"Aku butuh kemeja satu lagi."
Bulan mengangkat kepalanya dari jahitan dan memandang putri bungsunya yang melangkah masuk sambil menggerutu.
"Kemeja putihmu kan baru beli awal tahun ajaran. Ngapain tambah lagi?" tanyanya.
Windy menggantung tasnya dan mengambil pakaian ganti. "Kemejaku yang kesiram es teh kemarin belum kering, kalo yang ini kucuci sekarang, besok aku gak bisa pake seragam," jawabnya. Dia memandang ibunya yang memutar mata. "Biarpun itu gak kejadian, tetap aja aku butuh cadangan. Siapa yang tahu bakalan hujan berturut-turut dan kemejaku basah semua?"
Bulan memutus benang dengan gunting lalu meregangkan pakaian yang dijahit untuk melihat apakah jahitannya sudah cukup rapat. "Kalau hujan berturut-turut kamu bisa tunggu sampai berhenti, itu memang sedikit buang waktu tapi kemejamu enggak akan basah. Soal kemeja basah kesiram es, Mama yakin kalau kamu minum es sambil jalan dan baca. Kalau kamu enggak lakukan, pasti enggak akan ada kejadian begitu."
Windy termangu. "Iya, sih. Tapi kemungkinan kan tetap ada aja, Ma. Biarpun aku minum es sambil duduk, terus tiba-tiba ada gempa, bisa aja esnya jatuh di kemejaku, kan? Kalau yang satu masih basah, besoknya aku enggak bisa pakai seragam dan kena tindakan disiplin."
"Kalau ada gempa, sebaiknya kamu tenang dan perhatikan sekeliling. Kalau kemungkinan keluar ruangan lebih berbahaya, cari sudut ruangan dengan benda besar yang bisa melindungi kepalamu seperti meja. Pada saat itu kemeja yang kena es teh sudah tidak lagi jadi masalah besar karena nyawa kamu lebih penting."
Windy cemberut. Dia berbalik dan melangkah menuju ke kamar mandi, tepat saat Renata kakaknya keluar.
"Kenapa, Win?" tanya Renata heran.
Windy mendengkus. "Bete," jawabnya. Saat itu sebuah pikiran melintas, dan dia memandang Renata.
"Kak, minta kemeja putih, dong."
Renata menoleh. "Buat apa?"
Bibir Windy mengerucut. "Buat seragam. Kemejaku kotor kena es teh dan Mama merasa ngumpet di kolong meja di pojok ruangan waktu gempa untuk nyelametin nyawaku lebih penting dari kemeja."
Renata menyengir dan melirik ibunya yang tampak tak acuh tapi sedang menyembunyikan senyum geli. "Pinjem aja, ya. Aku kan butuh juga."
"Ya udah."
"Eh ... bentar. Kalo aku bisa nemuin kemeja putih seragamku waktu kelas satu dulu, kamu mau pake?"
Windy membelalak. "Maksud Kakak aku harus pake kemeja bekas, gitu?"
Renata mengangguk.
"Ya mau, lah! Tolong dicariin sekarang." Sambil berkata begitu dia berbalik dan masuk ke kamar mandi.
Renata menyengir lebar dan sambil mengeringkan rambut dengan handuk dia menghampiri ibunya.
"Kenapa Mama enggak beliin aja, sih? Kasihan tahu, dari dulu dia pake bekas aku terus," katanya.
"Kalo punya duit, ya, Mama beliin, Ren. Seandainya kamu bisa pake bekas Mama juga belum tentu Mama paksain beli kalau enggak punya uang, mending buat makan, bayar kontrakan, dan juga uang sekolahmu."
Renata mengerucutkan bibirnya. "Mama, sih, gitu."
"Enggak usah protes, mendingan kamu cariin deh kemeja lama kamu, biar Mama sekalian betulin kalo ada yang rusak."
Renata mengangguk lalu masuk ke kamarnya. Tak lama gadis manis itu pun sudah sibuk membongkar baju bekasnya saat dia masih bertubuh serata papan dulu.
******
"Lima belas ribu perak mau buat apa, Win?"
Windy mengembuskan napas dengan dramatis. "Buat beli asam sitrat, Mama. Seragam Kak Rena memang muat buatku, tapi warnanya udah kuning semua gitu. Aku mau rendam asam sitrat dulu biar cerah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Windy
Teen FictionWindy hanya khawatir tidak bisa naik kelas dalam masa sekolahnya, menghindari pacaran yang dianggapnya sumber masalah. Tetapi, Dave-kakak kelas idola di sekolah-menyatakan perasaannya untuk Windy dan membuat segalanya menjadi rumit. *** Windy-seoran...
Wattpad Original
Ada 4 bab gratis lagi