak akan dengan mudah terjaga.

"Kak, lihat wajahnya... imut sekali..." Park Jimin berkata dengan nada berbisik. Tangan kiri menggapai telapak tangan kanan Si Kakak yang berdiri di sampingnya, merematnya sekuat tenaga. Si Kakak mengangguk sambil tersenyum. Ia balas meremas telapak tangan mungil itu ketika pemiliknya perlahan mencondongkan diri dan mengecup hati-hati kening lelaki yang terlelap tak bergerak.

Min Yoongi terlalu merasa diserang dengan pemandangan di hadapannya. Park dan Jeon tidak boleh ada dalam satu adegan. Terlalu berbahaya. Terlalu menggemaskan.

Kakak Min dan Kak Park.

*

"Ya ampun, Joon, jika kau menaruh bawang bombaynya di situ, lalu aku isi dough ini pakai apa, buah ceri?"

Pukul enam sore dan belum ada penghuni yang pulang dari liburannya, terdengar dua suara cukup bising di area dapur bersih tempat tinggal mereka. Satu lelaki berada di counter samping kitchen sink, dan satu lelaki lain terlihat duduk tekun sambil mengiris bawang bombay di mini bar.

"Uhh, maaf, Kak. Aku terlalu excited..." lelaki yang dipanggil Joon itu tertawa renyah untuk kebodohannya membedakan bahan-bahan masakan.

"In my defense, dough with cherry on top sounds good though..." ujarnya lagi sambil mengambil sehelai tisu makan di samping kanannya. Mengelus pelan pipi yang tercoreng sedikit lelehan cokelat dari orang yang ia sebut 'kakak' di hadapannya. Lelaki yang lebih tua berdecak mendengarkan alasan tersebut lalu menggumamkan 'terima kasih' singkat lalu mengambil satu ceri berukuran paling kecil dan mengarahkan buah merah itu ke mulut manusia di hadapannya. Joon selalu menyukai ceri.

"Ayo kita selesaikan ini segera. Hose bilang mereka sudah dalam perjalanan kemari." Mereka mempercepat pergerakan tangan setengah kali lipat sambil terus mengobrol ringan.

"Aku sedari tadi membayangkan wajahnya yang sumringah melihat chocolate cake kesukaannya dibuatkan oleh Kakak Favoritnya. Wajah Jeon kita pasti akan semakin terlihat seperti kelinci..."

"Mm hmm... apalagi jika ia tahu aku dibantu satu Kakak Panutan Hidupnya. I can see how he scrunches his nose, fully red ears while saying thank yous..."

"Kak Jin jangan mulai, aku bisa mati gemaas..." Lelaki Joon lalu mengerang penuh derita sambil meremat pisau dan bawang di tangananya sekuat tenaga. Disusul Kak Jin yang mengiyakan sambil tertawa sampai matanya berair. Joon mengambil tisu di sisi kanannya lagi.

Dua Kim tertua.

*

"Kak Hosee..."

Jung Hoseok sebenarnya tidak perlu menolehkan kepalanya, tahu benar suara siapa yang mengalun manja, dan kedua lengan siapa yang merangkul pundaknya dari belakang itu. Wangi parfum pemeluknya terlalu familiar. Favoritnya

"Hmm?" Kak Hose menjawab dengan gumamam . Ia menyandarkan kepalanya ke samping sambil kedua tangannya berpegangan ke lengan kekar yang melingkar di dada.

"Terima kasih ya, tadi. Masakan Kakak enak. Aku belum sempat ucapkan itu sepulang kita piknik..." ujar lelaki bersuara madu itu hamper seperti gumaman. Terlalu sibuk menyurukkan kepalanya ke ceruk leher kakaknya. Mengusakkan hidungnya ke helai rambut lembut kakaknya yang wangi buah apel. Favoritnya.

Lelaki Jung itu segera menoleh ke kanan. Membuat adiknya menjauhkan wajahnya dengan tidak rela dari leher kesayangannya.

"Hei..." suaranya lembut, begitu juga dengan kecupan ringan yang mendarat di pipi Jeon. Merah muda menjalari wajah keduanya tapi mereka tak pedulikan. Sudah terlalu biasa.

"Apa yang kukatakan soal 'terima kasih'? Jangan lagi, ya? Atau tidak aku ajak lagi?" ujarnya dengan tatapan galak. Membuat pemuda Jeon memberengut lucu. Mengetatkan pelukannya dan menggusak lehernya lagi. Poni panjangnya membuat Jung Hoseok meremang namun ia menikmatinya. Meremat lengan Jeon semakin kuat.

"Mmm... tidak terima kasih lagi. Ajak aku piknik di pinggir sungai lagi. Cepat. Jangan pergi-pergi jauh lagi." Jika Jung bergeser lima puluh sentimeter saja dari lelaki Jeon yang menempelinya seperti mollusca, sudah jelas ia tidak akan bisa mendengar apa-apa. Suara adiknya berbisik dan teredam penuh. Nadanya kesal tapi malu-malu.

Tidak sopan.

Kak Jung puas terbahak kencang sampai matanya hilang di balik pipinya.

*

Suara ketukan khas yang mereka khusus bagi berdua membuat manusia di dalam ruangan itu berdegup hingga tersentak sekejap. Seharusnya kau tidak usah melakukan itu, Jeon, mengapa formal sekali

Setelah berdeham sebentar, ia berjalan pelan menuju pintunya. Sambil mengatur nafas. You liked it, don't you? Please do oh my God don't hate me please please pleasee. Ok, breathe.

Perlahan ia membuka pintu kamarnya.

"Repot-repot sekaliii..." ia langsung disambut oleh wajah protes dengan penuh kerutan yang, sungguh, tidak mengintimidasi sama sekali. Ia hanya tertawa canggung sambil menggaruk tengkuknya.

"Kau ingin sekali mengoleksi semua warnanya dan menjadi menyebalkan ketika mereka sold out waktu lalu. Maka aku langsung hubungi desainernya untuk membuatkan khusus sesuai ukuranmu. Dengan semua warna. Just like how you like it?"

Wajah di hadapannya melunak. Manusia itu menyugar surai panjangnya ke belakang, demi Tuhan

"Just like how I like it, yeah. Uhh. Kau masih ingat rupanya..." ujarnya sambil tersenyum seperti anak kecil. Matanya menghilang di balik senyumnya. Sungguh tidak memiliki jiwa tenggang rasa terhadap manusia di hadapannya.

"Tentu saja, Jungkookie! Jangan meremehkanku..." gantian ia yang merengut sambil mencubit ujung dagu lelaki di hadapannya. Wajahnya memanas entah karena apa, dan pembuluh darah ke jantungnya sepertinya menurun. Rasanya agak sesak.

"Uhh, terima kasih, Kak Tae..." Perlahan Jungkook menangkap telapak tangannya dari wajahnya dan menggenggamnya erat ke arah dadanya sendiri sambil berucap lebih mantap,

"Terima kasih banyak..."

Sambil tersenyum. Jeon yang sedang berulang tahun ini memang tampan sekali. Lihatlah itu bagaimana bilah bibirnya tersenyum. Kak Tae mulai berpikir untuk mengakuisisi seluruh toko pemilik favorit desainer manusia di hadapannya jika memberi limited edition stuff padanya semenyenangkan ini.

Kim Paling Muda.

.

.

by: 

GOLDEN DAY | Jeon Jungkook ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang