Chapter Eight

43.7K 1.2K 67
                                    

I'm in a big trouble!

Darah rasanya terkuras habis dari wajahku. Tanpa sengaja mulutku sedikit membuka dengan tidak anggunnya saking terkejut setelah dihadapkan oleh kenyataan yang ada.

Dia, manusia tampan tapi brengsek yang sedang menatapku tajam itu, ternyata adalah bos Aquila Enterprise yang secara tak langsung adalah bosku!

Jadi, aku sudah bersikap tak sopan dan menubruk petinggi perusahaan ini? Ehm... ralat, PEMILIK perusahaan ini tepatnya??

I'm so dead!!!

Cepat-cepat kutenangkan diriku. Aku menundukkan wajah untuk memutuskan kontak mata kemudian tersadar akan map terakhir dalam genggaman yang seharusnya kuserahkan padanya. Duh Gusti, inikah cobaan?

Aku melangkah takut-takut kearahnya dan menaruh map di meja. Saat berbalik hendak melangkah keluar ruangan, lenganku ditahan. Aku menoleh dan mendapati matanya menatapku dingin.

"Antar kopiku ke sini. Kau, tunggu di ruanganku" Ucapnya datar tanpa menggunakan kata tolong di dalam kalimatnya.

Grrrrrrr......

Bukan rahasia lagi kalau aku benci orang kaya. Terlebih, aku benci orang kaya yang tidak tahu sopan santun! Rasa bersalah dan takut yang semula menghantuiku, kini lenyap tak berbekas.

Sekilas, aku melihat Mas Dimi duduk berseberangan tak jauh dari tempatku berdiri. Raut wajahnya tak terbaca. Rasanya ingin sekali aku memasang tampang memelas padanya, tapi aku tahu itu kekanakan. Menit berikutnya, aku sudah keluar menuju pantry.

Sesuai permintaan, kuantar kopi untuk Mr. Dante dua puluh lima menit kemudian dan dihadiahi alis terangkatnya yang seolah mengatakan 'apa kau beli racun dulu untuk kopiku?'. Lantas aku bergegas menuju ruang CEO.

Jujur saja, aku merasa tidak nyaman karena harus menunggu dia di ruangannya. Tapi, aku tidak bisa mengeluh kan? Bisa jadi dia mau memarahiku karena kejadian bodoh tadi.

Kuedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan yang baru kali ini aku datangi. Hal yang pertama kali kusadari adalah ruangannya harum. Harum parfum pria yang maskulin dan menyegarkan bercampur pengharum ruangan yang tidak menusuk hidung. Kucermati isinya tanpa susah-susah menganalisa. Well, benar-benar tipikal ruangan pria.

Hitam menjadi tema warna ruangannya. Design interiornya minimalis. Terkesan kaku, dingin dan tidak hidup. Mencerminkan pemiliknya kurasa. Aku duduk di sofa kulit dan mulai merangkai prediksi kemarahan yang akan dilontarkan Mr. Dante. Lelah menebak-nebak, aku mulai membaca koran yang tersedia di meja. Halaman demi halaman kubaca habis sampai tak terasa satu jam lebih sudah terlewati.

Kupijat tengkuk yang kaku seraya menguap. Aku memang cepat merasa bosan jika harus menunggu seseorang tanpa banyak yang bisa dikerjakan. Belum lagi kenyamanan AC dan aroma khas lelaki yang memenuhi udara bagai bius yang mengajakku terlelap.

Suara jarum jam dinding yang monoton membuaiku perlahan. Mataku jadi berair dan tak kuat lagi bertahan hingga gagang pintu yang tiba-tiba berbunyi membuatku terhenyak. Berganti dengan kewaspadaan. Aku bangkit berdiri dan bersikap tegak.

Mr. Dante memasuki ruangan. Matanya langsung bertemu mataku dan seakan menelanjangiku. Nyaliku menciut. Perutku mulas. Ketegangan dan kecemasanku datang kembali. Belum sempat aku menarik nafas dalam, dia mendekatiku dengan tatapan dinginnya. Hal paling masuk akal yang dapat kulakukan ialah menelan ludah dengan susah payah.

Sorot matanya masih setajam saat pertama kali aku melihat dia. Aku tak mampu berpaling. Tatapannya seakan menyiratkan kekuasaan penuh terhadapku. Ia mempersilahkanku duduk tanpa kata dan disusul dirinya sehingga kami berhadapan.

Trapped by YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang