Dia sama saja.

10 2 0
                                    


Sreggg...sregg...sregg...

Viona termenung sambil menggerakan kakinya agar ayunan dapat bergerak.

"Ehemm..tes 123. Apa kau masih ingat aku, iblis dengan sejuta ketampanan" Sapa jack pada gadis yang masih termenung itu. Awalnya ia ingin membuat Viona tertawa, tetapi tidak jadi karena Viona menanggapiny dengan dingin.

"kenapa kau menipu Jeremy?" Viona mendonggakan kepalanya menghadap Jack dan menatap nya intens seolah memiliki arti jawab yang benar sekarang juga!!"

"Yang mana atau mungkin bagian aku menipu kalau dia berusia 1000 tahun dan bilang padanya kalau ia adalah karyawan iblis serta harus melakukan tugas iblis, begitu?" tanya balik iblis itu.

"kenapa?" Tanya Viona pelan sambil menatap kakinya.

"karena jika dia mati, pasti dengan  mudah ia menjadi Iblis karena dia sudah terbiasa, anggap saja seperti latihan awal" jelas Iblis itu lalu duduk di ayunan sebelah Viona. Iblis bernama Jack itu mulai mengayunkan ayunannya.

"Harusnya aku tak menyuruhnya masuk dan membiarkannya menjadi iblis agar dia selalu bersamaku. Aku rela jadi iblis jika harus bersamanya. Karena aku pernah bersikap acuh pada siapa saja. Kecuali Jeremy, orang yang mengembalikan senyumku dan aku akui aku terjatuh padanya." Jack yang mendengar itu menjadi ikut sedih sekaligus terharu. Jarang sekali orang yang sukarela menjadi iblis. Jack pun memberhentikan ayunannya dan mulai berfikir.

"Aku punya solusi, kau ajak saja dia ketempat dimana kalian pernah berkunjung. Kalau dia tidak ingat juga maka aku akan membisikan cara yang paling mutakhir, jika kau memang mencintainya." Jeremy menawarkan solusinya pada Viona. Viona yang mendapat cara mutakhir yang dimaksud Jack pun langsung mengangguk.

"terimakasih" ucap Viona dengan sungguh sungguh.

.........................................................

Keesokan harinya, Viona mendatangi ruang Ceo. Kebetulan Jeremy berada disana.

"selamat pagi, saya ingin berbicara sebentar" Jeremy mengangguk lalu mempersilahkan Viona duduk melalui isyarat tangannya.

"ada apa, soal kemarin?" tanya Jeremy.

"jika anda ingin tahu siapa saya, maka ikut saja denganku" Viona sengaja menirukan kata kata yang sering ia ucapkan kepada Jeremy dulu.

"baik" Viona terkejut, dengan mudahnya seorang petinggi seperti Jeremy menyetujui hal sepele yang mungkin saja bisa di tolak. Tidak ingin kesempatan itu hilang, Viona memesan langsung 2 tiket pesawat yang namanya berjuang,  biasanya tak jauh jauh dari namanya rugi. Mereka pergi bersama hari itu juga. Tempat pertama yang di kunjungi adalah rumah kecil Viona. Viona menjelaskan awal mulanya bertemu Jeremy.

"Dulu kau sering memanjat atapku dan aku selalu bilang jangan mengacak atapnya karena tangga ku dipinjam tetangga" Jeremy masih diam. Ia hanya merasakan kerinduan besar namun rindu akan apa?

"aku seperti dejavu" Jeremy menyentuh dadanya, ia ingin tangannya membenarkan sebuah perasaan yang mungkin bertengger didadanya. Rasanya seperti rindu.

"ayo ikut aku, dilurusan sana akan ada taman kanak kanan. Kau ingat itu, sewaktu kau memberi permen saat salju pertama turun. Malam itu , taman kanak kanak merayakan natal aku masih bisa mengingatnya dengan jelas." ucap Viona tanpa sadar sudah sampai ke taman kanak kanak. Ia menatap bangunan yang penuh kenangan itu. Dimana ia mengajar anak anak kecil disana.
Viona dengan senang hati membawa Jeremy kemana saja dengan harapan Jeremy mengingat dirinya.

Sudah hampir tengah malam. Mereka berkeliling kota kecil itu. Namun, tak ada satupun dari tempat itu yang membuat Jeremy ingat.

"sudahlah, aku menyerah" Jeremy berkata pada Viona tanpa memikirkan perasaan Viona.

"Sebelumnya, aku ingin mengatakan kalau aku mencintaimu, aku sadar dan mengakui itu ketika aku benar benar kehilangan sosok Jeremy yang selalu menjahiliku" Masih tidak mengerti dengan perkataan Viona, Jeremy hanya menganggap Viona layaknya orang sakit. Jeremy berfikir, kalau tidak pernah bertemu bagaimana bisa salah satu pihak saling mencintai.

"mungkin kau salah orang" Awalnya Jeremy ingin meyakinkan kalau yang dimaksud Viona itu bukan dirinya.

"Perhatikan perkataanmu Jeremy. Sewaktu waktu, kata itu bisa menjadi umpan balik dalam hidupmu" Ucap Viona.

Prinsipku adalah sekali aku mencintai aku akan mencintai sedalam mungkin. Namun jika aku telah membenci. Untuk tersenyum saja bukan hal mudah aku baginya.

Prinsip itu tidak datang dengan sendirinya. Prinsip itu datang dari kisah masa lalunya yang kelam. Yang membuat dirinya berhenti untuk tersenyum kepada pria.

Mendengar Jeremy berkata bahwa ia salah orang, membuat Viona seolah terdorong ke masa lalu. Jeremy sama saja seperti mantannya dulu.

Flashback

Hari kelulusan tiba, sepasang remaja sedang merayakan kelulusan mereka. Viona mendapat ipk yang lumayan tinggi. Begitu pula dengan Rio.

"Rio, kalau aku sudah menjadi perancang terkenal. Kita harus segera menikah ya!" pinta Viona sambil meletakan kepalanya di bahu Rio. Rio yang menyadari itu mengecup pelan puncak kepala Viona.

"pasti, pokoknya cita cita aku jadi Dokter dan bisa ngobatin kamu yang selalu fokus sama rancangan kamu." ucap Rio langsung memdapat cubitan dari Viona.

"aduh aakit tauuuu" ucap Rio dengan manja.

"dasar"

Saat mereka mengejar impian mereka masing masing. Kedekatan mereka seolah olah menjadi kurang. Suatu hari Rio memutuskan Viona dengan alasan yang tidak jelas.

"maafkan aku, aku tidak punya waktu untuk mengurus hal percintaan. Kau tahu, cita citaku yang ingin jadi dokter membuatku harus merelakan semua waktuku hanya untuk belajar." ucap Rio dengan tenang seolah tak terjadi apa apa. Lain halnya dengan Viona yang sudah menitikan airmatanya.

"Kamu gak bercandakan, kalau kamu bercanda aku maafin kamu." ucap Viona membulatkan matanya seakan akan hal itu dapat mencegah jatuhnya air mata.

"Apa aku terlihat bermain main" Rio menyilangkan tangannya diatas dada lalu memperbaiki syalnya yang agak miring.

"oke. Kita selesai hari ini. Aku anggap tidak ada penyesalan diantara kita. Baik kamu atau aku. Kita sudah selesai." Viona menghentikan tangisnya lalu menatap Rio dengan mengerikan.

"Selamat malam sa~" perkataan Viona terputus saat ia melihat ada benda yang memiliki 2 garis biru.

"itu punya siapa?" tanya Viona bingung, setahunya tidak ada yang tinggal disini selain Rio. Kalau bertamu pun hanya dirinya.

"baiklah aku jujur, aku ketahuan." Rio mengangkat tangannya seolah olah Rio tertangkap basah oleh polisi sedang melakukan tindakan kriminalitas.

"aku menghamili Tere." Ucapnya.

"Tere?" Viona masih bingung, banyak nama Tere yang ia kenal.

"Tere sahabatmu, aku bosan berhubungan denganmu. Kau tahu hiduomu terlalu lurus untuk diriku yang berliku liku. Kau tau maksudnya. Kesenangan duniawi" Rio membisikan kalimat menyeramkan itu tepat di telingan Viona.

"Kalau tau begini alasannya. Kenapa aku harus menangis. Menangisi pria buruk sepertimu tentu bukanlah passionku" Viona langsung pergi dari apartmen milik Rio. meninggalkan Rio dengan kesantaiannya. Toh dia juga bisa bersenang senang dengan Tere.

Flasback end.

Sejak saat itulah Viona sangat membenci berhubungan apalagi yang namanya cinta. Dia selalu menegaskan bahwa semua pria itu sama saja. Namun Jeremy mengubah segalanya, walaupun dulu masih ada rasa gengsi tetap saja sekarang Viona tampak sengaja mengusir rasa gengsi itu.

"jangan rapuh, Viona. Perjuangan pasti membuahkan hasil"





7 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang