Dear, September: EPILOGUE

196 31 52
                                    

Should we stay here?

Atensi lelaki itu masih terjebak dalam secarik kertas berisi bait-bait kalimat yang belum tamat. Ia baru sempat menggenggamnya lagi beberapa sekon lalu, dan kini, ia bisa merampungkan jalan ceritanya sendiri.

"Aku akan tetap berada di sini, dan harus begitu. Sebab seseorang memintaku." Ia berkata tiba-tiba, pada entitas lain di sebelahnya. Halte sudah lengang, begitu pula dengan semesta yang kini sudah lewat tengah malam.

"Sementara aku, mungkin lebih baik pergi. Sebab seseorang takkan lagi berada di sini." Lelaki berpostur lebih kurus itu membalas sendu. Wajahnya tertunduk, dalam tangan kecilnya tergenggam secarik kertas juga.

K memandangnya iba. "Kau mau pergi bersama?"

Kim terdiam, beralih balas memandang, "Jangan bercanda." membuat rekan barunya tertawa samar.

"Kau menginginkannya, tapi kau malah memutuskan pergi?"

"Karena ia juga enggan tinggal."

K terdiam. Sejenak, sebelum lantas berucap, "Kau hanya harus membawanya kembali."

Kim tak membalas. Lelaki di sampingnya benar. Hanya saja, ia tak yakin bisa. Kecuali, jika gadis itu lebih dulu menghampirinya seperti senja-senja yang telah lewat. Dan ia pun menyadari, selama ini, gadis itu telah berusaha sendiri.

Hingga sebuah bus mendadak datang, memutus lengang jalan.

"Ayo, aku mau pulang." K lebih dulu melangkah naik, menyapa sopir yang anehnya masih nampak seperti baru berangkat kerja.

"Apa ini pemberhentian terakhir?" Kim menyusul kemudian, lebih dulu memastikan.

Sang sopir balas tersenyum lebar, "Bus ini tidak memiliki pemberhentian terakhir, Nak."

Kim sejenak diam, ragu. Namun, melihat dua penumpang lain yang lebih dulu berada di sana, membuatnya teryakinkan juga.

Kendaraan itu berlalu, tanpa perlu menunggu lebih banyak waktu.

"Kau suka kopi?" K kembali membuka bincang, kali ini dengan rekan baru di seberang bangku.

Anak lelaki itu mengangguk. Dalam genggaman, sewadah minuman berwarna pekat masih terlihat utuh.

"Kau mau?"

K menggeleng, tersenyum, "Berikan saja pada teman di sebelahmu." sembari mengedikkan dagu.

Don mengikuti arah pandang rekan di seberang, beralih menatap rekan di sebelahnya lamat. Lelaki itu hanya diam saja sembari memandang ke luar jendela, bahkan sejak ia menaiki bus ini untuk kali pertama.

"Kau... suka kopi?" Dan untuk kali pertama pula, Don berhasil mengalihkan atensinya.

"Apa dengan kopi, aku tidak akan lagi sendiri?"

Sejenak, Don tersentak. Namun, ia cukup paham ke mana perasaan lelaki itu sudah dibawa.

"Kau tahu, wangi kopi tidak akan pernah membiarkanmu sendiri. Begitu juga aku. Kau hanya perlu berbicara padaku kapanpun kau mau."

Lelaki bermanik sempurna itu berakhir memandang lekat, mengulas senyum terbaik.

"Terima kasih."

Dan sekali lagi, bus itu berhenti. Seorang lelaki---lagi---menaiki bus sambil membawa ransel gitarnya dengan hati-hati.

Bahkan sejak kali pertama, lelaki itu terus mengumbar ranum manisnya.

"Boleh aku duduk di sini?" Hanya sekadar basa-basi, sebab belum sempat rekan sebangkunya menjawab, ia sudah lebih dulu meletakkan pantat.

CATATAN KECILTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang