B

17.4K 1.6K 62
                                    

Dua puluh tahun yang lalu.

Panti Asuhan Karsa Murni.

Nama itu tercantum disebuah papan putih yang hampir lapuk. Tulisannya juga sudah mulai hilang, namun masih terbaca dengan jelas. Tangan kokoh ayah meremas jemari Angin.

"Ayo, kita akan merayakan ulang tahunmu disini." Ajak pria tua berkacamata itu.

Angin menurut. Tidak ada alasan untuk tidak patuh pada sang ayah. Meski ulang tahun bukanlah hal istimewa baginya. Apalagi semenjak ibu pergi dari rumah. Semua terasa biasa saja. Kadang mereka merayakan hanya dengan makan di sebuah restoran ayam goreng favorit Angin. Baru kali ini ayah mengajaknya kemari untuk merayakan ulang tahun. 

Memasuki bagian dalam, kursi-kursi sudah diatur rapi. Banyak anak berusia  sebayanya. Tapi ada juga yang lebih kecil dan lebih besar. Mereka saling bersalaman juga mengucapkan nama. Angin hanya tersenyum, ia tidak suka suasana seperti ini.

Sampai kemudian anak berusia sepuluh tahun itu menerima ucapan selamat dari seorang gadis kecil. Berhidung mancung, berkulit putih,  memiliki bola mata hitam nan bulat. Rambut panjangnya dijalin rapi kepang satu.

"Selamat ulang tahun kak." Ucapnya malu malu sambil menatap mata Angin.

"Terima kasih. Nama  kamu siapa?" Kali ini ia yang bertanya lebih dulu.

"Kinanthi."

Nama itu membekas dalam hati Angin kecil. Berkali kali ia mengucapkan nama Kinanthi. Ada ketenangan dalam gersang jiwanya. Seperti air dingin yang menyejukkan. Wajah gadis kecil yang polos, senyum yang lembut. Mata bening seperti milik ibunya dulu.

Sore itu, tidak ada yang diingat oleh Angin, kecuali Kinanthi!

***


Kinanthi pada suatu senja.

"Kinan?" Panggil ibu Ghea sang pemilik asrama.

"Ya bu."

"Kamu sudah mau lulus SMU."

"Iya," jawab Kinan sambil menarik nafas dalam.

Ia menatap mata teduh milik Ibu yang duduk dihadapannya. Bibir itu tersenyum tapi matanya tidak. Kinan tahu, apa yang menjadi masalah utamanya. Yah, seperti kebiasaan di panti. Setelah tamat SMU maka mereka semua harus bekerja. Meski tetap  boleh tinggal disini. Syukur kalau bisa sambil kuliah. Seperti mas Dion. Sudah menjadi sarjana dan menduduki jabatan cukup penting di sebuah Bank Perkreditan Rakyat.

Tapi, bagi Kinanthi, itu masih sangat jauh. Ia tidak punya keahlian apa-apa. Selama ini, ia hanya membantu Ibu di rumah. Mengurus panti, menjahitkan baju adik-adiknya yang koyak. Membantu mengerjakan peer. Dan memasak di dapur untuk keperluan makan mereka.

"Kin?" Ibu menyentak lamunannya.

"Ya, bu?"

"Kamu sudah ada rencana?"

Kinan menggeleng.

"Ibu, melihat kamu punya bakat di dapur. Rencana ibu sama bapak, kamu akan kami ikutkan kursus memasak. Lalu kita buat dapur baru. Dan menjual roti. Masmu Dion bersedia mencari toko toko yang menerima titipan roti kita. Lumayan kan, Kin.

MENANTIMU DIUJUNG RINDU / TERBIT DI NOVELTOONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang