Bunyi dentuman musik seolah menulikan telinga orang-orang di lantai dansa. Beat dari aransemen lagu Where Are U Now oleh DJ yang berdiri di balik digital controller memenuhi indra pendengaran tiap-tiap orang yang hadir di club pada malam itu. Meriah, kata itu dengan sempurna mendeskripsikan suasana di dalam ruangan itu. Para bartender tidak berhenti menghidangkan minuman kepada para pengunjung. Saking ramainya, bahkan lantai dansa terasa begitu panas, meski di bawah paparan pendingin ruangan.
Takaki Yuya, di tengah hiruk-pikuk club malam itu, perlahan melipir dari lantai dansa untuk menarik napas. Dia baru setengah mabuk, padahal teman-temannya sudah nyaris habis delapan botol alkohol. Yuya sendiri bukan penggemar alkohol yang disediakan di club ini, makanya dia tidak banyak minum. Menari di lantai dansa sudah cukup menjadi simbol perayaannya terhadap selesainya ujian semester.
Diam-diam, pria dua puluh enam tahun itu memerhatikan gerak-gerik orang asing di sekitarnya. Betapa frustrasinya, Yuya mampu menilai hal tersebut dari cara mereka berdansa. Meski matanya tengah bertualang, ia tidak berani melirik ke sisi-sisi gelap tak tersorot lampu. Karena ia yakin, pasti ada adegan tak senonoh yang Yuya tak ingin ingat pernah lihat.
"K... kau..."
Sebuah suara di samping Yuya membuat pria itu nyaris terjengkang dari duduknya. Sesaat setelah merapikan posisinya, Yuya lantas menoleh dan mendapati seorang gadis tengah berjalan ke dekatnya.
"Dare?*" tanya Yuya, memerhatikan gadis itu dari ujung rambut hingga ujung kaki.
"Kimi wa*..." Gadis itu berjalan semakin dekat. Kini Yuya bisa melihat penampilannya dengan jelas—berbalut coat coklat muda dengan lambang Louis Vuitton di kerahnya.
Damn, she got money.
"Kimi wa... Takaki Yuya, deshou*?"
Yuya terkesiap. "Kau... siapa?"
Tingkah gadis itu selanjutnya membuat Yuya nyaris terkena serangan jantung. Dia melompat begitu saja memeluk leher Yuya erat, lalu menggumamkan beberapa kata yang Yuya tidak bisa tangkap. Wangi tubuhnya meski terkontaminasi alkohol tetap tercium manis bagi Yuya, karena entah kenapa hidung pria itu menangkap wangi vanilla musk.
Meski ia menyukai wanginya, tapi Yuya tidak menahan diri untuk mendorong gadis itu menjauh dari tubuhnya. "Siapa kau? Kumohon jangan sembarang memelukku."
"Kau lupa?" Pandangan gadis itu jatuh ke jam tangan Yuya. "Jam tangan itu... kau beli di Soho 'kan? Di toko milik Miura-kun?"
Ingatan Yuya lantas terbang ke musim dingin tahun lalu—di Soho, toko jam milik Miura, sahabatnya, dan hari-hari dimana ia bisa tertawa lepas tanpa takut akan posibilitas di masa depan.
"Miura-kun juga... teman... ku..." Nada bicara gadis itu terdengar rancu sampai akhirnya tubuhnya jatuh begitu saja. Sebagai manusia yang memiliki refleks, lantas Yuya dengan cepat menangkap figurnya sebelum mendarat di lantai.
"D-dia..." Yuya nyaris saja menjatuhkan tubuh gadis itu saat tiba-tiba bibirnya mencoba melirihkan kalimat. "D-dia b-b-baru saja... memutuskan hubungan kami... aku... tak tahu harus apa..."
**
Berat.
Yang Yuya rasakan saat kesadarannya kembali ke raga adalah berat.
Seolah-olah... ada beban yang memang bersemayam di lengan dan dadanya.
Takaki Yuya ingat sensasi ini—berat, wangi feminim serta... hangat?
Yuya langsung membuka mata saat ingatannya bilang bahwa sensasi itu terakhir kali ia rasakan ketika ia selesai bercinta dengan kekasihnya.
Benar saja, sekarang dirinya berada dalam posisi telentang di bawah selimut, dengan... seorang gadis dalam pelukannya, tertidur pulas.
Dan saat Yuya menarik napas, ia sadar bahwa wangi vanilla musk yang ia kenali ini berasal dari gadis semalam.
Ya Tuhan, apa yang sudah aku lakukan?
**
(a/n) jadi gimana? kesan pesannya di bagian satu gimana? kesel nggak? awkwkwkw.
makasih banyak gengs udah mampir ke ffku. jangan berekspektasi ketinggian ya, takut kecewa :')
kalo mau ngobrol soal ff boleh banget langsung hit dm aku. mau protes juga boleh :v
oh ya, last but not least, hope you enjoy! ♡(> ਊ <)♡
*Dare: siapa?
*Kimi wa... : kau... / kau adalah...
*Deshou: kan? / bukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
paris
Fanficyuya tidak pernah pandai dalam memilih. namun, jika kesempatan masih ada, dia akan dengan senang hati memilih untuk kembali ke masa lalu--masa dimana dia masih bisa tertawa lepas dan tak takut akan posibilitas yang akan terjadi di masa mendatang. **...