4. Perjanjian

4.7K 441 93
                                    

Kepercayaan diri Calla sedikit goyah oleh analisis yang baru saja berkelebat di benaknya. Kini, Calla mulai bimbang. Ia belum siap terjun ke dalam dunia spionase dan mati muda. "Mm, pekerjaan yang lumayan berat. Bagaimana kalau aku menolak pekerjaan ini?"

Edgar berdiri, lalu berjalan mengitari meja dan mendekat pada Calla. Pria itu kemudian duduk di tangan sofa tempat Calla duduk. Tanpa ragu-ragu ia meletakkan satu tangannya ke pundak Calla, sementara wajahnya ia dekatkan ke samping wajah gadis itu. Bibir Edgar hampir menyentuh telinga Calla.

Di sisi lain, jantung Calla berdegup kencang dan tubuhnya meremang. Perasaan gugup dengan cepat menghinggapi jiwa dan raganya. Atmosfer di ruangan sejuk itu pun seketika menjadi terasa hangat.

"Kau tidak bisa menolaknya, Calla Stones," ucap Edgar setengah berbisik.

"Kenapa?" Calla bertanya tanpa menoleh dan hanya memandang lurus ke depan. Ia sudah memprediksi apa yang akan terjadi apabila ia menoleh, pipinya akan langsung menemukan bibir seksi Edgar.

"Bagaimana jika dinas sosial tahu bahwa wali dari Caleb Stones tidak punya penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya?" Suara Edgar terdengar pelan, tapi cukup tegas dan mengintimidasi.

Calla mencondongkan tubuhnya ke samping, menjauh dari Edgar. Ia kemudian menoleh dan menatapnya dengan geram. "Kau sedang mengancamku, Harrison?"

"Aku hanya mengingatkan." Edgar melayangkan tatapan penuh intimidasi pada Calla disertai senyuman tipis.

Calla merasa terjebak. Dia salah besar dengan datang menemui Edgar Harrison, pikirnya.

"Nasibku sial sekali. Kenapa setiap pria yang aku temui harus memberikan ancaman?" Calla mengembus napas dengan menggembungkan pipi terlebih dulu. "Lebih parah daripada menjadi pelacur kalau begini," sesalnya.

Edgar melontarkan senyuman. Pengakuan polos dan blak-blakan Calla terasa lucu baginya. Selain itu, Calla tampak sangat manis. Ia masih tidak percaya bahwa ada wanita bayaran yang sepolos Calla. Edgar melayangkan tatapan laparnya, menelanjangi Calla dengan iris keemasannya. "Aku akan memberi bonus kalau kau mau jadi teman tidurku juga. Setelah kupikir-pikir, kau lumayan juga."

"Apa?!" Calla tersentak dengan penawaran lebih Edgar. Ia beringsut lebih menjauh dari Edgar. "Aku tarik kata-kataku tadi. Aku tidak mau jadi pelacur."

Edgar tertawa. "Semalam kau menggebu-gebu ingin tidur denganku. Kenapa sekarang menghindar?"

"Semalam aku sedang khilaf," tandas Calla, "kau ini pengusaha atau polisi sih sebenarnya? Kenapa harus menyelidiki mafia seperti Dante segala? Memangnya—"

Edgar menempelkan telunjuknya di bibir Calla. "Ssst! Kau terima pekerjaan ini atau tidak?"

Calla mengangguk setuju dan setelah Edgar menurunkan telunjuknya, ia menegaskan kembali ketidaksetujuannya akan tawaran terakhir Edgar. "Tapi, aku tidak mau jadi teman tidurmu."

"Aku juga tidak mau debu-debu di kulitmu mengotori tempat tidurku," balas Edgar dengan kalimat pedas.

Ucapan Edgar membuat darah Calla memanas. Gadis cantik bermata biru itu menatapnya tajam. "Kau menghinaku? Dengar, aku memang berasal dari kelas bawah. Aku tidak cantik dan seksi seperti model-model yang sering menari dan menggelinjang di atas tempat tidurmu. Aku hanya seorang pelayan bar pinggiran yang bergaji minim. Duniaku berbanding terbalik dengan duniamu. Tapi—"

Tiba-tiba Edgar mendekat dan membungkam Calla dengan ciumannya. Pria itu melumat bibir Calla dengan panas dan liar. Edgar menahan tengkuk Calla hingga gadis itu tidak bisa bergerak dan hanya bisa membiarkan Edgar menjelajahi seluruh bagian bibirnya.

Calla terengah-engah setelah Edgar melepaskan ciumannya. "Kenapa kau menciumku?!"

"Untuk membungkam mulut cerewetmu itu. Ocehanmu membuat kepalaku pusing. Aku tidak bisa membekapmu dengan tanganku. Nanti kau bilang aku menganiaya." Edgar kemudian berdiri dan berjalan menuju nakas lalu meraih ponselnya.

The Love ParadoxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang