JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK. BERUPA VOTE DAN KOMEN YA. TARIMA KASIH 🥰
***
Banu menghela napas panjang saat baru saja sampai di rumah. Ia pun segera turun dari motor yang sudah terparkir di garasi. Kemudian Banu melenggang masuk ke dalam rumah. Suasana sepi sudah menjadi makan sehari-hari bagi Banu. Kini, ia melangkah kaki menuju lantai dua-tempat kamarnya berada.
Baru saja hendak memegang knop pintu namanya dipanggil-panggil oleh seorang anak kecil.
"Abang... Abang. Abang Banu..."
Terlihat lah seorang anak perempuan berusia enam tahun berlari sambil memegang sebuah boneka beruang yang masih dibungkus plastik.
"Iya, kenapa Naya?" tanya Banu seramah mungkin.
"Abang, Naya mau nanya."
"Papa abang, mana?"
Kening Banu berkerut. Ia pun lantas berjalan melihat ke lantai bawah untuk melihat apakah ada Pradipta atau tidak. Pradipta sedang disibukkan oleh beberapa goodybag yang Banu sangat yakni itu berisi main baru untuk Naya. Kemudian, selepas melihat Pradipta yang berada di ruang tamu. Banu lantas berjonggok untuk menyamai tinggi dengan Naya-adiknya.
"Papa ada di bawah."
Seketika raut wajah Naya berubah seakan marah. Naya pun mengelengkan kepala kuat.
"Engga! Itu bukan Papa abang! Itu papa Naya!" kelakar Naya. Dan ia pun lantas menghempas tangan Banu dari lengannya. Dan pergi menuruni tangga.
Banu hanya bisa mengelengkan kepala dan menarik napas dalam. Dan kemudian ia masuk ke dalam kamar. Melangkah menuju jendela kamar. Ditatap langit senja yang sedikit mulai mengelap, karena mendung. Banu suka melihat warna langit ketika senja. Sebab, begitu damai dan menenangkan hati dan pikiran Banu meskipun hanya sebentar.
Banusastra berdecak singkat saat teringat kembali perkataan Naya-adik tirinya. Naya masih terlalu dini untuk bisa mengerti dan memahami maksud dari ucapannya terhadap Banusastra. Maka dari itu, yang umurnya lebih tua harus bisa memahami.
Usai berkecamuk dengan pikirannya sendiri. Banusastra pun tergerak untuk membersihkan tubuh dan menganti pakaian. Tubuhnya masih mengenakan baju seragam sekolah dari pagi hingga menjelang malam. Banusastra berbalik mengambil handuk yang ia gantung di belakang pintu kamar.
***
Banusastra merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Menatap langit-langit kamar yang sudah meremang, karena lampu kamar sudah ia matikan yang tersisa hanya cahaya lampu tidur.
Sepi dan sunyi suasana rumah Banu. Pradipta-Ayah tiri Banu, Harsana-Mama kandung Banu dan Kanaya atau Naya. Sedang pergi keluar mencari angin malam atau lebih tepatnya jalan-jalan malam. Banu sebenarnya diminta untuk ikut, namun Banu lebih memilih untuk di rumah saja.
Banu sudah tidak bisa lagi untuk berpura-pura terlihat baik-baik saja melihat Harsa bersama Pradipta. Ada luka yang tertoreh begitu dalam di sana-ketika melihat kebersamaan Pradipta dengan Harsa bahkan Naya.
Perasaan Banu hampa. Kini, hanya dirinya yang ia punya. Meski ia memiliki sahabat yang selalu ada, tetapi Banu tidak ingin apa yang menjadi masalahnya bahkan bebannya ia bagikan kepada teman-temannya. Banu selalu berpikir bahwa, teman-temannya pasti juga memiliki masalah jadi, ia tidak boleh menambah beban dipundak mereka dengan berbagi keluh kesahnya.
Banu menarik napas dalam, lalu memejamkan mata. Ia rindu Riznan-Ayah kandungnya-yang kini sudah bahagia di surga. Banu meneteskan air mata secara tiba-tiba tanpa bisa ia duga. Beruntungnya ia sedang berada di kamar sendirian bukan ketika bersama teman-temannya.
Hati Banu begitu rapuh. Kini memori-memori indah bersama Riznan pun menyeruak begitu saja.
Rasanya terlalu cepat rona kebahagiaan yang ia miliki saat itu. Memiliki keluarga utuh dalam arti keluarga bahagia bagi beberapa orang.Layaknya ditampar oleh semesta. Ada duka yang terus-menerus tersalurkan ketika Banu dalam keheningan. Di antara harapan hidup yang mengawang. Rasanya masih terlihat gamang. Suara-suara tahlil dan yasin kala itu seakan berputar menyeruak ke dalam memori kepedihan.
Sejak januari tahun itu. Banu kehilangan tempat dan arah tujuan untuk sekadar berkeluh kesah berbagi kebahagiaan. Dunia kebahagiaan Banu rutuh seketika ketika kehilangan sosok yang menjadi inspirasinya telah pergi untuk selamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANIKALA
Teen FictionKala lelah terus berjuang, tapi gak pernah dihargai. Kala lelah harus jadi anak yang dituntut harapan orang tua Kala lelah tidak pernah mendapat dukungan Dan ia lelah harus bersaing dengan saudaranya sendiri Jika Bunda membanggakan Aksa dan Ayah men...