Tidak terasa sudah tiga tahun lamanya aku menempuh pendidikan S1 ku jurusan Manajemen Bisnis di salah satu universitas ternama di negeri ini. Sedikit kuberitahu bahwa sejujurnya aku tidak menginginkan jurusan itu, yang perlu kalian tahu bahwa aku ingin menjadi seorang pelukis, sehingga awalnya aku mendaftar dijurusan Desain Komunikasi Visual, tapi begitu aku mengatakan kepada orang tuaku bahwa aku mengambil jurusan itu, dengan tegas mereka menolak bahkan sampai memarahiku habis-habisan saat itu, lalu dengan berbagai macam paksaan mereka menyuruhku mendaftar dijurusan manajemen bisnis jadilah saat ini aku berada dijurusan bisnis. Gara-gara kejadian itu aku sempat berhenti melukis. Kalian tau kenapa? Karena semua lukisan yang telah kubuat sudah dibakar habis-habisan oleh mereka. Pernah aku mencoba melukis lagi diam-diam dikamarku, lalu tiba-tiba tanpa mengetuk pintu ibuku masuk dan melihat aku yang sedang melukis, tentu hal itu membuat beliau marah karena ia telah melarang keras aku untuk melukis lagi dan yang dilakukannya yaitu menghancurkan semuanya bukan hanya lukisanku saja tapi beserta semua peralatan lukisku. Ku fikir ayah akan membantu saat itu karena aku sudah meraung-raung minta pertolongan, tapi justru sama saja beliau justru mengikuti ibu menghancurkan semuanya. Hingga saat ini aku benar-benar tidak pernah melukis lagi didepan mereka. Tapi bukan berarti aku putus asa bukan? Aku tetap melukis tentu saja, tapi tidak pernah melakukannya dirumah. Sekarang aku sering melukis di Taman yang ada disamping rumah nenek Asih, beliau merupakan nenek dari sahabatku, Melati. Tentu saja ditempat itu orang tuaku tidak akan mengetahuinya, semoga. Tidak dapat dipungkiri bahwa aku lebih betah berada dirumah nenek Asih daripada dirumahku bahkan tak jarang selepas pulang kuliah aku justru pergi ke rumah nenek Asih, kadang seorang diri kadang juga ditemani Melati saat dia sedang tidak sibuk.
Saat ini aku sedang menyusuri koridor kampusku selepas melaksanakan kelas sekitar sepuluh menit yang lalu, dan tujuanku tentu saja mencari Melati yang katanya sudah menungguku dikantin fakultasnya. Kami memang berbeda jurusan, Melati mengambil jurusan Sastra Indonesia. Dan keberuntungannya gedung fakultas kami tidak terlalu berjauhan. Langkahku diiringi kesunyian karena kebetulan aku lewat koridor ujung yang memang jarang dilewati mahasiswa, tapi entah mengapa aku mendengar derap langkah yang mengikutiku dibelakang.
"Hey. Kemarin kamu gak berangkat kenapa? Sakit ya?"
Benar bukan dugaanku kalau ada langkah kaki dibelakangku tadi, tapi saat ini langkah itu sudah ada disampingku disertai sapaan dari mulut si pemilik. Randi Gutama, pria itu adalah orang yang kemarin dibicarakan Melati ditelfon dan saat ini sedang menyamakan langkahnya dengan langkahku. Dia adalah Mahasiswa Hukum yang entah bagaimana ceritanya bisa menyukaiku, satu tahun belakangan pria ini selalu mencari berbagai kesempatan untuk bisa dekat denganku, tapi selalu aku hiraukan. Sejujurnya tidak ada alasan yang tepat untuk menolak didekati seorang Randi Gutama dia merupakan salah satu laki-laki yang bisa disebut tampan, berkulit putih, berwajah bersih dan beralis tebal tak lupa dengan senyum manisnya yang mampu memikat kaum hawa, dan yang tidak aku sukai darinya adalah dia merupakan seorang Playboy yang entah katanya saat ini sudah tobat karena menyukaiku tapi tetap saja aku tidak akan pernah bisa respect dengan laki-laki playboy, baik yang masih atau sudah mantan playboy.
"Kebiasaan deh kalo aku ngomong selalu diem aja" lagi - lagi suaranya menginterupsiku
"Kemarin gak enak badan." jawabku enggan
"Sekarang masih gak enak badan?" tanyanya lagi
"Gak. Udah mendingan"
Dia tidak membalas lagi, dan aku kembali meneruskan langkah dengan Randi yang masih setia disampingku tanpa membuka suara lagi.
Dan akhirnya aku sampai dikantin fakultas Melati, melangkahkan kakiku dengan mata berpendar ke sekeliling, aku menemukan Melati yang sedang ada dimeja pojok kantin sedang bermain ponsel dan ditemani jus jeruk, sepertinya."Hay, Melati" sapaku saat sudah sampai di meja Melati
"Oh, hay" dia mendongak lalu membalas sapaanku
"Tumben loe mau jalan bareng sama Randi" Tanyanya, sedangkan aku mengerutkan kening tidak paham lalu aku mengkuti arah mata Melati yang menuju belakangku dan benar saja tepat saat aku menoleh aku menemukan Randi yang masih berdiri dibelakangku. Sungguh ku fikir dia sudah meninggalkanku begitu aku sampai disini tapi nyatanya dia malah mengikutiku sampai ke dalam.
"Tadi gak sengaja ketemu dikoridor waktu mau kesini" jelasku, setelah Melati menyuruhku duduk juga diikuti Randi yang tanpa diperintah sudah duduk manis disampingku
"Ohhh. Lhah terus loe ngapain Ran masih disini?" tanya Melati yang ditujukan untuk Randi
"Kenapa emangnya? Gak boleh kalau gue mau gabung sama kalian, lagipula kelihatannya meja disini udah penuh"
Laki-laki ini kenapa santai sekali sih menjawabnya. Tidak taukah dia kalau aku sungguh sudah muak melihatnya ada disini
"Ya kan loe bisa pergi ke kantin fakultas loe atau gabung sama temen-temen loe misalnya" jawab Melati lagi yang sepertinya mengetahui kalau aku tidak akan nyaman dengan keberadaan Randi disini
"lagian kenapa sih, gue disini kan bukan mau deket sama loe tapi sama Aurora. Toh dia juga gak keberatan kalau gue disini, ya kan Ra?" kali ini Randi memusatkan perhatiannya padaku yang sepertinya menunggu jawabanku dengan penuh harap
"Emm, maaf sebelumnya Ran, tapi aku sama Melati mau ngomongin sesuatu jadi kayaknya gak enak kalau misalkan didengar sama orang lain" kataku yang terserat makna bahwa aku enggan jika Randi ada disini
"Kannnn. Apa gue bilang, Aurora pasti gak mau ada loe disini jadi lebih baik loe jauh-jauh sana dari kita" seru Melati kesenangan dan langsung saja sebagian penghuni Kantin menoleh ke arah kami
"Fine. Kalau gitu aku pergi ya Ra" pamit Randi kepadaku dan tidak sama sekali menatap Melati
Selepas kepergian Randi aku dan Melati memilih makan dan akan mengobrol selepas menyelesaikan makanan kami
"Ra, jadi kapan loe mau ngelukis lagi dirumah nenek gue? Dia nanyain loe terus tuh katanya udah hampir dua minggu kan loe gak kesana. Heran deh gue yang cucunya kan gue kenapa loe yang ditanyain terus sih setiap kali gak dateng kesana" Melati yang memulai pembicaraan kami, memang benar sudah hampir dua minggu aku tidak pergi ke rumah nenek Asih
"Ya ampun kamu masih aja cemburu sama aku gara-gara aku terus yang ditanyain nenek Asih" mungkin benar seperti ucapan Melati bahwa sepertinya nenek Asih selalu menanyakan pada Melati setiap aku tidak kesana tapi bukan berarti nenek Asih tidak menyayangi Melati lagi justru beliau selalu bercerita padaku betapa beliau sungguh menyayangi cucunya itu
"Ya elah dan loe masih aja percaya kalo gue cemburu sama loe, tenang aja kali gue cuman bercanda. Jadi kapan nih loe mau kesana? " tentu aku tau kalau Melati hanya bercanda saat mengatakannya karena sahabatku itu pun tau betapa neneknya sungguh menyayanginya
"iyaa aku juga tau kali kalau kamu cuman bercanda. Emm kayaknya aku belum bisa pastiin kapan aku kesana lagi tapi aku usahain kalau gak hari Sabtu atau minggu aku bakal kesana"
"Kenapa sih emangnya? Orang tua loe udah mulai curiga ya kalau loe ngelukis lagi?"
"Gak juga sih sejauh ini mereka masih belum tahu kalau aku ngelukis lagi, cuman kan minggu-minggu ini mereka lagi sering di rumah jadi aku khawatir aja kalau mereka curiga sama aku"
"Ck. Dasar ya bonyok loe itu kenapa kolot banget sih sama anak sendiri mereka gak nyadar apa ya kalau kelakuan mereka itu justru bikin loe tertekan"
"Kalau aku tau jawaban dari omongan kamu mungkin saat ini aku bakal jadi manusia paling bahagia karena bisa raih mimpi-mimpi aku tanpa dihalangi"
"Gak coba buat berontak ya Ra? Coba sekali-kali jangan selalu nurutin banget omongan mereka"
Aku hanya mampu membalas ucapan Melati dengan senyum tipis. Berontak ya? Siapa bilang aku tidak pernah melakukannya, sering kali aku mencoba melawan mereka tapi kalau aku selalu kalah bahkan disaat aku belum melakukannya, lalu sepantasnya apa yang harus aku lakukan.
Tbc.
Update bagian Dua😚
Enjoy reading,
Jangan lupa vote⭐
KAMU SEDANG MEMBACA
Gapai
Teen FictionMenyakiti. Satu kata yang sebisa mungkin akan ku lakukan di akhir hidupku atau bahkan tidak sama sekali. Tapi jika takdir menentukan bahwa aku yang harus tersakiti, haruskah menerima merupakan jalan utama? Atau memberontak menjadi solusi bicara? Sel...