Dimensi Alam Lain

1.8K 73 0
                                    

Sebenarnya cerita awal saya buat menggunakan bahasa Jawa. Namun karena terlalu panjang, dan saya harus menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, saya memutuskan untuk merubah ceritanya kembali menggunakan bahasa Indonesia.

Oke, selamat menikmati kembali jalannya cerita. :)

---

"Nyuwun sewu," ujar Rendi permisi sambil membungkuk.

Anton hanya terdiam keheranan. Mungkin karena melewati makam, Rendi menunduk permisi. Kemudian Anton berujung mengucap, "Assalamu'alaikum."

Setelah jarak sekitar 50 meter mereka berjalan melewati tempat itu, Rendi bertanya pada Anton, "Kamu tadi kenapa mengucap salam?"

"Lha ... kamu juga kenapa bilang permisi?" ujar Anton menyela. "Bukannya karena kita lewat makam tadi, jadinya kamu bilang permisi? Aku ya ikut mengucap salam lah," sambungnya.

Rendi menepuk jidat. "Lha mata kamu enggak lihat apa, banyak orang sedang main kartu remi di pos depan makam tadi? Maksudku tadi permisi buat orang-orang di situ, bukan di makam," tandasnya.

"Matamu sendiri yang enggak lihat, dari tadi di pos ya enggak ada orang," pelas Anton tidak terima.

Kemudian Rendi menoleh kebelakang. "loh jancuk. Kok, tiba-tiba sepi, Ton? Terus yang aku lihat tadi siapa?" ucapnya lirih.

"Rend ... jangan bercanda, Rend. Kita baru sampai sini loh ini."

"Sumpah, Ton, aku enggak bercanda. Tadi orang-orang pas aku sapa juga pada tertawa semua. Terus menyapa balik ke kita."

Anton melihat wajah Rendi memang terlihat sangat serius dan tegang.

"Udah-udah, setelah ini jaga perkataan. Jangan suka ngomong sembarangan," ujar Anton melerai perdebatan. Walaupun saat itu bulu romanya juga sedang berdiri ketakutan.

Mereka terus melakukan pendakian. Meskipun dengan rasa takut dari diri Anton, ia enggan mengajaknya kembali. Karena jika itu terjadi, maka reputasinya sebagai lelaki akan tercoret habis-habisan di depan Rendi. Anton yang menantang, masak iya dia sendiri yang mengurungkan?

Dalam perjalanan pendakian, tak ada satupun pendaki yang berpapasan dengan mereka. Mana ada orang mendaki di tengah malam seperti ini? Rendi yang terus bernyanyi dalam perjalanan mencoba untuk menghibur dirinya di tengah gelapnya lintasan yang mereka lewati.

Ternyata benar kata Mak Sut, perjalanan malam hari akan terasa lebih berat dibandingkan siang hari. Pandangan pun hanya tertuju pada sinar headlamp yang mereka pakai. Benar, berat sekali seperti apa yang Anton rasakan saat ini. Tiba-tiba geraknya terasa sangat berat untuk berjalan. Seperti ada yang ia gendong.

Padahal, dalam isi carrier Anton hanya ada sleeping bag, tenda, dan matras saja. Selebihnya tidak ada apa pun. Sedangkan untuk 2 botol minum dan 4 mie instan ada di carrier Rendi. Kemudian Anton memanggil Rendi yang sudah terlihat semakin menjauhinya ke atas.

"Rend ... Rendii...," pekik Anton.

Rendi tetap tidak menghiraukan. Ia tetap berjalan dengan bernyanyi lantang.

"Rend!" Anton mencoba untuk berteriak sekencang-kencangnya. Namun Rendi tak mendengar. Justru perlahan suara nyanyian Rendi semakin menghilang.

***

Sementara dari sisi Rendi, ia merasakan seperti ada yang memanggilnya dari belakang, tapi suaranya halus. Ia celingukan ketika melihat ke belakang tidak ada Anton di belakangnya. Padahal sedari tadi Rendi merasakan keberadaan Anton hanya berjarak beberapa senti di belakangnya. Kemudian ia melihat sorotan lampu kecil di bawah. Seperti kunang-kunang, tapi juga seperti headlamp milik Anton. Ia mencoba untuk menghampirinya. Semakin Rendi mendekati, sorotan lampu itu semakin menurun ke bawah. Sejenak langkahnya terhenti. Sinar itu berputar kemudian berhenti, dan berkali-kali seperti itu.

Rendi heran, ia mencoba untuk memastikan bahwa itu adalah Anton.

"Ton ... ngapain kamu muter-muter di situ. Cepetan naik!" pekiknya.

Namun tidak ada jawaban. Sinar itu hanya bergeser ke kiri dan kanan seperti mengisyaratkan gelengan kepala. Rendi yang keki melihat tingkah yang aneh itu, akhirnya turun ke bawah dengan cepat menghampiri sinar yang dikiranya itu adalah Anton.

Saat jaraknya sudah semakin dekat, sinar itu justru terbang ke atas mengeluarkan asap di atas kepala Rendi, kemudian perlahan menghilang. Tapi tidak terlihat sosok apa yang ia lihat. Yang jelas, ia tak bisa berucap apa-apa. Rendi terdiam seribu kata dan kemudian segera kembali ke atas.

Seketika ia memutarkan badan, tubuhnya menabrak punggung seseorang.

Bruuk!!

"Jancuk!" Sontak perkataan pertamanya tak sengaja terlontarkan dari mulut Rendi.

"Kamu dari tadi ke mana aja, sih? Kok tiba-tiba di depanku?!" imbuhnya dengan nada sedikit meninggi.

Ternyata itu adalah tubuh Anton. Ia juga menoleh ke arah Rendi seraya berkata, "Sebentar, bukannya kamu tadi udah di atas, ya?" balas Anton yang juga kebingungan. "Aku dari tadi teriak panggil kamu tapi kamu malah makin jauh enggak kelihatan." Anton melengkapi perkataannya.

"Aku tadi lihat sinar di bawah. Aku mikirnya itu sinar dari headlamp kamu. Pas aku mendekat malah terbang ke atas. Ya aku takut lah, terus mau balik naik ke atas, ternyata kamu udah di depanku," jelas Rendi.

"Tadi aku juga merasa berat banget di carrier-ku. Padahal sejak perjalanan tadi enggak begitu berat." Anton juga menjelaskan.

Belum selesai perdebatan mereka, sejurus kemudian terdengar suara seperti seorang wanita yang membisik. Namun terdengar jelas, sangat jelas sekali. Sampai Anton menepuk punggung Rendi.

"Rend, denger nggak?"

"Aku tadi juga denger suara ini," jelas Rendi.

Mereka berdua sejenak terdiam. Tak lama suara itu kembali lagi. Namun lebih jelas, seperti sedang memanggil seseorang. Suaranya seperti "Haaaaiiii." Jelas sekali terdengar di kedua telinga mereka.

"Nyuwun sewu, Mbah. Putune namung bade lewat," ujar Anton menggunakan bahasa Jawa halus.
(Permisi, Mbah. Cucunya hanya ingin lewat)

"Udah, Ton. Enggak perlu takut." Sambil menepuk pundak Anton. "Tetep lanjut, Kalo kita takut malah tersugesti sendiri nanti. Kita di sini enggak ganggu, 'kan," ujar Rendi menguatkan hati Anton. Walaupun saat itu juga Rendi sedang gemetar ketakutan betul.

***

Sampe sini pasti kalian bertanya-tanya. :D

Reader: Bang, kok bisa sih buat ceritanya dari dua sudut?

Author: Iya soalnya dua-duanya nara sumber itu rekan saya.

Reader: Ini beneran true story ya?

Author: Kan, sudah saya bilang. Cerita ini saya desain ulang. Enggak semua dalam cerita ini fakta dan enggak semua cerita ini fiktif. Tergantung kalian menafsirkannya. Lagi pula ini untuk pelajaran buat kita saja, kok. Ambil makna dari cerita ini. :)

Dimensi Alam Lain [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang