Malam ini terasa sunyi dan kelam, tak ada bintang bertaburan di langit. Bahkan, bulan pun enggan menampakkan senyumnya, seolah mengerti akan apa yang kurasakan. Atma masygul dirundung nestapa. Menatap putri kecilku pilu. Tubuh mungilnya berbaring di dipan tanpa kasur yang empuk, tertutup selimut tipis. Wajahnya yang polos seolah tak mengerti akan kerasnya hidup yang melanda.
"Maafkan Ayah, Nduk. Belum bisa menjadi Ayah yang baik untukmu. Belum mampu membahagiakanmu." Lalu, aku mengecup kening putriku yang sedang pulas, bibirnya melengkung ke atas. Kemudian, berbaring di sampingnya.
Mata menatap langit-langit yang gelap. Bilik rumah yang masih berdinding bambu membuat tubuh menggigil, tapi tak masalah bagiku. Asal putri kecilku bisa merasakan kehangatan.
Pikiran melayang ke beberapa tahun silam, di mana sang istri berpamitan hendak pergi bekerja menjadi TKI demi memperbaiki keadaan ekonomi. Waktu itu Adinda --putriku--masih berusia satu tahun.
💔
"Mas, aku mau kerja jadi TKI aja, capek lama-lama hidup miskin!" Rena --istriku--berkata penuh penekanan.
"Tapi Adinda masih kecil, Dek. Dia juga masih minum ASI." Aku menatapnya sedih.
"Kan, bisa disapih Mas. Kalau nggak kerja jadi TKI hidup kita akan seperti ini terus! Rumah juga tetep berdinding bambu, lantainya tanah. Apa kamu nggak bosan?" Rena memandangku sinis.
"Maafkan Mas, Dek. Mas udah berusaha semaksimal mungkin bekerja, jadi buruh cangkul, kerja di bangunan, kadang jadi tukang panggul di pasar."
"Halah, kerja cuma itu-itu aja, gimana bisa maju! Pokoknya aku mau kerja jadi TKI!" Lagi, Rena membentakku.
Aku menelan ludah. Terkadang kemiskinan memang membuat seorang istri berani pada suami.
"Baiklah, aku mengizinkan. Tapi ingat, ini semua demi masa depan Adinda. Aku tetap bekerja untuk memenuhi kebutuhanku sendiri." Akhirnya itulah yang keluar dari mulutku.
Walau berat berpisah dengan istri tercinta, tapi harus mengizinkannya. Semua demi masa depan Adinda. Semakin tumbuh besar pasti kebutuhannya kian banyak. Mumpung dia sekarang masih kecil.
Akhirnya, tibalah waktu keberangkatan Rena ke negeri seberang, Taiwan. Satu bulan, dua bulan berikutnya dia sering memberi kabar padaku. Di sana mendapat majikan yang baik dan sabar. Aku bersyukur karena dia baik-baik saja.
Namun, lama kelamaan ada yang janggal menurutku. Dia tak lagi menelepon, bahkan tak pernah menanyakan kabar Adinda. Uang jatah untuk Adinda pun tak dikirimnya. Aku tak masalah soal itu, asal dia tak lupa pada anaknya. Tiap kali aku mencoba menghubunginya, Rena selalu menjawab dengan ketus.
[Aku sibuk, Mas. Majikanku nggak memberi waktu untuk basa-basi dengan keluarga!] sentaknya saat aku meneleponnya.
[Sebentar aja, Dek. Bukannya majikanmu baik, ya?]
[Iya, itu dulu! Udah ada perlu apa? Mau minta uang? Belum digaji!]
Aku mengusap dada, beristighfar dalam dada. Istri yang dulu selalu manis jika bertutur kata, sekarang berani membentakku. Padahal, aku tidak pernah menanyakan soal gajinya. Hanya ingin tahu kabar dan mendengar suaranya.
[Mas cuma ingin tahu kabarmu aja, Dek. Nggak lebih. Adinda juga udah mulai bisa ngomong dan belajar jalan.] Aku memberitahu tentang perkembangan Adinda, berharap dia akan senang.
[Iya udah, jaga dia baik-baik. Udah, ya, majikanku udah teriak.]
[A--] Belum sempat melanjutkan dia sudah mematikan sambungan teleponnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dikhianati Sang Istri (Maafkan Ayah, Nduk)
Ficción GeneralHarjo seorang ayah yang berjuang merawat anaknya seorang diri. Istrinya pergi dan meninggalkan anaknya yang masih kecil. Mampukah Harjo membesarkan putri kecilnya tanpa istri? Kisah ini terinspirasi dari kisah nyata.