Episode 3

18 0 0
                                    

            Malam jum'at berikutnya aktifitas berbagi nasi kembali lagi dan seperti biasa para pejuang berkumpul di tempat yang sudah ditentukan, masing-masing dari mereka mengerjakan tugas yang bisa dikerjakan olehnya, kali ini amunisi (nasi bungkus) yang sudah terkumpul berjumlah 300 yang bersumber dari donatur-donatur, tentu saja membuat pejuang kualahan menanganinya dengan jumlah pejuang yang semakin hari semakin berkurang karena masing-masing dari mereka punya kesibukan baik itu kuliah, kerja, pengajian, jalan-jalan kerumah mantan yang kini susah untuk dilupakan ...mulai ngawur...

            Setelah amunisi disiapkan, masing-masing dari pejuang menentukan rute yang akan mereka jadikan objek sasaran dan seperti biasa Sumanto lagi-lagi menjadi kapten yang akan memimpin rute biru, walau kali ini pejuang yang mereka pimpin dijum'at kemarin telah berkurang, namun ada satu pejuang yang masih bertahan di rute biru ia adalah Mai Munah

Sumanto : ngapain ikut ke rute biru lagi!...

Mai Munah : gak kenapa-kenapa kok, seneng aja

Sumanto : kamukan belum tau rute merah, alangkah baiknya kamu ikut bang jumadi yang memimpin rute tersebut

Mai Munah : jum'at depan aja deh

Sumanto : serah (cuek abiiiiissss)

Tak begitu lama terdengar suara Junaidi yang memanggil si Mai Munah

Junaidi : adek Mai?... mending ikut rute merah saja, di sini adek bakalan aman dan abang pastikan adek berada dipengawasan abang (gaya jadi pelindung)

Mai Munah : saya rute biru saja bang, kan ada bang Sumanto

Junaidi : hei Sumanto tolong kau jagakan adek ku itu ya...

Sumanto : siap Jendraaaaaal (berteriak sambil memberi hormat)

             Tak begitu lama masing-masing dari mereka mengambil amunisi akan dibawa, kali ini sedikit berbeda dengan jum'at kemaren bahwa amunisi yang dibawa cukup banyak, tentu membawanya saja membutuhkan dua orang dalam satu motor

Mai Munah : bang Sumanto... kita satu motor ya... kan amunisinya banyak

Sumanto : kamukan bisa boncengan dengan pejuang lain, kenapa mesti saya (sinis)

Mai Munah : yaelah pelit amat, kan bisa pakai motor aku (cemberut)

Sumanto : yaudah naik sini tapi kamu jangan kayang di atas motor

Mai Munah : ih kok gitu, emang aku sirkus (geram)

Sumanto : bercanda

Mai Munah : haaaa bisa bercanda juga...

Sumanto : udah jangan banyak omong

Mai Munah : ih spesies aneh (berkata dalam hati)

            Akhirnya mereka pun berangkat menuju rute yang telah ditentukan, masing-masing dari mereka berpacu dengan kendaraannya dengan semangat sambil menikmati suasana malam yang begitu ramai nan indah walau dibeberapa lokasi kota Pontianak masih terdapat pemandangan yang kurang mengenakkan seperti sampah yang berserakan bagaikan mantan yang berserpihan, selain itu ada juga yang memarkirkan kendaraannya di bahu jalan walau kini bahu sandaran tak ditumpangi mantan ...mulai ngawur lagi...

Sumanto : Kamu mahasiswa apa sudah kerja Mai !...

Mai Munah : (diem tak berbicara)

Sumanto : kamu denger gak si?...(kesal)

Mai Munah : (lagi-lagi diam tak bersuara)

Sumanto : heeeeei dijawab napa (makin tambah kesal)

Mai Munah : tadi bilang ke aku jangan banyak omong, sekarang disuruh ngomong

Sumanto : kali inikan aku nanya, ya kamu jawab aja sebisa kamu

Mai Munah : ih aneh

Sumanto : ya aku memang aneh, makanya banyak yang jauhin...PUAS...

Mai Munah : yaelah jangan pakai ngegas kali

Sumanto : kalo gak digas motornya gak jalan-jalan

Mai Munah : ih selain aneh ternyata kamu begok juga ya (naik darah)

Sumanto : biasa aja kali, jangan pakai ngatain gitu

Mai Munah : gimana aku gak ngatain, aku tanya apa kamu jawab apa

Sumanto : masih mending aku jawab, daripada kamu tadi aku tanya gak dijawab-jawab

Mai Munah : rasanya mau aku kunyah ini orang (bicara dalam hati)

Suasana semakin memanas, masing-masing dari mereka ingin sekali melampiaskan kemarahannya namun semua tertahan oleh karena benih-benih cinta mulai ditampakkan...ASSEK...

Setiba di lokasi mereka masih saja berseteru padahal pertemuan mereka baru dua kali namun sudah menciptakan percikan api.

Anita : woi...woi...woi... apa-apaan kalian ini, mau bagiin nasi aja mesti ribut dulu, mau aku panggilin polisi

Sumanto : ini si bungkus nasi nyolot mulu

Mai Munah : siapa yang kamu bilang bungkus nasi... (meledak)

Sumanto : kamu lah

Mai Munah : daripada kamu nasi gosong

            Tiba-tiba suasana menjadi pecah lantah seperti bom nuklir yang jatuh ke bumi pertiwi, memporakporandakan kehidupan masusia di sekitarnya.

           Tak begitu lama mereka berjauhan dan saling mengambil porsinya masing-masing untuk membagikan nasi, malam itu begitu menyakitkan yang dialami mereka berdua hingga berimbas pada pejuang yang lain ketika merasakan suasana begitu panas, bagai kepala tak beralas, hingga matahari menyentuhnya dengan bebas, yang mengakibatkan si udin gak naik kelas...ngawur lagi....

           Malam itupun berlalu dan seperti biasa masing-masing dari mereka pamit untuk pulang ke rumah, namun ada yang berbeda pada saat itu, dimana Mai Munah tak sedikit pun berkata kepada Sumanto, ya jelas saja karena mereka baru saja mengalami kericuhan yang tak beralas. Sumanto pun tancap gas dan seketika meninggalkan Mai Munah tanpa menolehnya, seketika itu pula Mai Muna berdoa dalam hati "ya Tuhan semoga saja motornya Sumanto mogok...Amin...". Tak begitu lama doa Mai Munah pun dikabulkan oleh Tuhan tetapi bukan motor Sumanto yang mengalami doa tersebut melainkan dirinya sendiri, jelas saja ketika ia menghidupkan motornya tak sedikit pun suara mesin yang berbunyi, lantas membuat Mai Munah panik karena pada saat itu kondisi sudah larut malam dan tak ada satu orang pun yang terlihat.

Bersambung...


You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 21, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Dari Nasi Turun ke HatiWhere stories live. Discover now