JUNGKOOK

402 64 3
                                    

Jeon Jungkook namanya; di permulaan September tahun 1997 itu ia diberikan kesempatan melihat dunia untuk pertama kali. Yang mana kelahirannya disambut bahagia oleh keluarga. Dan mungkin beberapa tahun setelahnya; kelahiraannya disyukuri sebagai karunia terindah yang pernah diberikan Semesta.

.

.

Semesta pernah bilang padaku, hari itu. Beberapa waktu sebelum sosok Jungkook lahir. Kala itu aku tidak mengerti soal apa yang dibicarakannya. Hanya saja ia terus menerus bercerita soal cinta. Cinta yang seperti apa, Semesta tidak ingin menjawabnya secara spesifik.

"Urusan cinta biarlah menjadi makhluk-makhluk yang punya nyawa."

Semesta bilang, ia akan memberikan suatu kado terindah. Yang datang kala Agustus menutup usia dan September menangis ketika dilahirkan ke dunia.

"Kado seperti apa?"

Semesta tersenyum. Syahdu dan lembut. Serta penuh misteri. Sama persis seperti seperti yang selalu dibicarakan manusia bahwa Semesta memiliki banyak misteri.

"Mungkin kau akan tahu nanti,"

.

.

Hari itu Semesta mengajakku turun, melihat sang bayi lelaki yang lahir pada 1 September itu. Ah, pipinya gembil. Ada roman bahagia yang mengusik hatiku ketika menatap bayi dalam gendongan sang ibu.

"Kau tidak ingin memberikan sesuatu untuknya?" Semesta bertanya padaku. Aku mungkin terlalu sibuk melihat raut-raut wajah keluarga yang menyongsong bahagia.

"Jadi ini yang kau lihat dan membuatmu jatuh cinta?"

Semesta tersipu. "Bukan. Perasaanku tidak serta merta sebatas cinta, biarlah nanti orang-orang yang melihatnya merasakan hal demikian."

"Kadoku, adalah sebagaimana mereka melihat ke dalam jendela jiwanya; mereka akan menemukan rupa semesta."

Ada bintik-bintik berkilauan menyentuh pipi gembil bayi itu. Bayi itu bernama Jeon Jungkook. lelaki yang takdirnya membuat Semesta jatuh cinta.

"Maka kadoku adalah ia menjadi emas," ada haru biru ketika Semesta menjentikkan jemarinya.

"Emas? Maksudmu ia berubah menjadi patung? Atau penambang emas? Atau juragan emas?"

Semesta menggeleng;

"itu tugasmu melihatnya tumbuh menjadi emas."

.

.

Maka aku menyadari karunia Semesta kepada Jungkook. anak lelaki itu menjadi emas, di usianya yang masih belia. Kali ini kutemukan suaranya, ketika ia bernyanyi ia menjelma menjadi berkilau. Lebih dari apapun yang pernah kulihat di bumi.

"Semesta menganugrahkan segalanya pada bocah lelaki itu," si cantik bersayap halus itu memuji Jungkook. Ketika mendengar nyanyiannya, ia merasa mendengar tempatnya pulang.

"Semesta mencintainya, bahkan jauh sebelum ia dilahirkan."

Si Cantik mengangguk lagi, "benar. Dan kau mencintainya pula, sebab setiap kali kutengok mata Jungkook—kutemukan refleksi Semesta yang berkilauan disana."

Bocah ini benar-benar tumbuh menjadi emas; seperti yang diberikan Semesta. Ia menguasai banyak hal, bahkan yang mungkin sulit dilakukan. Ia cepat mempelajari hal baru. Dan aku; aku merasakan haru biru ketika melihatnya tumbuh.

Usianya masih sangat belia, ketika ia memilih untuk menjadi trainee dan berharap menjadi selebritas. Aku sedikit cemas, khawatir; melihat Jungkook bekerja keras siang malam. Dikirim ke luar negeri, ia masih sangat belia, mempelajari ini itu.

"Jungkook punya banyak hari-hari berat."

Aku mengadu pada Semesta. Setelah kulihat Jungkook tertidur dengan raut kelelahan.

"Emas tidak didapatkan dengan mudah. Bila begitu mudahnya, mungkin bukan emas—melainkan batu kerikil,"

"Kupikir kau benar-benar mencintainya, memberikan segalanya."

Semesta melihat raut gelisahku, lalu tersenyum.

"Aku mencintainya dengan caraku sendiri. Bukan tugasmu mempertanyakan, tapi esok hari. Lihatnya bagaimana aku memang benar mencintainya,"

.

.

Aku sedikit cemas. Kulihat jalan itu sangat panjang dan berliku. Berat sekali, seolah mimpi Jungkook adalah sebuah jalanan tanpa akhir. Mereka bilang, agensinya kecil, miskin—tidak punya nama. Kadang lucu juga, aku melihat Jungkook dengan image-nya di atas panggung. Padahal ia bayi mungil, berpipi gembil dan bergigi kelinci yang kusukai. Melihatnya memakai eyeliner tebal, dengan pakaian gelap dan melakukan rapp dengan gahar.

Jungkook; lama kelamaan aku mengetahui seberapa besar Semesta menyayangi bocah itu. Ketika tahun beranjak tahun, aku tahu bakatnya tumbuh. Golden boy. Jungkook menguasai segalanya, tawanya pun menjadi sesuatu yang begitu menyenangkan untuk dilihat. Kepribadiannya bersinar, berkilauan seperti emas.

Lalu tahun-tahun yang beranjak semakin tua; aku semakin menyadari pula bahwa Semesta telah menggariskan Jungkook demikian. Agensi tempat Jungkook bernaung, semakin berkilauan. Seolah sebagaimana yang pernah menjadi harapan Jungkook. Mereka—kakak kesayangan, memang benar halnya mengisi satu sama lain sehingga serupa indah.

Ah, Jeon Jungkook.

Bayiku—melihatnya benar-benar menjadi emas berkilauan. Ia tumbuh menjadi lelaki. Aku mencatat banyak, kadang kuadukan pada Semesta.

"Jungkook tidak suka minuman pahit,"

Semesta berkomentar sedikit, ketika kutunjukkan soal rupa Jungkook menjadi lucu ketika menyesap kopi. "Ia suka sekali susu pisang, dan ramen."

Kadang Semesta berkomentar, soal mata Jungkook yang berbinar. Kala kutunjukkan beberapa foto, seolah mata Jungkook merefleksikan keindahan Semesta dalam kerjaban sekilas.

.

.

Jungkook akan berulang tahun lagi, akhir minggu ini. Ia akan semakin menjadi lelaki dewasa, meski dalam benakku ia tetap serupa bayi gembul menggemaskan. Si perebut hati yang berkilauan. Terlebih sekarang rambutnya dibiarkan memanjang, senyumnya menggoda dan tingkahnya yang berkilauan. Mungkin lain waktu aku ingin menulis lebih banyak; untuk si Golden Boy—Jungkook. Soal kisahnya. Soal dirinya. Soal keemasannya.

Hari ini, sudah lebih dari cukup—waktunya melaporkan kepada Semesta.

Mungkin esok hari, beri aku waktu lebih untuk menceritakan Jeon Jungkook kepadamu.

.

.

by: __erfynt

GOLDEN DAY | Jeon Jungkook ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang