Bagian 3 Terpilihnya Rayap

31 2 0
                                    

"Hei, Proleti!" Suara seseorang mengagetkanku. Aku yang mulanya merangkak di bawah ranjang bambu reyot milik Bohemi, sampai terperanjat dan terjedot pinggiran ranjang.

Seorang muda kurus sudah berdiri sambil bersedeku memandangku dengan tatapan setengah heran namun juga setengah jijik. Mulutnya yang lebar memenuhi muka tampak merah merona seperti habis nginang. Dia tetanggaku, namanya Bigos. Hobinya seperti wartawan, mencari berita terkini ke sana kemari, lalu menyiarkannya sampai seantero negeri. Mulutnya yang lebar dan tebal merah merona itu kalau sudah bicara seperti air kali di musim penghujan, mengalir deras. Meskipun kebanyakan tetangga memang seperti itu, tetapi tidak ada yang seniat Bigos dalam menyajikan berita aktual. Mungkin dia merasa seperti pembawa acara inpotemen di tipi-tipi yang belakangan memang agak mirip dia.

"Kau sedang apa?" tanya Bigos sambil sesekali menjilat bibirnya sendiri. Lidahnya tidak pernah sanggup menjangkau seluruh bagian bibirnya yang tebal itu. Bahkan tidak meski hanya sebagian.

"Aku mencari Bohemi. Apa kau tahu di mana dia?"

"Tentu saja. Apa yang tidak kuketahui? Tapi, untuk apa kau mencari gelandangan itu? Aku punya sesuatu yang lebih menarik dari pada keberadaan Bohemi," ujarnya sambil nyengir, lebar. Lebar sekali sampai melebihi lebar mukanya. Giginya yang tonggos mencuat seperti ingin menerkam apa saja di depannya.

"Apa?" tanyaku pasrah. Inginku menghindar saja darinya. Namun, sejauh ini belum pernah ada makhluk di negeri ini yang sanggup menghindari Bigos, kecuali eyang Wiki, sesepuh negeri ini yang paling dipercaya.

"Perihal pendaftaran pelayan." Bigos memulai beritanya. "Apa kau sudah tahu siapa yang lulus menjadi pelayan?"

"Untuk apa aku tahu? Toh mereka tidak akan melayaniku. Kecuali kalau ada wartawan di depan mereka. Wartawan sungguhan, bukan kau ya!" Aku menegaskan.

"Isop. Isoptera namanya." Bigos menyebut sebuah nama yang tak asing di telingaku. Meski telingaku hari ini sedang penuh dengan sampah. Ah, sebenarnya setiap hari telingaku juga penuh dengan sampah.

Isop nama panggilannya. Nama lengkapnya Isoptera, bagian Ordo Blattodea, Kelas Insecta, Kingdom Animalia, Fillum Artropoda. Kami semua di negeri ini lebih familiar menyebutnya dengan kata rayap. Sebenarnya, ia adalah seorang pekerja keras yang selalu mencarikan makan seluruh anggota keluarganya. Apalagi ibunya yang sehari-hari hanya rebahan di atas kasur tanah sambil makan, lalu beranak pinak Isop-Isop lainnya. Itulah kenapa Isop melakukan segala cara agar bisa membawa pulang makanan.

"Semakin gila negeri kita ini, ya Let?" celetuk Bigos lagi, ukuran mulutnya yang jumbo itu membuat tumpah air liur hingga tanah menjadi becek, sebecek situasi pemerintahan saat ini. "Untuk mendapatkan makanan, Isop harus menyetor makanan dulu. Sama saja dia mendapat makanan yang dia bawa sendiri, Wokwokwok ...." Bigos tertawa, ala netijen twitter. Sayangnya, itu membuat liurnya semakin deras seperti air terjun.

"Apa yang dia bawa kemarin?" tanyaku sambil berjinjit karena kakiku sudah mulai basah kena liur Bigos.

"Dia bawa beras paling putih di negeri ini, putihnya lebih putih dari gigiku. Dia juga membawa air paling jernih seantero negeri, bahkan jernihnya isi kepala kyai tak sanggup menandingi. Kemudian banyaknya O2 yang sengaja ia kumpulkan dari mencuri pohon-pohon, sampai tak bisa dihitung dengan jari. Sayang, dia tak membawa harapan sama sekali. Ada yang bilang, dia menyelipkan malapetaka di kantongnya." Bigos mengucapkan kalimat terakhirnya dengan setengah berbisik.

Kemudian ia melanjutkan, "semua saingannya mundur seketika dan kembali menjadi bos dekil seperti kau ini. Kau masih ingat anak ibumu yang lain, namanya Proletu? Kemarin dia hanya mendaftar membawa harapan. Dia ditendang pertama kali. Kau tak melayat ke rumahnya? Harapannya mati seketika di tempat kejadian. Mungkin sebentar lagi dikebumikan."

Ah, aku jadi ingat seorang kumuh yang kemarin ikut berdesakan di pendopo sambil menjinjing harapan. Ternyata dia Proletu, saudaraku yang sama miskinnya denganku. Bodoh sekali dia mempertaruhkan hal terakhir yang dia punya untuk bersaing di negeri ini. Otaknya pasti sudah tak fungsi, sama matinya dengan harapan yang ia pamerkan di depan tuan tanah. Seorang tuan yang selalu merasa sebagai pemilik seluruh tanah dan seisinya di Negeri Citran ini.

Aku mau lanjut mencari Bohemi saja. Biarlah Bigos terus nerocos mengikutiku dari belakang.

Negeri CitranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang