"Eh, ada Dave."
Dave menoleh dan melihat ibunya yang cantik dan langsing memasuki ruang tengah tempatnya tengkurap di karpet sambil membaca.
"Mami baru pulang?"
"Iya. Ada barang baru masuk, jadi Mami harus stay untuk periksa laporan. Sudah dari jam berapa ke sini?" Emilia duduk di sebelah putranya yang jangkung itu. Dia menyelonjorkan kakinya yang pegal setelah seharian berdiri dengan sepatu berhak 12 sentimeter.
"Sekitar jam setengah enam. Ngomong-ngomong, bisa kasih aku uang? Aku butuh untuk beli hape baru."
"Hape kamu kenapa?" tanya Emilia sambil meraih ponsel Dave yang tergeletak di sebelahnya. Iseng dia mencoba membukanya, tetapi batal saat Dave merebut ponsel itu.
"Kepo banget sih, Mi? Aku kepengin punya hape baru aja. Kenapa? Mami enggak mau kasih? Ya udah."
"Bukan gitu, Dave. Mami kan enggak mau kamu pakai uang buat beli barang-barang yang ... gitu, deh."
"Narkoba maksud Mami?" tukas Dave.
Emilia mengangkat bahu. "Bukan untuk itu, kan?"
Dave mengembuskan napas jengkel. "Tadi aku bilang, kan? Buat beli hape baru. Aku mau pinjemin ke temen biar kami bisa main game online bareng."
"Kenapa dia enggak pake hape sendiri?"
"Dia enggak punya hape."
"Bohong amat!" Emilia mendengkus.
Dave menoleh. "Bohong? Mami ngatain siapa? Aku atau dia?"
"Dialah! Mana ada manusia hidup jaman sekarang enggak punya hape?"
Dave kembali mengalihkan matanya ke buku. "Dia bukan pembohong."
"Tapi enggak ada anak jaman sekarang yang bisa hidup tanpa hape, Dave."
"Dia bisa."
Emilia mengerucutkan bibirnya. Tatapannya jatuh pada stoples kecil bekas botol selai berisi air dan seekor ikan kecil yang berenang sendirian di situ.
"Ikan apaan, tuh?" tanyanya.
Dave melihat ke arah ikannya. "Cere," jawabnya.
"Namanya lucu amat. Kayak yang di lagunya Iwan Fals jaman dulu. Tapi, enggak bagus, ya? Ini ikan yang bakalan besar dan nantinya untuk dimakan?"
Dave menggeleng. "Enggak tahu."
"Pas beli enggak tanya dulu?"
"Enggak beli, itu dikasih."
"Oh."
"Sama temenku yang enggak punya hape. Tadi dia nangkep sendiri di selokan depan rumah Mami."
"Dia nangkep ikan di selokan? Teman kamu anak kecil?"
Sudut bibir Dave terangkat sedikit. "Bukan. Dia cewek, anak kelas sepuluh."
"Cewek SMA nangkep ikan di selokan? Tuh cewek normal?"
Dave berdecak. "Normal itu kayak apa sih, Mi? Yang berpenampilan cantik dan sempurna tapi enggak mampu menghargai orang lain? Yang memperlakukan orang lain sebagai pihak yang lebih rendah? Atau yang munafik, sok peduli padahal cuma pingin dapet apa yang dimau?"
Emilia tersurut. "Kamu nyindir siapa, Dave?" tanyanya dengan ekspresi sakit hati. "Mami?"
Dave mengangkat bahu. "Mami dan cewek-cewek lain yang merasa dirinya normal, tapi enggak lebih dari orang-orang munafik."
"Oh ... gitu? Coba Mami ingat-ingat, perempuan yang kamu bilang munafik ini sayangnya adalah perempuan yang melahirkan kamu."
"Sayangnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Windy
Teen FictionWindy hanya khawatir tidak bisa naik kelas dalam masa sekolahnya, menghindari pacaran yang dianggapnya sumber masalah. Tetapi, Dave-kakak kelas idola di sekolah-menyatakan perasaannya untuk Windy dan membuat segalanya menjadi rumit. *** Windy-seoran...
Wattpad Original
Ada 3 bab gratis lagi