Musibah

3.2K 98 3
                                    

Jadi gini, Pengennya saya buat cerita yang panjang. Tapi terlalu panjang juga enggak enak :D

Setelah saya pikir-pikir, lebih enak saya buat cerpen aja yak. Biar langsung ke intinya.

Kalo saya tulis sesuai kronologinya pasti terlalu panjang dan jalan ceritanya jadi telalu lamban. Biar kalian enggak bosen jadi saya buat cerita ini langsung dari inti ke inti saja.

Selamat membaca :)

---

(Cerita ini terjadi sekitar tahun 2006)

Senja telah resmi menjadi malam. Pukul 18:00 WIB selepas sholat Maghrib, Anton sedang menunggu seseorang di sebuah warung kopi di dekat jalan Majapahit, kota Mojokerto. Kebetulan saat itu ia sedang libur kerja dan ingin bertemu kawan lamanya yang ada di kota itu. Beberapa menit kemudian, suara bising sebuah motor terdengar dari halaman parkir warung tersebut. Anton melambaikan tangan kepada pengendara motor itu.

***

"Sori lama. Tadi masih ada kendala di jalan. Aku habis nabrak orang," ujar pria itu.

"Innalillahi. Terus, kamu enggak apa-apa?" tanya Anton pada pria itu yang telah duduk di depan mejanya.

"Ya, enggak apa-apa, sih. Cuma orang yang aku tabrak lecet kaki sama tangannya. Untung aja enggak ada polisi, orangnya juga mau di selesaikan dengan cara damai."

"Alhamdulillah, syukurlah kalo gitu," balas Anton lega.

"Syukur apanya. Aku bayar 300 ribu buat tuh orang," kesal pria itu sambil memegangi kepala.

"Loh, kok banyak? Emang parah?"

Pria itu menjelaskan panjang lebar kronologi kejadiannya. Korban yang di tabrak meminta pertanggung jawaban, jika ingin menyelesaikan dengan cara kekeluargaan harus membayar besaran sekian. Awalnya si korban meminta uang sebesar 500 ribu, namun pria itu hanya memiliki uang 300 ribu terakhirnya di dompet. Mau tak mau ia hanya bisa memberikan sembari mengikhlaskan uang terakhirnya untuk bertahan sampai akhir bulan menunggu gajian. Lebih baik damai daripada urusan polisi ujarnya.

Anton yang melihat kawannya kesal itu mencoba untuk menghiburnya. Namun obrolan demi obrolan mereka terasa hambar karena pria itu tak kunjung tersenyum. Tak sesekali ia mengucapkan kata-kata yang tidak mengenakkan untuk didengar. Semakin lama Anton pun jengkel melihat kelakuan dan perkataannya. Tak sedikit pula sorot pandang dari pengunjung lain memperhatikan mereka berdua.

Tiba-tiba Anton mengingat sesuatu jika kawannya ini dulunya suka mendaki gunung sama dengannya. Walaupun pria itu telah vakum mendaki selama setahun silam. Apa salahnya untuk mengajaknya ke puncak lagi agar lebih tenang pikirannya melupakan kejadian yang telah menimpanya.

***

"Ren," ujar Anton.

"...." Pria itu masih diam tak menghiraukan.

"Ren ... Rendi. Mendaki malam hari berani nggak?" tantang Anton.

"Di mana?"

"Sini aja, yang deket-deket. Di Penanggungan mungkin," tawar Anton.

"Kapan?"

"Sekarang lah."

"...." Rendi hanya terdiam lama. Lalu ia berujung menjawab, "Kamu ini, udah aku ketimpa masalah, malah ngajak muncak. Enggak ada uang aku."

"Justru itu yang asik. Biar pikiranmu tenang diatas puncak. Soal uang enggak perlu dipikir. Kayak mau ke mall aja butuh uang banyak."

"Enggak ah," pungkas pria itu.

"Ayolah, biar suasana hatimu sedikit terhibur. Enggak tega aku liat kamu yang kayak gini. Daripada di rumah malah pening," rayu Anton.

Setelah lama dipertimbangkan, akhirnya Rendi mengamini tantangan Anton. Karena pendakian yang terbilang dadakan, mereka hanya membawa alat seadanya saja. Lagi pula, Gunung Penanggungan juga sudah menjadi tempat pendakian mereka untuk kesekian kalinya. Jadi, mereka sudah hafal betul medan yang akan mereka lalui. Pun soal pendakian, mereka sudah berpengalaman. Namun, malam hari adalah kali pertama ini mereka mendaki.

***

Setiap bagian saya buat sekitar kurang lebih dibawah 500 kata aja ya. Maksudnya biar bisa di bagi jadi beberapa bagian. Hihihi

Jika kalian terkena musibah, tetap tabah menjalaninya. Jangan mudah emosi. Tuhan tidak memberikan cobaan melebihi kemampuan hambanya kok :)

Dimensi Alam Lain [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang