Part 13

8.1K 392 65
                                    

PoV Sasha

Cahaya pagi menerobos saat kusibak gorden berwarna hazel di jendela kamar. Pandanganku mengedar. Serumpun tanaman lidah mertua menyambut tatapanku saat berusaha menyerap energi dan menghilangkan gundah hati.

Sudah seminggu Bang Riyan tak menghubungi. Aku mulai kesal rasanya. Apa ia lupa sudah melamarku? Ah! Entah mengapa aku jadi teringat postingan seorang teman tentang kisah cinta di negeri +62. Ia tuliskan bahwa setelah wanitanya bertekuk lutut, maka sang pria akan menghilang ditelan bumi. Hancur hatiku jika itu benar terjadi.

Dengan malas kulangkahkan kaki ke dapur. Kubuka lemari es mencari seikat pakcoy dan telur. Tak seperti biasa saat aku selalu sarapan sereal, aku ingin membuat nasi goreng pagi ini. Biarlah sebagian orang mengira kalau sarapan nasi itu sudah ketinggalan zaman, bagiku kebiasaan ini masih melegenda dan layak untuk dinikmati. Lagi pula ada jus apel untuk melengkapi menu pagi ini.

Cekatan kusiapkan bawang merah, bawang putih, daun bawang, seledri, dan ... oh ya, kemiri! Kata Bang Riyan agar nasi goreng memiliki harum yang berbeda jangan lupa tambahkan kemiri.

Apa? Bang Riyan? Ya, Allah ... mengapa aku selalu saja mengingatnya? Sekian menit aku tertegun di depan semua bahan masakan. Baiklah, aku akan melupakan kemiri itu agar saat makan nasi goreng ini aku tak mengingat Bang Riyan lagi.

Sekejap aroma harum bawang dan bumbu menyeruak di ruangan. Tak sabar rasanya untuk mencicipi. Kuaduk nasi goreng itu agar bumbu merata, dan taraaa! Nasi goreng ala Sasha siap untuk dinikmati.

Sumringah kusantap suapan pertamaku. Alhamdulillah, senang bisa membuat nasi goreng ini, tapi ... ternyata rasa memang tak bisa bohong. Aku merindukan nasi goreng buatan Bang Riyan. Cinta dan benci berkecamuk dalam hatiku.

Aku termenung. Lalu tak lama kemudian handphone-ku bernunyi dan menarik kesadaranku. Tulisan "Ibu" terpampang di layar.

"Assalamu'alaikum, Ibu ...."

"Wa'alaikumussalam. Apa kabar anak Ibu? Sehatkah?"

"Alhamdulillah. Ibu dan Ayah bagaimana?"

"Alhamdulillah, Nak. Kok suaramu aneh? Ada apa?" Pertanyaan Ibu sangat menyelidik. Memang selama ini aku terkadang curhat pada Ibu, tapi untuk saat ini rasanya aku ingin menyimpan masalahku sendiri.

"Hm ... ngga apa-apa kok, Bu. Cuma urusan pekerjaan," kataku berbohong.

"Oh ya, kalau Ayah dan Ibu ke Jakarta, Sasha mau dibawakan apa?"

"Apa? Ibu ada rencana ke Jakarta? Kapan?"

"Kalau ada kesempatan kami pasti datang. Ayo, mau dibawakan apa?" Aku tersenyum mendengar perkataan Ibu.

"Hm ... Ibu pasti tau lah kesukaan Sha. Kripik sanjai balado, Bu," kataku sambil tertawa kecil. Ada-ada saja pertanyaan Ibu.

Setelah bercerita sedikit tentang kegiatan beliau berdua di kampung, Ibu pun mengakhiri obrolan.

Ayah, Ibu dan aku, kami sekeluarga dulu tinggal di Jakarta. Namun sejak Nenek meninggal dua tahun lalu, Ayah diminta untuk pulang dan menetap di Padang. Ayahku anak tunggal, tak ada siapa-siapa lagi yang bisa menjaga peninggalan Nenek selain beliau. Akhirnya rumah kami di Jakarta pun dijual mengingat tak ada yang bisa merawat. Sementara aku sudah dibelikan rumah sendiri oleh Bang Riyan.

Senang sekali mendapatkan telepon dari Ibu. Setidaknya bisa membuat masalahku terlupakan sejenak. Baru saja aku hendak melanjutkan memakan nasi gorengku, tiba-tiba bel berbunyi. Kusambar jilbab yang terhampar di sandaran kursi untuk melihat siapa yang datang. Seorang pria bersetelan jas hitam berdiri di depan rumah.

CINTA SANG AJUDAN (Mantan Suamiku, Berhentilah Menggodaku)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang