#6 "They Never Know, Except You" (Part 2)

326 41 0
                                    

Chapter edited
.
Rangkaian acara penyambutan anggota baru club berakhir di suatu tempat makan di dekat kampus.

Jimin melihat beberapa makanan berwarna merah dengan aroma menyengat telah hadir di meja. Suara sendok diangkat dari meja membuatnya reflek menoleh. "Terakhir kuingat kamu bilang tak suka makan pedas Seul?" Jimin refleks berkata begitu sambil mencegat tangan yang akan mengambil kuah merah tersebut.

"Aku mau menghilangkan rasa stressku dulu Jim, tolong singkirkan tangan sucimu." Dasarannya Seulgi itu gadis tak tahu diri, tadi berusaha mengemis minta pertolongan kepadanya, dan sekarang Jimin seolah-olah ditolak?

Di jidat Jimin seolah bertuliskan,

Warning! Jimin sedang sensitif

"Jimin sudah punya pacar?"

Tanpa petir, timbul badai. Sungguh, pertanyaan apa itu? Ada kata bernama privasi!

"Mungkin?" Jimin tidak tahu, ia harus menjawab atau tidak. "Saya bisa menyimpan jawabannya untuk saya sendiri kan senior?" "Hahaha jawabanmu seperti lelaki brengsek yang sedang menyembunyikan sesuatu Jim. Pacarmu bisa marah mendengarnya. Tapi lucu deh tampang polos kamu."

Jim? Lucu? Serius? Jimin sangat tidak suka panggilan sok akrab itu keluar dari orang-orang yang lancang mengorek informasi pribadinya. "Jangan berkata begitu senior. Rasanya tidak nyaman. Kita bahkan tidak akrab sama sekali. Dan, saya tahu betul saya bukan brengsek."

"Sekarang mungkin belum akrab saja, Jimin-ssi. Selow~ modus doang itu, dan, kau kenapa sih Yeon, ganjen banget." Suara dari lelaki di samping perempuan yang sok akrab itu mencoba memecah kecanggungan.

Tapi Jimin sudah kepalang tersinggung.

"Aku padahal hanya meniru panggilannya temanmu ini kok Jim." Jimin menggeleng. Sudah dibilang, dia sedang sensitif sekarang kan? "Tidak, bukan itu senior. Saya masih baik saja dengan itu. Tapi senior juga sudah menilai saya macam-macam." Jimin tak mau akrab kalau sudah begini.

"Uhuk uhuk auw~" bodohnya Jimin, dia terlalu terbawa suasana meladeni senior-senior itu sehingga lupa dengan challenge aneh Seulgi. Lihat saja sendiri, satu mangkuk besar makanan berkuah pedas sudah raib. Bahkan Seulgi menambah piring lagi dan telah habis setengah. Dan sekarang wajahnya merah, beringus, dan berurai air mata. Mulutnya mengerucut seperti ingin muntah.

Benar saja, Seulgi berdiri dengan membekap mulut. Berlari keluar tanpa merespon semua orang yang menanyai keadaannya.

Jimin menghembuskan nafasnya kasar- kekesalannya berkali lipat. Entah karena masalahnya sendiri, senior-senior sialan, dan Seulgi. Semuanya tercampur aduk.

Dikiranya di perayaan ini dia bisa sedikit merefleksikan masalahnya, dengan sedikit minum dengan tenang. Tapi Tuhan seolah terlalu sayang padanya untuk tidak merusak tubuh dengan alkohol.

Ia berdiri dengan malas, melirik tajam sebentar ke si perempuan genit di seberang meja, lalu melihat ke piring yang ditinggalkan Seulgi. "Pak, saya minta tagihannya yang ini lebih dulu."

*****

"Hoek hoek-" Jimin tanpa jijik duduk di samping Seulgi yang berjongkok di pinggir jalan. Tanpa diminta pun dia tahu harus bertindak apa.

Dengan gentle, mengurut tengkuk gadis berandal tersebut telaten. "Hoek hiks, Jimin perutku sakit hiks, mual, panas, hoek-" "Keluarkan semua sebisamu." Seulgi menggeleng, "sudah tidak mau keluar hiks." Antara memang sudah berhenti atau gadis itu malu muntah di hadapannya.

Jimin membuka tutup botol air putih yang dibawanya dari dalam restoran. Menyiram muntahan Seulgi, sebagai kode supaya tidak perlu malu. "Jangan sok kuat, aku di sini bersamamu, bukan ingin menertawaimu."

"Kamu juga jangan sok kuat Jim." Apa? Jimin bertaruh Seulgi mendengar adu bacotnya tadi. Atau karena raut muka nelangsanya?

Jimin tersenyum.

Gadis itu menatap Jimin dengan wajah sembabnya, dan sepertinya berhasil menstimulasi Seulgi untuk- "Hoek-"

Gadis berandal

*****

"Kalian masih di sini?" Jimin dan Seulgi hanya saling menatap satu sama lain saat dihampiri oleh seniornya entah bernama siapa.

Perayaan sepertinya sudah usai, para anggota club sudah mulai menampakkan dirinya dari dalam restoran. "Kami mau lanjut ke tempat karaoke, kalian mau ikut?" Sebelum menjawab, Jimin memapah Seulgi untuk berdiri.

"Sepertinya tidak senior, kita pulang saja, teman saya sudah tidak kuat, jadi permisi duluan senior." Jimin dan Seulgi melewati orang-orang dengan berkata mereka duluan. Sampai sesuatu mencegat lengan Seulgi.

"Hei, kamu sepertinya tidak kuat berjalan, mau diantar? Saya bawa motor." Ia senior yang sama dengan yang tadi bertanya. Dan sekarang sedang pamer kunci di depan Seulgi, yang Jimin sangat tahu jika itu kunci dari sebuah motor mahal.

Sialan

Jimin mendengus, dia menyadari lelaki ini adalah orang yang sama dengan yang membela perempuan genit tadi. Ternyata dia berada di meja yang salah, atau semua orang memang genit begini? Jimin jadi ingin segera resign dari club sialan ini, detik ini.

Seulgi hanya terdiam. Efek pedas, atau ia tengah mempertimbangkan tawaran menggiurkan dari si senior anonim sialan.

Jika iya, Jimin akan menyebutnya gadis berandal sampai mati. Setelah bayaran makanan dan muntahan yang menempel di tubuh dan pakaiannya? Teganya! Hah! Jimin terlalu baik untuk ditusuk tapi tak berdarah macam ini!

Sepertinya tugasnya sudah selesai. Dan ini ending-nya.

Jimin dengan perasaan dongkol pun mundur dan mulai berjalan sendiri meninggalkan mereka.

Tapi baru beberapa langkah, matanya membelalak karena sebuah tangan yang menyusup untuk merangkul lengannya. Saat ia menoleh, dia melihat Seulgi dengan wajah pucatnya masih memaksakan senyuman kepada Jimin.
.
.
.
"Jiminie bagaimana?" Seulgi berbisik karena tenaganya habis. Apalagi penopangnya malah melarikan diri. "Dia kan tidak punya motor. Tadi jalan kan kesini?" Seulgi menatap sengit ke lelaki di depannya- "Maaf senior, kau tidak tau rumah saya..."

"Maaf senior, saya tidak kuat menaiki motor jauh-jauh, habis muntah tadi, senior tidak tahu kan? Takutnya senior jadi bau muntahan, saya juga takut tambah mual kalau terkena angin malam. Saya mau naik bis aja, bisa tiduran di dalam. Bagus sekali alasanmu, walau agak tidak logis. Bis ada ac-nya, tetap masuk angin.

Tapi aku kagum, kamu cukup setia kawan." Jimin tersenyum. Tentu dia mendengar dengan jelas penolakan itu karena dia berjalan dengan lambat dan seolah Seulgi sengaja berteriak.

Entah apa yang coba ditungguinya hingga bertingkah begitu-

"Hehe, kamu kan bukan orang asing dibandingkan dengan senior modus tadi. Memang dia mau mengantarku jauh-jauh? Entah apa yang terjadi padaku nanti, kalau bukan kau." -mungkin untuk kalimat ini kah, dia rela menunggu?

Fin

Created 31/08/19

Jangan hujat kegoblokan Seulgi... Jimin tetep menang...

Kalian baca thread twt KKN di desa penari?
Knp ya di tiap tim tuh pasti ada satuuuu gitu yg bisa liattt... Yang sensitif begituann..
Itu yg bikin takut malahannn.... menurutku wkwkwk
Kyk timku kemarin juga wkwkwk

Tapi horornya nggak sampe tikung2an bebeb wkwkwk

BOY WITH LUV (WENGA/SEULMIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang