"Kalau ingin bunuh diri, lakukan di tempat lain. Jangan libatkan aku dan mobilku."
Lucas X. de Wolff
🦀🦀🦀
Sebuah motor matic butut melaju kencang, membelah jalanan perumahan mewah yang sepi. Hari memang masih belum terlalu siang, tapi bayangan kalau dia akan terlambat bekerja, lumayan membuat Ana panik sehingga menambah laju motornya.
"Anaa ...!"
Sebuah teriakan yang jauh dari kata merdu, terdengar. Disertai sikap sarkasme, Ria terlihat antara marah dan takut sekaligus. Dari belakang, dengan leluasa dia memukul-mukul lengan dan helm Ana.
"Anaa! Pelan-pelan!" teriaknya nyaris histeris, menatap ngeri bagaimana lajunya mereka sekarang. "Aku belum nikah, loh. Kamu mau buat aku jadi hantu perawan? Hah?!"
"Salah sendiri. Memangnya siapa yang tadi lama banget milih lip tint? Kalau aku sampai telat kerja, gimana? Hah?!" balas Ana tidak mau kalah, berusaha tetap berkonsentrasi di antara omelan dan pukulan Ria.
Jeritan nyaring Ria kembali terdengar, tapi kali ini dengan alasan yang tepat. Motor matic Ana tiba-tiba oleng, setelah sebelumnya terdengar suara letusan keras dari ban belakangnya.
"Eh, ayam! Ayam! Ayam!" teriak Ria, keluar kebiasaan latahnya. "Ana, awas! Ada besar pohon depan, eh, pohon besar di depaaan!!"
Menutupi wajah dengan kedua tangan, Ria sudah pasrah. Bayangan kalau motor matic mereka akan menabrak pohon besar, membuatnya ngeri. Sesaat dia teringat, kasus lama soal si Papa yang koma setelah mobilnya menabrak tiang listrik. Lalu, bagaimana nasibnya dan Ana?
"Ya? Ria?"
Ada yang memanggil dan menggoyang-goyangkan bahunya, tapi Ria tetap bergeming.
"Ya?! Kamu nggak apa-apa?"
Mengerjap-ngerjap, Ria akhirnya mendongak. "A—apa aku ini Rosè Bl*ckp*nk?" bisiknya.
Ana mendengus kesal, "Halu kok over dosis."
Meninggalkan Ria yang mengomel, Ana memeriksa keadaan motor matic-nya lalu mengerang. Ban belakangnya meletus dan roda depannya bengkok, keadaan motornya ternyata lumayan parah. Kalau begini, dia sudah pasti akan terlambat kerja.
Menghela napas panjang, dengan enggan Ana menghubungi atasannya sementara Ria diam mengamati.
"Baik, saya mohon maaf. Terima kasih atas pengertiannya," ucapnya mengakhiri panggilan telepon.
"Maaf ya, Na." Ria berkata lirih, menepuk-nepuk pelan punggung Ana, berusaha membersihkan jaket sahabatnya yang kini kotor dan sedikit robek.
Dia tahu bahwa sesaat sebelum tabrakan tadi, Ana menariknya. Mereka memang jatuh, tapi Ria tidak terluka karena Ana yang menjadi tumpuan.
"Nggak sakit, Na? Ada yang luka?" tanyanya lagi. "Jaketmu sampai rusak begini."
Sesaat Ana mengangkat kedua alisnya. Ria yang biasanya cerewet sekarang memasang wajah khawatir dan sendu, sungguh sebuah pemandangan langka.
"Lebay." Ana tertawa kecil, memencet ujung hidung Ria lalu bergegas menuntun motor, tidak menghiraukan sahabatnya yang sekarang bersungut-sungut.
"Aku ini khawatir, Na."
"Iya, deh. Iya. Ngomong-ngomong, tahu nggak, aku pakai alasan apa tadi waktu ijin datang terlambat? Hm?"
"Apa?"
Terdiam, satu ujung bibir Ana menaik, menahan senyuman.
"Na, jangan pakai alasan aneh-aneh loh, ya," sambung Ria, merasakan firasat buruk.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Royal Romance
Ficção AdolescenteMenjadi seorang putri?! Sungguh tidak pernah sekalipun Ana memikirkan atau bahkan membayangkannya sedikitpun. Lagipula, mana mungkin?! Toh, kenyataannya dia hanyalah seorang anak yatim piatu miskin yang tinggal di panti asuhan. Meski dengan ke...