Amsterdam
Pagi ini masih dimulai dengan tatapan kosong menghadap jendela. Hari kesekian mengarungi malam tanpa terpejam dikota Amsterdam, entah berapa cangkir kopi ia reguk agar tak kunjung lelap mengiring mimipi. Mimpi yang indah saat lelap, namun perih saat mata mulai mengerjap.
Akhir bulan ini terasa begitu dingin padahal salju tak lagi memperlihatkan putihnya. Secepat mungkin ia langkahkan kaki menyusuri jalan menuju Stasiun kereta Amsterdam Centraal. Tak butuh waktu lama baginya untuk sampai didepan bangunan megah bewarna merah bata itu, terlihat seorang pria berwajah melayu menyeringai sambil melambaikan tangan kearahnya, namanya Jun, sahabatnya saat berkuliah di Pekanbaru yang kini bekerja sebagai teknisi kereta di Amsterdam.
"Gundah apalagi yang ingin kau bagi denganku Zamil,?" ujar pria berbadan kecil itu.
"Mungkin kali ini tak serumit cerita kemarin, cukup dengan dua gelas kopi saja,"
"Nampaknya tak kunjung reda badai dihatimu," Gerutunya sambil mengayunkan langkah mengarah kecafe tempat biasa mereka bercengkrama, atau mungkin lebih tepatnya Zamil yang ingin berkeluh kesah kepada Jun.
Sudah dua bulan ini dia memang sering meminta waktu Jun untuk sekedar melelepaskan beban yang menumpuk dipikirannya dan juga memintai pendapat walau tak satupun ia dengar. Seperti biasa, mereka selalu memesan dua cangkir espresso panas tanpa gula, agar pahit dilidah bisa mengusir pahit dipikiran.
Selepas dua jam berbincang panjang, Zamil kembali ke 'Houseboat' dipinggir kanal Amstel. Ia memandangi lekat-lekat dari tepian, sebuah rumah perahu kecil yang sudah beberapa bulan ini dia tempati, walau kini sedikit tak terurus dengan puluhan bunga tulip disamping sepeda tua. Memutar kembali memori beberapa bulan lalu ada sosok yang pernah hadir disana.
WANITA GEDUNG MERAH
Pria itu memainkan sebuah pulpen ditangannya. Tak ada lagi berkas yang harus ia tanda tangani hari ini. Sebentar lagi pukul lima sore, ia masih menunggu telpon dari seorang supir yang biasa menjemputnya. Ia sudah terbisa menunggu lama, kondisi jalanan ibukota sudah lumrah baginya jikalau mobilnya terjebak macet. Apalagi diluar sana hujan sedang deras-deranya.
Tak lama kemudian ada sebuah panggilan masuk pada ponselnya. Sebuah kontak bertuliskan Ujang supir.
"Maaf pak, mobil kita mogok ditengah macet pak," lapor sang supir kepada tuannya.
"Iya, tidak apa-apa, saya naik angkutan umum saja," jawab pria yang dipanggil bapak tersebut.
Pria itu bernama Zamil, seorang pimpinan perusahaan yang masih berumur dua puluh lima tahun. Menjadi mapan di usia muda tak membuatnya bahagia. Jarang sekali senyuman terlihat diwajahnya, bahkan tak pernah tersenyum. Para kayawannya tertunduk segan apabila menghadapnya, atau lebih tepatnya takut. Tak satupun berani membantah omongannya, apalagi mengarang alasan atas keterlambatan masuk kantor.
Dia memang menjadi orang yang keras semenjak memimpin perusahaan ayahnya dua tahun terakhir. Ketegasannya tak memperlihatkan kalau umurnya masih dua pulah lima tahun, umur yang sangat muda untuk memimpin sebuah perusahaan besar.
Zamil pun turun menuju halte bus didepan kantornya. Hujan masih turun sangat deras. Para karyawan bergantian menyapa sembari memijamkan payung, entah menjilat atau benar-benar tulus ingin membantu bosnya.
Beberapa menit menunggu belum ada tanda-tanda kedatangan bus yang akan ia tumpangi. Namun hal lain justru datang mengejutkannya. Seorang wanita berlarian menghidari hujan dari sebuah gedung merah mengarah kehalte bus, wanita itu berdiri tepat disebelah Zamil. Dia tak henti-hentinya meracau karena rambutnya basah dan mengibas-ngibasnya, tanpa sengaja kopi yang ada pada genggamannya mengenai setelan jas rapi Zamil, wanita itu terdiam takut apabila pria klimis disebelahnya marah dan segera meminta maaf. Tak seperti biasanya, Zamil tersenyum melihat tingkah laku wanita dengan pakaian serba merah tersebut. Mungkin itu senyuman pertama Zamil selama dua tahun terakhir.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dentum Rindu
Romantikapercayakan saja pada rindu, dentumannya akan menjawab semua tanyamu