Empat

31K 2.1K 27
                                    

        BAB EMPAT

Arshila tersenyum lebar sambil bersorak di koridor yang sepi. Arshila merasa bahagia bisa mendapatkan pekerjaan di kantor ini.

Sorakannya terhenti ketika mendengar suara dering ponsel yang membuat Arshila segera mengangkat telepon tanpa melihat nama pemanggil. Lagi pula yang tahu nomornya hanya Pak Bondan, Bu Nani dan kedua sahabatnya. Jika bukan mereka lalu siapa lagi yang menghubunginya, pikir Arshila.

"Halo."

"Gimana, Shil?" tanya Aldo penasaran.
Arshila segera menjawab jika ia diterima bekerja di perusahaan besar meski tanpa ijazah pendidikan terakhirnya.

"Kalau begitu kamu pulang dan kita langsung makan-makan, Shil," ujar Aldo membuat Arshila berbinar senang.

"Boleh banget! Makan di mana?" tanyanya antusias.

"Warung bakso depan gang. Di sana ada jual bakso murah," kata Aldo yang disambut antusias oleh Arshila.

Berbicara sebentar pada Aldo, Arshila memutuskan untuk mengakhiri panggilan dan berjalan keluar dari gedung besar yang akan menjadi tempatnya bekerja.

Arshila pergi tanpa menyadari jika dirinya sedang diperhatikan oleh seseorang dari balik layar CCTV yang terpasang di setiap sudut gedung.

Seseorang yang memiliki sedikit perasaan tertarik pada Arshila. Seseorang yang menjabat sebagai Chief  executive officer di perusahaan terbesar kedua di Indonesia yakni KO Group yang bergerak di bidang hiburan serta beberapa bidang lainnya.

Ini bukan soal cinta pada pandangan pertama. Tidak. Dia, Arthur Kenzove tidak percaya akan cinta pada pandangan pertama karena yang ia percaya adalah proses untuk seseorang bisa jatuh cinta.

Arthur hanya merasa penasaran dan sedikit terhibur dengan gaya urakan gadis itu. Sangat jarang Arthur menemukan seorang gadis yang akan bersikap bodoh di hadapannya saat kali pertama mereka bertemu.

"Tuan."

Arthur mendongak menatap tajam tangan kanan yang juga menjabat sebagai sekretaris pertamanya.

"Apa tanganmu sudah tidak berfungsi lagi,  Dimas?" Arthur melirik tangan kanan Dimas dengan pandangan tajam, membuat Dimas refleks menyembunyikan tangannya di balik punggung.

Dimas menelan ludahnya serak mendapat tatapan menyeramkan dari atasannya ini.
"Saya sudah lebih dari sepuluh kali mengetuk pintu ini, Tuan," ucapnya lembut.

"Ada apa?"

Busur bibir Arthur menarik dari sudut ke sudut yang membuat Dimas menelan ludahnya beberapa kali sebelum menyampaikan apa yang ingin ia sampaikan pada atasannya ini.

"Pukul 1 siang Anda akan ada meeting di restoran Quelta dengan sponsor  asal Tiongkok mengenai masalah audisi yang akan berlangsung di sana."

KO Group memang melakukan kerja sama dengan beberapa negara di asia. Ajang pencarian bakat yang di gelar oleh KO memang sudah mencakup tidak hanya di dalam negeri namun juga di luar negeri. Baik itu Chef, penyanyi, atau bakat menari sekalipun akan mereka terima dengan memasukkan beberapa konsep.

Sama seperti saat ini ketika ada pihak sponsor yang ingin bertemu dengannya, Arthur tidak akan menolak karena ia juga akan membahas soal banyak hal yang perlu dibicarakan dan juga pembahasan tentang jalannya acara dengan panitia acara.

"Lalu?"

"Nanti malam Anda ada jadwal kencan dengan Nona Shiren di restoran Jiniar, Tuan."

"Hm.  Kamu bisa pergi," usir Arthur setelah mendengar apa yang disampaikan Dimas.

"Baik, Tuan. Saya permisi."

Dimas membungkuk hormat lalu berbalik keluar setelah mendapat instruksi. Sesampainya di luar, Dimas menghela napas dengan jantung yang berdegup kencang seperti habis melihat hantu.

Arthur memang bukan hantu. Pria itu hanya iblis yang memiliki wajah malaikat seksi yang bisa membuat wanita jatuh hati hanya dengan sekali lihat.

Segera setelah itu Dimas kembali ke ruangannya yang berada tepat di depan ruangan Arthur. Pria 28 tahun yang sudah bekerja dengan Arthur saat ia berusia 23 tahun itu segera masuk tanpa melirik sekretaris kedua Arthur yang terlihat menatapnya bingung.

Ah, apa pun itu ia tidak peduli karena yang terpenting saat ini ia tidak akan berada dalam satu ruangan dengan predator yang siap menerkamnya kapan pun dia mau.

_____

Arshila tiba di rumah saat jam sudah menunjukkan pukul 1 siang. Bukan tanpa alasan Arshila pulang terlambat. Gadis itu hanya sedikit tersesat  saat perjalanan pulang menuju rumah kontrakan.

"Yuhu Aldo, Ramzi. Kalian pasti sudah lama menungguku, bukan?"

Suara riang Arshila terdengar di teras rumah, namun saat ia akan membuka pintu, ternyata pintu hitam di depannya masih di gembok.

Arshila mengerut keningnya sebentar lalu mengeluarkan ponsel pintar dari dalam tas kecilnya. Sambil mengambil tempat di kursi plastik yang tersedia, Arshila mulai menghubungi Aldo.

"Kalian dimana? Kok enggak ada di rumah?"  tanyanya setelah panggilan diangkat oleh Aldo.

"Shil, aku di warung makan Bu Nani. Kamu masuk saja ke dalam rumah dan acara kita tunda dulu sampai malam, ya," ujar Aldo dengan suara berisik di seberang sana.

"Yah .... Memangnya kenapa?" Bahu Arshila tertunduk lesu mendengar ucapan Aldo.

"Aku dan Ramzi kerja dan enggak bisa izin. Janji deh nanti malam kita makan diluar."

"Oke. Enggak apa-apa. Tapi, kamu janji ya nanti malam kita makan di luar dengan syarat kamu dan Rei yang traktir aku." Arshila tersenyum bersemangat. Siapa yang tidak akan bersemangat jika akan mendapatkan traktiran seperti saat ini, batinnya berujar senang.

"Oke. Aku kerja dulu, Shill."

Setelah berbincang beberapa menit dengan Aldo, Arshila segera memutuskan sambungan telepon dan menunduk sedikit untuk mengambil kunci yang tersimpan di bawah keset.

Dengan riang gadis berparas cantik itu masuk ke dalam rumah dan mulai merapikan rumah yang berantakan. Arshila membuka kulkas mini yang dibeli Aldo kemarin sore dan menatap beberapa bumbu masakan yang harus ia masak. Siang ini ia lapar dan berniat untuk mengisi perutnya dengan memasak sepiring nasi goreng.

Malam akhirnya tiba. Mereka bertiga berjalan keluar dari kontrakan dengan pakaian seadanya. Baju kaus dan celana selutut yang mereka kenakan tidak membuat mereka malu atau risih.

"Kita naik apa?" tanya Arshila menatap kedua sahabatnya.

Arshila yang hanya sebatas bahu kedua temannya tampak kecil apalagi ia di posisikan di tengah-tengah kedua pria itu.

"Jalan kaki, Shil. Tempatnya dekat kok. Anggap saja kita lagi olah raga malam," sahut Aldo kalem.

"Itu tempatnya,"  tunjuk Ramzi setelah mereka keluar dari gang. Di depan gang adalah jalanan besar yang dilalui banyak kendaraan berlalu lalang.

"Tapi kelihatannya rame, ya?" Arshila menatap kedai bakso yang terlihat ramai.

"Iya ramai soalnya rasanya enak banget. Ayo, kita nyeberang,"  ujar Aldo bersemangat.

Bagai anak kecil yang takut hilang, kedua tangan Arshila di genggam oleh Ramzi dan Aldo saat menyeberang jalan, membuat beberapa orang yang tak sengaja melihat hanya bisa menggeleng akan kelakuan ketiganya. Arshila diperlakukan layaknya bocah berusia lima tahun.

[2] ARSHILATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang