10. Menjadi Figuran

5K 446 105
                                    

Cerita ini bisa dibaca juga di Karyakarsa dan Hinovel.

======

Bibir Edgar menyusuri bibir Calla dengan presisi yang sempurna. Setiap tekanan dan cecapan bibir Edgar di bibir Calla membuat gairah gadis itu semakin menggebu-gebu. Hasrat dan kebutuhannya saling berlomba untuk segera menepi dan terpenuhi.

Bagi Edgar, berciuman dengan Calla bukan suatu hal yang dianggap romantis, tapi lebih dari itu. Ia sendiri tidak mengetahui apa yang sedang dirasakannya. Yang pasti, Edgar kecanduan mencium bibir ranum yang manis itu.

Edgar mencicipi, melumat, bahkan menjelajahi setiap sudut bibir Calla dengan hati-hati. Hanya ketika Calla memberi peluang lebih dengan membuka sedikit bibirnya, kehati-hatian dan kewarasan Edgar mulai tergerus oleh hasrat yang menggila. Edgar menyelipkan lidahnya di antara bibir Calla, membuat tekanan ke lidah Calla, dan meliukkannya seperti huruf 'S' di dalam mulut gadis itu. Kedua tangannya yang membingkai wajah Calla terasa kian menguat. Gelombang gairah yang menerjang sudah meninggi dan sulit untuk diredam.

"Ini handuknya, Tuan."

Suara seorang wanita yang tiba-tiba memenuhi ruangan mengentak pemikiran rasional Edgar. Pria itu segera melepas tautan bibirnya dari bibir Calla. Masih dengan kedua tangan membingkai wajah Calla, Edgar menembus mata Calla dengan tatapan penuh arti. Sementara itu, Calla masih mencoba mengatur napas ketika tatapan Edgar menembus palung hatinya. Dingin kembali menghantamnya sesaat kemudian. Bibirnya yang sedikit membengkak akibat ciumannya tadi dengan Edgar kembali bergetar.

"Kenapa kau menciumku?" tanyanya dengan polos.

Huh! Edgar membuang napas. Gadis di hadapannya ini polos atau bodoh? Kenapa dia harus selalu menanyakan pertanyaan konyol seperti itu? Tidak tahukah dia bahwa ciuman itu terjadi tanpa rencana dan hanya mengikuti kata hati? pikirnya.

"Kau terlalu cerewet," jawab Edgar, "makanya diam kalau tidak mau kucium lagi."

Calla diam. Ia kira ia akan mendapat jawaban yang lebih baik dan menarik, ternyata tidak. Calla cukup tahu diri untuk tidak berharap lebih, jadi ia berpura-pura tidak peduli dengan ciuman mereka tadi.

"Aku hanya mencoba menyelamatkan ponselmu dari air hujan," ucapnya pelan hampir terdengar seperti sedang menggerutu.

"Thanks, tapi aku tidak terbiasa memakai barang yang sudah kotor. Air hujan itu kotor."

Calla menatap tajam Edgar. "Sombong."

Edgar hanya menggeleng, kemudian mengambil satu dari dua piama handuk yang dibawakan pelayannya, lalu memberikannya pada Calla. "Pakai ini supaya kau tidak membeku."

Calla menyambar piama handuk yang diberikan Edgar, kemudian mengenakannya. Sebelum beranjak dari sana, Edgar menahan Calla dengan cekalan di tangannya. Dada Calla kembali berdegup kencang. Meskipun bukan sentuhan romantis, tapi cekalan tangan Edgar di tangannya sukses mengaduk-aduk perasaan.

"Cepat mandi dan ganti pakaian agar kau tidak terserang flu," ucap Edgar.

Calla mengembus napas, setengah frustrasi lantaran harus mengubur dalam-dalam harapannya. "Baik, Tuan Harrison."

***

"Sialan! Sepagi ini aku sudah mandi dua kali." Calla terus merutuk sambil melilitkan handuk ke tubuhnya. Ia kemudian duduk di tepi tempat tidur untuk mengecek ponselnya. Mata Calla secara otomatis melebar melihat notifikasi di layar ponselnya. "Oh, shit! Ada delapan panggilan tak terjawab dari Dante."

Langkah pertama yang Calla ambil sebelum menghubungi Dante adalah menghubungi Kelly. Walaupun Kelly tahu bahwa ia pergi bersama Edgar dan ikut berkonspirasi untuk membohongi Dante, tetapi Calla khawatir jika Dante menghubungi Kelly karena panggilan teleponnya tak kunjung dijawab.

The Love ParadoxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang