"Tidak ada pertemanan tanpa keisengan, terdengar gila? Memang! jika pertemanan tanpa keisengan terjadi itu tandanya bukan pertemanan melainkan percanggungan."
[]
Veral membawa gitar ditangannya, ia sedang berbincang sejak beberapa menit lalu dengan seorang gadis.
"Gue beneran ga nyangka lo bakal jadi salah satu calon ketua band."
"Apa si yang ga bisa veral dapet."
Ira tertawa ringan mendengar perkataan veral. "Yakin lo bakal jadi ketua?"
"Yakinlah."
"Kalau kepilih gua traktir makan di kantin selama seminggu."
"Wuh, taruhan ni?" Veral bersorak kagum dengan keberanian wanita dihadapannya. "Gampang, kedipin dikit juga cewek-cewek bakal pilih gua."
"Buktinya gua ngga."
Pandangan veral yang sedari tadi fokus dengan ira didepannya kini beralih pada gadis yang tak asing lagi bagi veral, veral merasa ada yang aneh dengan gadis itu. Veral melihat tautan kecil pada ekspresi datarnya. Mungkin, gadis itu bisa menyembunyikan perasaannya pada orang lain tapi tidak pada veral. Veral telah mengenal gadis itu dengan baik. "Pi? Piona?Oy!"
Tawa ringan ira memudar tubuhnya berbalik mengikuti arah pandang veral, Ia berdecak malas. Disisi lain piona yang merasa terpanggil langsung memberhentikan langkahnya, ia tersenyum sangat tipis lalu ekspresinya kembali datar.
Veral berjalan menghampiri piona. Ira mengikuti veral dari belakang.
"Veral lo mau ngapain si?"
"Nyamperin piona, lah."
"Ngapain 'kan kita lagi ngobrol?"
"Sebentar aja, ira."
Setelah veral merasa posisinya sangat pas untuk berbincang dengan piona ia tersenyum lebar. Memang lelaki berzodiak cancer ini selalu ramah pada semua orang, tak jarang kaum wanita menyalah artikan keramahannya. "Kenapa lo?" Akhirnya veral kembali membuka suara.
"Gapapa."
"Ga yakin gua."
"Ekhem-ekhem," ira berdehem dengan berlebihan. "Jadi cewek gatel banget keganjenan sana-sini." ira mengedarkan pandangannya ke segala penjuru.
Piona yang tadinya mengabaikan ira kini menatapnya dengan tatapan dingin namun sangat menusuk. "Ngomong ke siapa lo?!" Tentu piona tersindir didukung dengan keadaan hanya dirinya wanita yang ada disekitar ira sekarang.
"Loh, kok nge-gas?!" Ira memainkan ujung rambutnya.
"Gua nanya!"
"Tersindir ya?"
"Jelas!"
"Bagus deh."
Piona menaikkan sebelah alisnya. Jelas dia heran memikirkan maksud ira berbicara seperti itu. "Apa si?"
"Nyadar diri dong!"
"Eh maksud lo apaan?!"
Veral mengangkat gitarnya menghalangi tubuh kedua gadis yang sedang adu mulut itu sebelum terjadi aksi cakar-cakaran. "Kaya bocah kalian."
"DIA YANG MULAI." Piona membentak veral.
"GUE CUMA NGOMONG FAKTA TENTANG DIA." Ira tak mau kalah dengan piona, gadis ini sangat pintar memutar balikan fakta.
Piona yang merasa difitnah tidak tinggal diam. "VERAL LO TAU SENDIRI 'KAN TADI DIA YANG MULAI?!"
"NGGA VERAL GUA CUMA NGOMONG FAKTA."
"Veral lo lebih percaya gua apa dia?" Piona berbicara dingin sambil menetralkan emosinya.
"SO KALEM LO!"
"Lo apaan si, ra?"
"Udah-udah," veral menunjukan wajah jengahnya, bagaimana pun juga ia tak tahan menyaksikan drama barusan. Sangat membuatnya tidak nyaman. "Mending lo berdua damai."
"Males damai sama dia."
"Emang gua mau damai sama lo?"
"Bodo," ira menghentakan kakinya. "Mending gua ke kelas dulu deh."
'Untuk yang pertama kali lo buat kesalahan.' batin piona.
Veral tersenyum melihat ira langsung menjauh. "Bagus."
"Kok lo bisa bareng si kampret itu si?!"
"Hehe, abis dia nempel mulu."
"Kok lo mau ditempelin?!"
"Ah udah," veral mengangkat gitarnya. "Seneng-seneng dulu kita." Lelaki itu memetik gitar layaknya seorang artis rock.
Piona tertawa. "Senar satunya copot tuh."
Veral memberhentikan aksinya ikut tertawa. "Eh keinget gua mau ke ruang band ganti senar satu."
"Mau kesana sekarang?"
"Iya, eh tapi--"
"Apa?"
Veral kembali mengangkat gitarnya dekat telinga piona lalu memainkannya lagi dengan tidak beraturan. 'Jreng jreng jreng jreng jreng' kurang lebih seperti itulah suara yang dikeluarkan.
"VERAAAL!!!" Piona menjauh sambil menutup telinganya.
"Enak ni musiknya." Veral sangat senang mengerjai piona, lelaki cancer ini memang kadang suka rese.
"GUA DOAIN LU KENA MUSIBAH!"
"Yah," veral kembali memberhentikan aksinya berbarengan dengan sumpah serapah yang dikeluarkan dari mulut piona, veral menatap gitarnya dengan na'as. "Senar dua-nya copot."
Seketika tawa piona meledak. "Mampus lo."
"Anjir lu."
Cancer dan Scorpio, dua elemen air yang tenang dan saling membantu. Sebanyak apapun masalah yang dihadapi mereka tetap bisa tenang, meskipun kadang kelakuan mereka suka tak terduga dan nyeleneh.
~BINTANG~
Brian si lelaki berzodiak pisces yang terkenal dengan kutu buku-nya sedang membaca ulang pelajaran bahasa Indonesia yang akan diulangankan beberapa menit lagi. Bukan, Brian bukan lelaki berkacamata tebal, model rambut belah dua, terasingkan, dan sering menjadi bahan bullying karena keculunannya.
Brian. Lelaki menyenangkan, konsisten pada janji, hanya saja ia sering menebar fake smile.
Fake smile dengan alasan tertentu.
Sesekali ia melihat jam menunggu bel masuk yang berarti ia sudah siap untuk melakukan ulangan setelah jam istirahat ini.
"Bro, gua disini dong."
Brian mengeluarkan ponsel disaku celananya lalu memasang earphone di telinga ketika menyadari teman sekelasnya datang menghampiri. "Bangku depan kosong bro."
"Kalo didepan gabisa nyontek belum ngehapal gua."
Brian masih bisa mendengar ucapan temannya itu. "Gini bro, gua udah nyaman duduk disini. Ibarat cinta, kalau lo udah nyaman pasti gamau pindah ke lain hati."
Satu tonjokan pelan berhasil mendarat mulus dilengan atas brian. "Bucin sampe sukses." Teman brian yang diketahui bernama gazi itu menelan salivanya, gazi sudah muak dengan kebucinan brian yang semakin hari semakin menjadi.
"Singkatnya tempat lo hari ini bukan disini tapi dibangku depan, lo harus belajar nyaman ditempat lain. Ibarat cinta, kalau orang yang lo kejar ga ngasih kepastian lo harus bisa membuka hati untuk yang lain."
Gazi bergidik ngeri. "Lo jadi pakar cinta aja cocok." dia segera pergi ke bangku depan untuk menghindari kebucinan brian yang menurutnya berlebihan untuk seorang lelaki.
Brian menyeringai puas bisa membuat temannya itu pergi, dia juga sebenarnya sangat jijik dengan perkataannya sendiri tapi baginya tak mengapa selagi masih bisa dijadikan bahan untuk mengusir temannya secara halus.
_____
KAMU SEDANG MEMBACA
BINTANG [SLOW UPDATE]
Teen FictionCover by : Rebecca Jika rasa cinta harus dilunasi oleh rasa cinta juga itu artinya rasa sakit harus terlunasi oleh rasa yang sama. Ketika dua orang dengan sikap yang bertolak belakang dipaksakan untuk bersatu. Ini hanyalah cerita tentang anak SMA de...