Dave mengamati gadis kutu buku di hadapannya, yang duduk dengan kaki menggantung di bangku bulat berkaki tinggi. Sikap Windy anehnya sedikit canggung, tidak cuek seperti biasanya.
"Gue kira lo enggak bisa salting," komentar Dave sambil menaruh gelas berisi teh hangat di meja dapur, tepat di depan gadis berkacamata itu.
Windy memberinya tatapan datar, membuat Dave menyengir.
"Saya tetep cewek, dan kebetulan saya di usia puber, Kak. Belum biasa berduaan sama cowok yang juga sama-sama masih puber," sahutnya dengan gaya khas Windy yang sengak. "Kakak enggak bisa pinjemin saya buku atau majalah gitu, biar saya enggak perlu mati gaya?"
Dave tertawa. Dia duduk di sebelah Windy dan menghirup tehnya sendiri. "Gue keren banget bisa bikin lo mati gaya," katanya kemudian.
Windy menghela napas. "Selain Kak Erwin, cowok lain buat saya itu emang asing. Wajar kalo saya enggak terlalu nyaman berduaan aja dalam waktu lama. Apalagi kalo enggak ada buku."
Dave membulatkan bibir. "Oh, gitu." Diam sejenak. "Betewe, kayaknya lo suka sama Erwin, ya?"
Spontan, Windy mengangguk. "Banget."
Dave melebarkan matanya, terkejut. "Oya? Gue kira dia naksir sama Kak Rena, mantan ketos yang katanya kakak lo."
"Kak Erwin emang suka sama Kak Rena."
"Tapi lo suka Erwin?"
"Iya."
"Berarti lo suka sendiri, dong?"
"Kak Erwin suka juga sama saya, tapi sukanya beda dengan Kak Rena."
"Suka lo ke Erwin sama atau beda dengan suka Erwin ke Rena?"
Windy berdecih. "Ya bedalah! Suka saya ke Kak Erwin sama dengan suka Kak Erwin ke saya. Ribet, ih, Kak Dave."
Tanpa sengaja Dave mengembuskan napas lega. "Oh ... begitu."
"Katanya Kakak suka baca buku? Kok saya enggak lihat ada koleksi buku di sini?"
Dave turun dari bangkunya. "Ini rumah nyokap gue, buku gue di rumah bokap. Kalo kita main game aja, gimana? Ada game online seru yang bisa dimainin bareng."
Windy menggeleng dengan cepat. "Enggak, ah. Males."
Dave langsung kecewa. "Yah ... gue kira lo anak yang lumayan seru. Lo kan enggak cewek-cewek banget, jadi tadinya gue pikir lo pasti suka main game."
Abai dengan kekecewaannya, Windy malah meneguk tehnya yang masih hangat.
"Saya enggak tahu bakalan suka atau enggak sama game. Tapi, mendingan enggak usah cari tahu," katanya kemudian.
"Kenapa?"
Windy mengangkat bahu. "Kalo ternyata saya suka, bisa bahaya. Kakak kan tahu, saya suka sama buku, dan lihat kan gimana saya kalo lagi baca?"
Dave mengangguk. "Lihat. Terus?"
"Bayangin kalo saya kayak gitu juga seandainya main game. Bisa-bisa saya enggak mandi, enggak makan, enggak ...," dia merinding, "sekolah. Hiiii ...."
Dave termangu. "Lo selalu ekstrim banget kalo suka sama sesuatu?" tanyanya geli.
Windy mengangguk.
Beberapa saat Dave tercenung. "Selain Erwin, lo pernah suka sama cowok lain?"
Mata bulat Windy mengerjap di balik lensanya. "Kenapa?"
"Gue pengen tahu aja."
Windy berpikir sejenak, lalu mengangguk lambat. "Sering. Waktu SD dan SMP saya suka sama beberapa cowok, kalo SMA sih baru sama Kak Erwin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Windy
Teen FictionWindy hanya khawatir tidak bisa naik kelas dalam masa sekolahnya, menghindari pacaran yang dianggapnya sumber masalah. Tetapi, Dave-kakak kelas idola di sekolah-menyatakan perasaannya untuk Windy dan membuat segalanya menjadi rumit. *** Windy-seoran...
Wattpad Original
Ada 1 bab gratis lagi