Part 6

4.5K 259 6
                                    

PoV Riyan

Dadaku sesak melihat air mata jatuh di pipi Sasha. Mikayla benar-benar telah merusak segalanya.

"Lepaskan saya, Mika!" Kuulangi lagi kalimat itu.

"Aku nggak mau!" Dengan suara serak ia tetap mempertahankan dekapannya. Air matanya terasa merembes ke dadaku.

"Kamu ngga bisa memperlakukan saya seperti ini!" Aku mulai marah. Kusentak kuat tangannya hingga pelukan itu terlepas.

"Aw! Sakit!" Mika meraba lengannya.

Ada darah. Entah mengapa ia bisa terluka.

"Kalau kamu emang ngga niat buat lindungin aku, ngga usah sok belain segala di depan Papi! Huh! Emang di dunia ini ngga ada yang mau ngertiin aku!" Ia meneriakiku, lalu berlari ke arah gerbang.

"Hei! Mika!"

Gadis itu benar-benar keterlaluan. Suaranya telah membuat semua orang melihat ke arahku. Seolah aku yang telah menyebabkan kekacauan ini. Jika tak ingat perintah Pak Bram untuk menjaganya, sudah kubiarkan ia pergi sesuka hati.

Bergegas aku menuju parkiran.

"Pak Ismet, ayo cepat. Kita harus kejar Mikayla," kataku hampir mengejutkan Pak Ismet, supir pribadi Pak Bram yang sedang santai di dalam mobil.

"Siap, Pak," katanya, sigap.

Tak lama kemudian kami sudah meluncur di jalanan Jakarta yang padat. Rasanya belum lama Mika berlari meninggalkanku di hotel, namun aku tak melihatnya sama sekali di antara orang-orang yang berlalu lalang.

Pak Ismet terus melajukan Alphard hitam itu menyusuri setiap inci jalanan yang kami lewati. Apa mungkin Mika menyetop taksi dan pergi entah kemana? Ah, bisa kacau jika memang begitu.

Aku menghubungi Pak Bram. Aku ingin ia memberikan nomor telepon Mikayla agar bisa kuhubungi. Awalnya ia cemas saat aku mangatakan belum menemukan putrinya itu, tapi setelah kuyakinkan akan mencarinya sampai ketemu, Pak Bram sedikit lega.

Selang beberapa menit kucoba menelepon Mikayla, tak ada jawaban. Berulang kali kucoba, akhirnya ia menjawab juga pada panggilan yang entah ke berapa.

"Mika ... ini saya, Riyan. Kamu di mana?" kataku tegas.

"Untuk apa kamu menelponku?"

"Jangan main-main, Mika. Pak Bram mencemaskanmu."

"Aku ngga peduli!"

Sungguh geram aku dengan sikapnya.

"Oke. Kita bisa omongin ini baik-baik. Katakan kamu sedang ada di mana!"

"Dengan satu syarat, kamu hanya boleh datang sendiri."

Hening. Dua jenak kubiarkan otakku berpikir jalan keluar yang terbaik.

"Oke!" kataku akhirnya.

Uh! Aku terjebak dengan permainan Mika. Gadis itu kemudian mengirimkan alamat melalui pesan WhatsApp. Ternyata ia sedang berada di taman kota tak jauh dari kami. Pak Ismet mengantarku sampai depan, lalu aku berjalan mencari Mika yang entah berada di taman bagian mana. Katanya, aku harus menemukannya sendiri.

"Kenapa kamu nyusahin semua orang?" kataku begitu melihat ia sedang duduk melamun di sebuah bangku taman.

Ia menoleh. "Oh, kamu," katanya, cuek. Lalu ia kembali menatap ke arah bunga Airis yang berjejer rapi di seberang sana.

"Pakai ini," kataku sambil menyodorkan jas hitamku. Tak suka aku melihat gaya berpakaiannya yang terlalu terbuka seperti itu.

"Memangnya kenapa? Kamu takut tergoda?" katanya, tertawa miris.

CINTA SANG AJUDAN (Mantan Suamiku, Berhentilah Menggodaku)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang