"Lo jangan pulang sendiri, Win. Entar gue anter."
Windy tidak mengangkat kepalanya dari buku. "Emang kenapa enggak boleh pulang sendiri?"
Erwin berdecak. "Nanti lo digangguin si Jon, bisa ngamuk Emak lo sama gue."
Windy membalik halaman bukunya. "Ngapain si Jon gangguin gue?"
Erwin menyentil telinganya, yang tetap tidak mengalihkan Windy dari buku yang dibaca. "Lo resek duluan ke dia, Onyon."
Windy meringis sedikit karena sentilan itu. Tanpa melihat dia mengulurkan tangan dan mencubit perut Erwin lalu memutar cubitannya sehingga Erwin berteriak kesakitan.
"Jangan suka pake kekerasan, kekerasan cuma akan menghasilkan kekerasan juga," ujarnya datar.
Erwin mengusap bekas cubitannya sambil mendengkus. Spontan dia mendorong kepala Windy karena kesal.
"Untung lo adiknya Renata, kalo bukan ...."
Windy sama sekali tidak mengangkat kepalanya. "Lo masih naksir Kak Rena, Kak Win?"
Ups! Wajah Erwin langsung memerah. "Siapa bilang? Gue kan sahabat Rena dari dulu, kenapa lo pake nanya, sih?"
Windy mengangkat bahu tak acuh. "Aneh aja, naksir kakaknya malah ngeribetin adiknya."
"Gue sayang Rena sebagai sahabat, Windy! Jangan asal ngomong napa?" Sekali lagi Erwin menyentil telinga Windy, tapi kali ini dia bergerak cepat menghindari Windy seandainya gadis itu ingin balas mencubit.
Windy membalik kembali halaman bukunya. "Kak Rena lagi dideketin cowok, tuh. Kalo enggak mau terlambat, ngomong duluan sana," katanya dengan nada datar.
Erwin berjengit. "Gue enggak naksir Rena, Oncom!" Namun, ekspresinya berubah murung. Dia sampai tidak menyadari saat tangan Windy lagi-lagi terulur, dan kali ini mencubit lengannya lalu memutarnya hingga dia melolong kaget.
"Gila! Lo cubit pake jari apa tang, sih, Win? Pedes banget," gerutunya.
"Orang yang menabur angin akan menuai badai," gumam Windy.
Erwin melongo. "Enggak nyambung lo."
Windy mengangkat bahu. "Lo nyentil, gue cubit, lo dorong kepala gue, gue tonjok lo."
"Sopan, woi! Gue kakak kelas lo biar gimana."
"Di mata gue lo bucinnya Kak Rena."
"Wanjer! Enggak sopan banget lo." Tangan Erwin terangkat, tapi kemudian hanya teracung ke udara saat Windy menggerakkan telunjuknya dengan tenang tanpa mengalihkan pandangan dari buku.
"Yakin mau menuai badai?"
Erwin cengar-cengir. "Bahasa lo, berasa lagi ngomong sama Chairul Tanjung gue."
"Chairil Anwar, speaker tahu bulet. Chairul Tanjung mah yang punya CT Corp."
Erwin menyeringai bodoh. Dia menoleh kaget saat bahunya ditepuk keras dari belakang.
"Gue baru tau kalo lo suka hang up sama anak kelas sepuluh, Er." Jon menyeringai jail.
"Hangout, bukan hang up. Tolong kalo mau kedengaran gaul, seenggaknya riset dulu," Windy menukas datar.
Jon memelotot tapi wajahnya merah karena malu. Erwin langsung cengengesan geli.
"Lo jail, ya?" Tangan Jon terulur dan menyentil dahi Windy yang tertutup poni.
Erwin langsung membelalak. Bukan ... dia bukan khawatir pada nasib Jon yang akan segera menuai cubitan Windy. Justru dia khawatir kalau Windy mencubit cowok itu, maka habis sudah. Nasibnya akan menjadi bulan-bulanan para senior fannya Jon yang berjumlah sangat banyak, plus menjadi korban perundungan Jon, Teddy, dan Boy, teman-teman Erwin di tim inti basket.
KAMU SEDANG MEMBACA
Windy
Teen FictionWindy hanya khawatir tidak bisa naik kelas dalam masa sekolahnya, menghindari pacaran yang dianggapnya sumber masalah. Tetapi, Dave-kakak kelas idola di sekolah-menyatakan perasaannya untuk Windy dan membuat segalanya menjadi rumit. *** Windy-seoran...
Wattpad Original
Ada 7 bab gratis lagi