Semalaman aku tidak tidur gara-gara mencari keberadaan Bohemi. Kebiasaan lamanya yang suka menghilang tiba-tiba itu kambuh lagi. Padahal sudah sering kunasehati agar dia tidak datang dan pergi seenaknya. Takut kalau nanti dia dibilang PHP. Takut ada yang lari ke kamar mandi, banting pintu, lalu nangis di bawah shower sambil teriak, "Ini hati, bukan parkiran!! Kenapa kau datang dan pergi sesukamu?!"
Aku sudah hampir frustasi mencarinya. Saking frustasinya, sampai-sampai aku ingin jadi pengangguran saja, agar tak perlu terikat pada aturan-aturan yang setiap hari menggilas kepalaku.
"Hai, Proleti, temanku yang paling miskin seantero negeri ini," sapa Bohemi dengan santainya tanpa rasa bersalah. Rambut lepeknya ia gelung tepat di atas ubun-ubun, agar seolah dia sedang mengenakan mahkota. Bohemi memang pengkhayal tingkat tinggi. Jaman sekarang kok pakai mahkota di kepala. Pakai mahkota ya di muka, biar kelihatan punya. Memangnya dia pikir kepala lebih penting dari muka?
"Dari mana saja kau, Bo?"
"Berkeliling, mengecek ini dan itu," jawab Bohemi enteng, se-enteng kepalanya yang 'kopong', alias tanpa isi.
"Aku mencarimu sampai tak bisa tidur, Bo!" Kupelototi dia sampai rasanya bola mataku mau lepas.
"Kau kan memang tak pernah tidur, Let! Setiap malam selalu memikirkan besok bisa makan atau tidak! Ha ha ha ...."
Setengah malu-malu sekaligus malu-maluin, kugigit kerah bajuku sampai gigiku tanggal dua. Benar juga temanku satu ini, Pikirku pakai dengkul.
"Kau tahu tidak, Let? Setelah mengecek semalaman tanpa terbangun, aku menemukan kejanggalan."
"Kejanggalan apa, Bo?"
"Di pendopo sedang ada pesta," bisik Bohemi sambil matanya jelalatan takut ada yang mendengar.
"Pesta apa?"
"Pesta perayaan terpilihnya Isop menjadi pelayan. Kau tahu Isop, kan? Isoptera, si rayap itu lho."
Aku mengangguk saja.
"Ayo kita ke sana!"
"Mau apa, Bo?" tanyaku heran.
"Ikut berpesta, Let. Pesta menyambut pelayan baru kita. Kau tak ingat kalau kau itu seorang Bos? Ah, gara-gara kau tak pernah dilayani dengan baik, kau jadi lupa ya?" Bohemi mengelus-elus kumisnya yang makin panjang sebanyak tiga setengah kali. Tiga elusan dari pangkal sampai ujung kumis, dan elusan yang keempat hanya sampai tepat di tengah-tengah, belum ke ujung. Karena tangannya yang kotor itu sudah lebih dulu menyambar tanganku yang sama kotornya ini.
Bohemi menyeretku berlari tunggang langgang menuju pendopo Negeri Citran. Di sana ramai sekali. Isop, sang pelayan terpilih sedang berdiri tidak terlalu gagah di atas mimbar sterofom.
"Terimakasih atas dukungan tuan-tuan dan nona-nona semuanya sehingga saya bisa berdiri di atas sini," ujarnya kepada puluhan orang yang mengangkat balok sterofom yang dinaikinya. Mereka semua sekelas denganku, namun jauh lebih bodoh dariku. Nilai rapor mereka saja banyak warnanya. Beda dengan nilai raporku yang memang tak ada nilainya. Aku memang tak punya nilai diri di negeri ini.
"Saya akan menjadi pelayan yang baik, yang selalu mengutamakan kesejahteraan tuan-tuan dan nona-nona selaku bos saya. Saya akan bekerja sepenuh hati demi kemakmuran negeri ini."
Bohemi membungkam mulutnya agar tidak muntah. Sayang kalau makanan yang sudah ditelannya hari ini harus keluar lagi dari mulutnya. Aku pun melakukan hal yang sama. Bedanya, Bohemi menghadang makanan yang baru dimasukkan tadi pagi, sementara aku menghadang sisa makananku semalam. Itu pun kalau masih ada sisa di perutku. Sayang kalau sampai tumpah lagi. Makanan yang kami telan adalah harta berharga kami selain harapan -yang hampir pupus tentunya-.
"Kau kenapa ikut-ikutan mau muntah, Let?" tanya Bohemi.
"Eneg mendengar ucapan si Isop. Terlalu manis, aku tidak suka. aku terlalu terbiasa dengan hidup yang pahit, Bo. Nanti kita harus cek ke dokter. Jangan sampai tiba-tiba kita jadi kena diabetes gara-gara terlalu banyak mendengar ocehan Isop."
"Jangan bercanda, Let! Sejak kapan kau boleh ke dokter? Makan teratur saja kau tak mampu!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Negeri Citran
HumorBosan dengan pemikiran monoton? Mau ikut berimajinasi dan berpikiran gila, keluar dari garis kenormalan pada umumnya? Proleti akan mengajakmu menyampaikan sindiran dan kritikan melalui imajinasi tanpa batas, bebas. Namun, jika kamu tidak siap menjad...