BAB 12

19 2 0
                                    

Kekika kau sungguh berada di ujung masalah, apa kau berpikir dirimu harus berakhir? Atau kau berusaha untuk menerimanya dan percaya bahawa Allah akan memberimu pertolongan?

Setelah hari pemakaman Raja Horion Swizzy memutuskan untuk tidak kembali ke Istana Stavia. Entahlah! Ia tak dapat memutuskan akan berapa lama dirinya berada di sana. Sungguh hal itu adalah masa sulit yang sulit diterima olehnya, gadis itu kembali mengurung diri dalam kamarnya, duduk di atas ranjang sembari memeluk lutut, seketika ia teringat akan bunga jasmin yang pernah ia letakkan di atas meja dalam kamarnya, jadi ia menoleh ke arah meja, namun betapa terkejutnya ia ketika mendapati meja itu tanpa sebuket bunga, matanya terbelalak dan mulutnya ternganga, bagkit lalu segera menuju meja itu, menyaksikan kembali meja tersebut dengan kernyit. Berjongkok, meraih gagang pintu lemari bawah meja, berharap mungkin ia memasukkannya ke dalam lemari. Akan tetapi setelah ia membukanya, ia hanya menyaksikan tumpukan buku-buku sekolahnya.

Meraba bagian dalam lemari, kemudian ia menutup kembali pintu lemari, bangkit berdiri, meraih gagang pintu laci dan melakukan hal yang sama, ternyata hasilnya juga tak berbeda. Ia terus mencari pada sekitar ruang kamarnya namun sepertinya buket bunga yang telah layu itu mustahil untuk ditemukan, dengan jengkel akhirnya ia memutuskan untuk keluar ruangan, lalu menyusuri jalan menuju asrama para pelayan istana. Air mata masih tampak di pipinya membuat siapa pun yang melihatnya tampak ketakutan, dan setibanya di asrama para pelayan Ratu Swizzy membuka kamar tanpa permisi. Suasana batinnya membuat dirinya bertindak tidak sopan, mengetahui keberadaannya membuat para pelayan segera keluar kamar, atau sebagian dari mereka yang tengah berada di luar asrama akan segera kembali ke asrama.

"Siapa dari antara kalian yang pernah melihat sebuket bunga jasmin di atas meja kamarku?" tanya Swizzy berusaha untuk tetap tenang.

Tak satu pun dari mereka menjawab pertanyaan seorang Ratu yang tengah berduka, bahkan beberapa dari mereka saling berbisik pada lawan bicaranya.

"Siapa dari antara kalian yang per-" Belum sempat ia menyelesaikan perkataannya seorang pelayan akhirnya melangkah maju ke barisan terdepan.

"Saya dan tim saya," jawabnya. "Ratu," Kemudian teman-teman satu timnya melangkah dan berdiri berderet bersamanya.

Setelah Swizzy bertanya tentang keberadaan buket bunga tersebut, ia merasa terpukul ketika mendengar jawaban dari para pelayannya bahwa buket bunga itu telah mereka buang, atas perintah Ibunda Swizzy. Memarahi para pelayan tentu tidak mungkin, karena apa pun yang mereka lakukan atas buket bunga itu bukanlah keinginan mereka, jadi ia memberi salam pamit pada para pelayan, dan mereka menjawabnya, beranjak keluar, menapak menuju kolam air mancur, memasukkan kedua tangan untuk mengambil air lalu menumpahkannya ke wajahnya. Kemudian beranjak menuju balkon kamarnya, di sana ia brteriak sejadi-jadinya, membuat semua orang yang berada di istana mengalir keluar ruangan untuk menyaksikannya. Gadis itu menangis sejadi-jadinya.

"Aku bahagiaaaaa!" jeritnya lalu menjatuhkan diri. Mengatakan hal itu berulang kali dalam tangisnya, sehingga gerbang istana ditutup.

Ibunda dan Titi yang mengetahui hal tersebut segera menuju singgasana Ratu, mereka menghentikan langkah dengan terkejut ketika menyaksikan Ratu. Titi menutup mulut dan Ibunda Ratu segera berlari menghampiri Swizzy lalu memeluknya. "Hentikan, nak," desahnya. Ibunda Ratu membantu Ratu untuk berdiri kemudian membawanya masuk ke dalam ruang kamar dalam peluknya, setelah itu Titi menutup pintu balkon kamar Swizzy. Mereka duduk di atas ranjang, Swizzy menutup wajah untuk menyembunyikan wajah merah yang basah itu dan Titi beranjak ke luar ruangan berniat untuk meninggalkan keduanya.

"Apa yang kau lakukan, sayang?" tanya Ibunda Ratu masih merasa terpukul.

Swizzy melepas kedua tangan dari wajahnya. "Bunga jasmin-ku," desahnya sembari menoleh ke arah Ibunda Ratu.

"Ya Allah!" Ibunda Ratu terkejut. "Hanya karena itu?" Ia mengernyit. "Bunga itu telah layu, tak layak untuk hiasan kamarmu." sambungnya. "Semua orang tengah berduka di sini," ujar lembut, sementara Ratu hanya tertunduk. "Semua orang, sayang, bukan hanya kau," ujarnya sembari meraih wajah Ratu dan membawanya ke hadapannya, lalu tersenyum. Kedua jari telunjuknya menghapus air mata Ratu.

Ibunda Ratu tertunduk menatap satu tangan Ratu dan meraihnya, meletakkannya pada telapak tangan kiri, lalu menutupnya dengan tangan kanan, kemudian mendongak menatap Swizzy. "Kenapa kau tak kembali ke Barlie?"

Swizzy memeluk Ibunda Ratu sambil menangis dan Ibunda Ratu membalas peluk.








Selama Ratu Swizzy berada di Crownveil, Puteri Shakira bersama ibundanya berusaha untuk menadapatkan Raja Ardhi. Namun karena situasi tak menguntungkan jadi Ardhi kerap menghindari mereka, yang membuat mereka merasa kesal. Sungguh tak memiliki pendirian, adakah orang yang setelah berduka kemudian memiliki hasrat untuk menikah? Oh, itu tak mungkin! Ibunda dan seorang putrinya kerap berusaha untuk dapat mendekati Ardhi, dengan harapan Ardhi akan jatuh cinta pada Shakira, hingga pada kesempatan lain Ardhi menunjukkan kemarahannya dengan mendorong seluruh isi mejanya. "Keluar!" intruksinya sembari mengangkat satu tangannya.

"Bagaimana ini?" tanya Shakira pada ibundanya dengan putus asa, ketika menapak menuju pintu gerbang.

"Entahlah!"

Tak lama Shakira menemukan sebuah ide yang membuatnya kembali bersemangat untuk mendapatkan Ardhi. Ia mendekati telinga ibundanya dan berbisik, setelah itu ia menarik kepala sembari menatap ibundanya dan keduanya mengangguk tanda setuju. Di Kota Crownveil, Swizzy tengah jatuh sakit setelah beberapa hari mengurung diri, kini ia merasa lebih tenang berada di Crownveil. Sungguh sedih bagi seorang ibu setelah mengetahui hal yang sebenarnya terjadi tentang perasaan Swizzy terhadap Ardhi, hal tersebut akan tetap menjadi sebuah rahasia antara Ardhi, Ibunda Ratu dan Swizzy. Ketika Swizzy tengah beristirahat di atas ranjangnya, ponselnya berdering pertanda panggilan masuk, bangkit duduk, menoleh ke arah meja, meraih ponsel dan membawanya. Rupanya adalah panggilan dari Ardhi.

Gadis itu menekan tombol terima, mendekatkan ponsel pada telinga kirinya.

"Assalamualaikum," ucap Ardhi sembari berdiri di bagian dalam balkon kamar.

"Waalaikumussalam."

Ardhi mengigit bibir, merasa bersyukur setelah berhasil menghubungi Ratu. "Bagaimana dengan kondisimu di sana?" Ia tampak cemas. "Aku mencemaskanmu."

"Alhamdulillah ala kullihal!" jawab Swizzy.

Ardhi tampak terkejut, berbalik bersandar pada pagar balkon, tertunduk sembari melipat satu tangan di depan dada. "Apa kau baik-baik saja?" tanyanya.

Swizzy menoleh menatap jendela kamarnya. "Aku baik-baik saja!"

"Oh," Ardhi mendongak. "Kau yakin?"

"Ya."

"Kapan kau akan kembali? Aku akan menjemputmu," Ardhi berkacak pinggang.

"Entahlah!" jawab Swizzy lalu tertunduk menatap selimutnya. "Aku masih ingin tinggal bersama Ibunda."

"Baiklah!" sambung Ardhi. "Tolong kabari aku jika kau akan kembali."

"Ya."

Swizzy berusaha untuk menerima Ardhi sebagai suaminya setelah melihat kenyataan bahwa Ardhi amat memerhatikannya. Namun tenetunya itu tak semudah yang ia pikirkan, luka patah hatinya masih menyengat, membuatnya mengalami sindrom patah hati dalam waktu seminggu, jantungnya kerap berdebar kian kencang, sehingga ia menjadi sering meminum obat penenag, karena selain debaran itu ia juga sering merasa panik. Sebenarnya mengurung diri dalam ruang kamar adalah caranya untuk menunjukkan bahwa dirinya mulai merasa tertekan. Sebuah memori melintas di pikirannya, tentang Hadyan yang pernah memberinya satu nasihat yang berisi: jika kau merasa kehilangan sesuatu kau harus yakin bahwa Allah akan mengantinya dengan sesuatu yang lebih baik.

Hanya memori itu yang mampu membuat Swizzy bersemangat untuk menjalani hidup.(*)



HoriontineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang