ENAM

25.5K 2.2K 111
                                    

                🌺🌺_ENAM_🌺🌺

ARSHILA melangkahkan kakinya memasuki gedung perkantoran yang akan menjadi tempatnya bekerja.

Jam sudah menunjukkan pukul 7 tepat membuat gadis cantik berambut panjang itu bergegas mencari ruangan khusus office girl untuk mengganti pakaiannya.

"Selamat pagi!"  sapanya, begitu melihat sudah ada beberapa perempuan yang sudah tiba.

"Pagi. Anak baru, ya?" Seorang gadis yang terlihat seusianya menatap Arshila dengan pandangan bertanya.

"Iya, anak baru. Baru masuk hari ini." Arshila tersenyum lebar menyambut uluran tangan perempuan-perempuan di ruangan tersebut seraya memperkenalkan dirinya.

"Gue Sevia. Lo bisa panggil gue Via. By the way, lo ngomong enggak usah kaku gitu lah pakai 'aku-kamu' enjoy aja pakai 'lo-gue' begitu," cerocos Sevia seraya memperkenalkan dirinya.

"Ah, enggak deh. Aku enggak terbiasa pakai bahasa gaul khas anak kota." Arshila membalas dengan senyum manisnya.

Singkat cerita kini mereka sudah dibagi di beberapa lantai setelah di breffing oleh kepala office girl dan office boy di kantor ini.

Arshila mendapat jatah dibagian lantai tiga dimana lantai tersebut dikhususkan untuk staf pemasaran.

Ada banyak kubikel dan dua ruang besar yang diduga sebagai tempat untuk karyawan yang memiliki jabatan tinggi, seperti kepala staf bagian pemasaran dan sekretarisnya.

Arshila sedang meletakkan secangkir kopi di dalam ruangan kepala pemasaran ketika sudah banyak karyawan yang berdatangan.

Arshila dengan semangat melakukan permintaan para karyawan yang ingin dibuatkan kopi atau teh untuk minum pagi mereka.

Sementara Sevia dan Arul yang bertugas di lantai yang sama dengan Arshila tengah membersihkan sampah-sampah yang berada di dekat kubikel karyawan yang belum datang.

"Hai, kamu OG baru 'kan?" tanya seorang karyawan wanita yang diperkirakan berusia 28 tahun.

Arshila yang merasa wanita itu berbicara padanya, menghampiri wanita itu dengan lap tangan yang ia genggam.

"Iya, Mbak. Ada yang bisa aku bantu?" tawar Arshila dengan senyum manisnya.

"Tolong fotokopi berkas ini ya di lantai dasar. Kalau bisa di segerakan," ujar wanita itu pada Arshila.

"Baik, Mbak."

Arshila mengangguk mengambil berkas yang dimaksud kemudian melangkah menuju tangga darurat yang akan membawanya ke lantai dasar.

Arshila tidak terbiasa memakai lift. Maka dengan terpaksa ia harus menaiki atau menuruni undakan anak tangga.

Namun, ketika kakinya berniat menapak di lantai dua, sesuatu yang tak harusnya ia lihat justru ia lihat dengan mata kepalanya sendiri.

Matanya membola melihat seorang pria dengan setelan hitam tengah mencekik seorang wanita hingga kaki wanita itu tidak menapak di tanah.

"Argh! Apa yang kamu lakukan? Kamu mau membunuh? Jangan di kantor ini, bodoh. Nanti kamu ketahuan!" bentak Arshila dengan suara keras.

Segera gadis itu menuruni tangga menghampiri pria dan wanita yang  masih terlihat bersitegang dengan wanita yang hampir kehilangan napas dan pria yang melepaskan cekikan di lehernya dengan kasar.

Sapu tangan berbahan sutra yang digunakan pria itu terjatuh bersamaan dengan wanita itu yang merosot ke lantai.

Suara batuk dan deru napas tersengal-sengal terdengar hingga membuat Arshila bergidik.

"Hei, apa yang kamu lakukan? Kamu mau membunuhnya, ya?" tuduh Arshila menarik pria itu menuruni dua anak tangga.

Pria itu menepis tangan Arshila yang menyentuh pergelangan tangannya. Kemudian mengeluarkan sapu tangan berbahan sutra dari saku jasnya dan membersihkan pergelangan tangannya yang disentuh Arshila tadi.

"Jangan mencampuri urusan yang bukan utusanmu, Nona," ujar pria itu dingin. Matanya menatap Arshila dengan tajam sehingga membuat bulu kuduk Arshila meremang. Namun, gadis itu tidak mau menunjukkan pada pria itu jika ia sedikit takut dengan ancamannya.

"Ehm ..., bro, aku hanya tidak ingin menjadi saksi pembunuhan yang kamu lakukan. Itu akan sangat merepotkan." Arshila terkekeh garing mendapatkan tekanan menakutkan dari pria di depannya.

Meski samar, Arshila yakin pernah melihat wajah pria bule di depannya ini. Entah dimana dan kapan pastinya, ia tidak tahu karena ia sering melupakan beberapa hal yang tidak penting baginya.

Pria bule itu tidak menyahut ucapan Arshila lagi. Dia memutar tubuhnya berbalik pergi meninggalkan Arshila dan wanita yang hampir terbunuh itu.

"Arthur, kamu harus bertanggungjawab. Aku hamil anakmu." Ucapan wanita yang hampir terbunuh itu membuat Arshila terbelalak tak percaya. Mulutnya ia tutup dengan kedua tangan dan menatap punggung pria yang bernama Arthur itu dengan shock.

"K-kamu hamil?"  seru Arshila tak percaya. "Lalu, pria itu mau membunuhmu hanya karena kamu hamil anaknya?" Arshila menggeleng tak percaya. "Astaga! Ini seperti cerita sinetron yang pernah aku tonton dulu."

Arthur seketika itu menghentikan langkahnya mendengar pernyataan wanita yang hampir ia bunuh itu dan seruan keterkejutan dari wanita yang ikut campur urusan orang lain.

Seketika itu Arthur berbalik dan melempar senyum dingin yang mampu membuat lawan gemetaran, termasuk wanita yang mengaku tengah hamil itu.

"Kamu bilang, kamu hamil?"  Kalimat dengan aksen inggris yang masih kental itu membuat kedua perempuan itu spontan menoleh bersamaan. "Baiklah karena itu keinginanmu, maka aku akan mengabulkan permintaanmu," tandas Arthur kemudian mengeluarkan ponselnya.

"Aku ingin kau menyiapkan lima pria untuk seorang wanita." Arthur berbicara dengan seseorang di sambungan telepon sehingga membuat Arshila menatapnya tak mengerti dan wanita yang mengaku hamil itu tegang.

"Hm. Hari ini juga."

Setelah itu sambungan telepon dimatikan. Arthur menatap datar wanita yang mengaku hamil anaknya itu. Jangankan tidur dengannya, menyentuhnya saja Arthur tidak pernah. Jadi, tidak mungkin wanita itu hamil anaknya.

"Nikmati waktumu selagi bebas,"  ujar Arthur sebelum benar-benar berbalik pergi.

Setelah kepergian Arthur, Arshila menatap wanita di sampingnya tak mengerti.
"Mbak, cowok tadi ngomong apa, ya? Kok kayanya serem gitu?"

Wanita itu mendesis dan menatap tajam Arshila.
"Jangan ikut campur urusanku dan calon suamiku jika tidak ingin aku pecat," ancam wanita bernama Prita itu sebelum berbalik pergi.

Sementara Arshila yang di tinggalkan hanya menggerutu sebal karena ternyata ia telah membuang tenaganya untuk membela orang yang salah. Kalau tahu begitu Arshila tidak akan mau menyelamatkannya tadi. Hal yang harus ia lakukan melewati kedua orang itu dan membiarkan wanita itu di bunuh oleh pria dingin dan menyeramkan tadi.

Arshila mengerucut bibirnya kesal sambil menuruni anak tangga menuju lantai dasar. Andai saja ia tidak dusun menggunakan teknologi, mungkin Arshila lebih baik menggunakan lift saja.

Setiap langkah yang dipijaki Arshila tak lepas dari pengamatan Arthur Kenzove S yang sedari tadi menatapnya melalui CCTV yang terpasang di tangga darurat. Sebenarnya CCTV tersebut sengaja di pasang di tangga darurat untuk memantau sesuatu yang tak menyenangkan terjadi seperti beberapa tahun lalu. Dimana kantor digemparkan dengan penemuan mayat di tangga darurat lantai 9 sehingga membuat perusahaan menjadi awas dan memasang CCTV di sekitar tangga.

"Perempuan menarik," gumam Arthur seraya menatap Arshila dari layar CCTV.

VOTE DAN KOMEN GW WAIT YAKKKK 😎

ALDE DAN YARA LAGI GW KETIK.

[2] ARSHILATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang