Hari berganti hari, kalau dihitung, sudah hampir tiga tahun Kak Kanha menghilang bagai ditelan bumi. Kabar tentangnya juga minim sekali. Aku sangat merindukan sosok seorang Kakak. Walaupun sering bertengkar, tapi masih ada terselip rasa sayang di sudut hati. Abang Dhruv juga jarang terlihat di rumah, kadang hanya sekedar betemu di jalan dan saling menyapa. Tenang saja, kami tidak akan putus silaturahmi hanya karna masalah begini.
Demi merenggangkan otak, setiap pulang kerja aku selalu menyempatkan diri ke taman komplek. Duduk sambil menikmati semilir angin, menonton kegiatan beberapa orang yang menarik perhatian. Sangat perlu refresing.
"AAAAAAAA!" aku berteriak, membuang sedikit beban. Bodo amat dengan tatapan orang.
"AAAAAAA!" sekali lagi, hei! Ini ternyata cukup membuat nyaman. Seorang ibu-ibu dengan make up menor menatap aneh ke arahku.
"KENAPA, BU?! KAYA SAYA PUNYA UTANG AJA SAMA IBU! BIASA AJA LIATNYA! SANTUY!" sergahku, ia menggelengkan kepala lalu beranjak dari sana.
"Kak Kanha pasti sekarang lagi enak-enakan! Awas aja kalau pulang, langsung Linda cabutin rambutnya sampe gundul!" monologku sambil menghentak-hentakan kaki.
"Enak aja main pergi tanpa permisi, mana perginya meninggalkan pakaian kotor sama sewa rumah lagi! Ish, jengkel kali aku!"
Seorang laki-laki berumur menatapku dari samping, karna memang jarak kami cukup dekat.
"APA LIAT-LIAT, PAK? SAYA TAU SAYA MAHLUK TUHAN YANG IMUT MENGGEMASKAN, SANS AJA LIATNYA."
"Cah gemblung." Ia berdiri dari duduknya dan berlalu di hadapanku.
"Idiih ... cantik-cantik gini dikata gemblung, mungkin matanya kelilipan sampah," omelku yang aku yakin bapak itu sudah tak mendengarnya.
"TAK SUMPAHIN ANAK BAPAK JATUH CINTA SAMA SAYA!" Bapak itu menoleh ke arahku.
"ANAK SAYA GILA! SUDAH DUA TAHUN DI RUMAH SAKIT JIWA! KALO KAMU MAU YA NDAK PAPA, TAK DOAIN SEMOGA JODOH!" balasnya sambil berteriak, karna jarak cukup jauh. Lalu ia menghilang dibalik tikungan.
"Amit-amit cabang bayi! Jauhkan bala, jauhkan bala! Pait pait pait!" ucapku mengetuk kepala dua kali lalu mengetukan ke kursi dua kali berturut-turut. Waktu kecil mitosnya begitu kalau tidak mau terjadi.
Kembali ke posisi semula, menghentikan ocehan-ocehan gaje. Biasanya jam segini Kak Kanha mengantarkan makan untuk Abang Dhruv, dan aku mengejeknya. Kalau dipikir-pikir, yang paling berjuang untuk Abang Dhruv itu Kak Kanha, dan dia juga yang paling kecewa.
"Pasti Kak Kanha lagi menikmati secangkir teh hijau, duduk menatap pemandangan indah di negeri orang. Kalo liburan ajak-ajak Linda kek, DASAR KAMBING CONGEK!" meluapkan rasa kesal bercampur rindu, dengan begini rasanya sedikit plong.
"Siapa kambing congek?" tanya seseorang yang aku yakini perempuan.
"Kakakku, coba kamu bayangin. Dia pergi tanpa meninggalkan uang pesangon, kan aku kangen!" jawabku tanpa menoleh kepala ke belakang.
"Yeah! Terbukti kan, aku orangnya ngangenin."
Segera menolehkan kepala ke belakang, seorang gadis berjilbab kuning muda tersenyum ke arahku. Di tangannya terdapat satu koper besar.
"KAK KANHA!"
Mahluk yang dirindukan duduk di sampingku, menayangkan senyuman termanis.
"Kangen, kan? Heheh ...."
"Ceritain semuanya dari A sampai Z!" ucapku kesal. Tapi kangen sih, beruntung sekali hari ini. Terima kasih sudah menjawab doa-doaku, Yang Maha Kuasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengejar Cinta
HumorMenceritakan dua orang kakak-beradik yang selalu memperebutkan lelaki yang sama, saling memperjuangkan dan menjadi pengejar cinta para cogan. "Bang Dhruv, nanti kalo kita nikah. Kita bikin lima yang kaya gini ya, Bang. Linda mau bikin tim basket, eh...