Jam menunjukan pukul 2 pagi, tetapi mata masih enggan terjam. Setelah kejadian sore tadi di sekolah, membuat aku banyak memikirkan si pria misterius itu. Seseorang yang baru aku lihat wajahnya. Selama bersekolah aku belum sama sekali berjumpa dengan si pria. Bukan prihal ketampanannya yang aku pikirkan, lebih kepada menelaah apa yang sedang dia lakukan di sekolah saat semua siswa sudah pulang. Tunggu, apa jangan-jangan dia adalah si pelaku terror boneka pocong. mungkiin saja dia tidak mengenalku, tapi kemungkinan, dia si penderita kelainan yang mampu melakukan hal-hal diluar kesadaraanya, dibatas manusia normal. Tidak-tidak, berprasangka buruk terhadap orang lain itu tidak baik. Aku mencoba melupakan kejadian di sekolah tadi. Menit selanjutnya aku sudah terlelap bersama fajar yang mulai menyingsing.
"eca..! Bangun nak, sudah siang." Teriak mamah dari dapur
Astaga, jam sudah menunjukan pukul 6 pagi. Benar saja, aku telat bangun dan hampi melewatkan solat subuhku.
Lepas solat aku berpakaian olahraga dan mengikat kuat tali sepatuku. Hari ini libur jadi aku bebas kegiatan di pagi hari. Rencananya pagi ini akan mengelilingi wilayah kpling komplek saja, tapi tidak jadi karena pasti ramai oleh kegiatan RT sebelah yang sedang mengadakan Gotong Royong Kebersihan. Aku pilih untuk berkeliling stadion Mashud. Perjalanan menuju kesana memerlukan 5 hingga 10 menit jika menggunakan angkot, tetapi cukup 6 hingga 7 menit saja jika aku sekuat tenaga mengayuuh pedal sepeda ontelku. Tak lupa di keranjang sudah aku siapkan dua lembar roti dengan selai kacang ditengahnya.
Hari masih pagi, kegiatan di stadion pun rupanya belum nampak ramai hanya satu-dua orang tua yang sedang berkeliling diatas lintasan batu disekeliling lapangan pandapa.
Matahari mulai naik, dan menghangatkan tubuh yang mulai kelelahan. Ku usap butiran air keringat di pelipis yang hampir menyentuh mata. Pacuan jantung menggebu, berusaha aku tenangkan dengan meluruskan kaki sambil menagak air mineral yang aku bawa. Terdengar sorak-sorai dari team aakademi sepak bola kuningan yang sedang berlatih. Lintas demi lintas mereka berlari, aku terpaku memperhatikan. Mungkin saja tubuh ini merasa lelah, tetapi pikiran ini terus berputar, menerawang semaunya dan sulit aku kendalikan.
Pilihan untuk berolah raga memang cocok sekali untuk aku, aku yang selalu memiliki masalah dengan konsentrasiku. Seperti ini saja contohnya, didepan aku ada sekelompok atelit pelari yang sedang peregangan otot, mataku jelas-jelas memeperhatikan dengan seksama setiap detail gerakan yang mereka lakukan. Tetapi pikiranku sedang terbang jauh bersama burung pipit yang sejak tadi bunyi bersautan.
Aku sendiri merasa heran dengan kondisi pikiranku ini, tapi aku masih takut untuk bercerita kepada ka ari atau pun mamah. Karena pasti akan memuat mereka merasa khawatir.
Tiba-tiba fokus mataku teralihkan oleh sosok seorang pria yang sedang berlari mengitari lapangan. Seorang pria dengan postur dan wajah yang tdak asing. Iya aku mengenalinya. Dia sosok pria kemarin yang aku temui di sekolah.
Dia nampak berlari dengan nafas yang terengah-engah. Memperlambat laju langkahnya dan berhenti dipinggiran lintasan lapangan stadion. Didepannya setumpuk ransel kecil, jaket juga sebotol minuman, ia mengeluarkan handuk kecil dan mengelap keringat diwajanya. Lalu kemudian meneguk penuh air yang dia bawa. Aku terus memperhatikannya dari jauh. Sesekali dia memandang sekeliling, dan aku akan dengan spontan meunduk unutk menghindari pandangan aku dan dia bertemu. Dia meluruskan kakinya yang jenjang, dengan menegadahkan mukanya ke langit, dia seperti menyeka air mata, tapi mungkin aku salah.
Aku coba memalingkan pandangan ke titik yang lain. Aku berusaha untuk tidak ikut campur akan kegiatan orang lain yang tidakk aku kenali. Aku berusaha menbenarkan ikat tali sepatuku. Saat aku sibuk membuat simpul tali, seekor kucing belang berwarna hitam putih mendekat. Bola matanya yang bulat menatapku dengan tajam, aku heran. Sedetik kemudian dia menggerakan lehernya hingga timbul bunyi pada lonceng yang dia gunakan. Sebuah lonceng berwarna merah digantungkan pada kalung dileher si kucing belang. Nampak secarik gulungan kertas menempel diantara jepitan loceng dan kalung. Aku mengangkat si kucing belang ke pangkuanku. Mengelusnya dengan lembut agar dia tidak shock dan kabur. Perlahan si kucing mulai menjinak dan pasrah dipangkuanku. Dengan sangat hati-hati aku mengeluarkan secarik kertas itu, membukanya dan mencob membacanya. Diluar dugaan, sangat membuat aku ternganga kaget. Secarik kertas yang bertuliskan "smile". Pikirku mungkin si pemiik sengaja menyimpan secarik kertas pada leher si kucing belang. Dan kemungkinan besar nama si kucing berlang adalah smile berarti senyum.
Tetapi sejak dari tadi kedatangan si kucing, di tidak nampak mengeong ataupun bersuara. Dia hanya diam bersandar menikmati elusan tanganku. Heran, mengapa si pemilik menamai kucing belang miliknya smile, sedangkan apa bisa seekor binatang tersenyum. Sebuah keganjalan yang tidak dapat aku pecahkan.
Si pria yang kemarin aku lihat di sekolah pun nampaknya sudah hilang, pergi entah kemana. Matahari pun semakin tinggi, aku memutuskan pulang saat itu.
Seharian aku hanya tiduran di kamar, sesekali melihat teleponku barangkali ada notifikasi masuk. Sialnya tidak ada, hanya beberapa chat group kelas. Sebetulnya kegiatan di akhir pekan begitu padat, selain membantu mamah mengantarkan kuenya aku juga biasa berkumpul dengan komnuitas pembaca jalanan untuk bertukar buku bacaan. Atau bersinggah ke toko mang ade untuk membantunya merangkai bunga-bunga pesanan pelanggannya. Dan yang paling sering adalah menyiapkan diri untuk berjualan bunga mawar di lampu merah bunderan cijoho. Iya benar, minat muda-mudi yang sedang asyik berpacaran dan berkeliling kota, hal itu yang aku manfaatkan untuk menjual setangkai bunga merah atau putih seharga Rp. 10.000. biasanya aku mampu menjual 20 tangkai dalam kisar waktu 1 jam saja. Hasil yag aku dapatkan dari menual bunga biasanya aku gunakan untuk makan malam bersama anak-anak kurang beruntung penghuni rumah cinta gray. Tetapi hari ini entah kenapa kaki terasa berat untuk melangkah.
Smile, berarti senyum. Aku masih penasaran dengan secarik kertas tadi. Lalu pikiranku membawa ku terbang sesukanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
JENDELA KELAS
Novela JuvenilKita renjana dan asa. Semoga cinta selalu bersama kita tanpa senjata. Kayu jendela di sekolah kelak akan lapuk dimakan usia, bentuk, warna bangunan tidak dapat dipastikan tetap sama semua akan berubah pada masanya. Asa yang aku yakini tentang dirimu...