BAB 2 | Perpustakaan

61 16 8
                                    

Bab 2 | Perpustakaan

• • •

[ Putus gampang. Usaha melupakannya itu yang nggak gampang ]

• • •

"Kenapa lo lebih milih dia dan nolak perasaan gue? Apa karena gue selama ini cuma jadi sahabat lo?"

***

Benar jika Gayatri senang kuliah di Sanjaya Nusantara. Seakan tak ingin kalah saing dengan pamor kampus, tugasnya pun seabrek. Dalam hal ini, Gayatri merasa sedikit menyesal mengapa dia mengambil jurusan Sastra Indonesia. Atau, semua kampus memang begitu Gayatri belum paham. Gayatri masih mahasiswa baru tahun pertama.

"Gay, gue duluan ya?" ucap Cika, teman sekelasnya.

Gayatri memberikan anggukan. Mereka baru saja sepakat untuk mengerjakan tugas bersama. Gayatri menatap punggung Cika yang menjauh. Sepertinya Cika memilih untuk meneruskan tugasnya lain waktu. Sungguh terlihat bagaimana ekspresi bosan Cika tadi. Gayatri sendiri tidak ingin menyalahkan Cika, pada kenyataannya apa yang mereka lakukan memang menjenuhkan.

Bayangan tentang dosen mata kuliah Film dan Sastra yang super keras dan dingin itu menghiasi lamunan Gayatri ketika dia melihat tumpukan novel di depannya. Dua hari lalu, Pak Gangsa Wirandra memberikan tugas menganalisis perbedaan Film dan Novel roman barat yang baru hari ini sempat Gayatri kerjakan setelah kemarin maraton dua film roman sekaligus.

Seperti pada umumnya, novel roman terjemahan tebalnya minta ampun. Terkadang lebih dari 500 halaman. Pak Gangsa mengharuskan ada satu film roman lawas dan satu film roman terbaru. Akhirnya, Gayatri menjatuhkan pilihan pada A Walk to Remember karya Nicholas Sparks dan After karya Anna Todd.

"Semoga gue nggak mimisan lagi," kata Gayatri sedikit resah. Suasana perpustakaan yang sepi mendukung Gayatri untuk mengingat memori SMA-nya dulu. Di mana Gayatri langganan belajar hingga larut malam mengejar beasiswa impian. Dari kecil, Gayatri sering mimisan saat lelah. Sudah dipastikan, saat itu hampir setiap hari Gayatri mimisan biarpun hanya setetes dua tetes.

Mengingatnya saja Gayatri ngeri sendiri.

Mata Gayatri mengerling menyusuri setiap sudut ruangan. Perpustakaan inti kampus dibangun secara megah dengan tiga lantai lengkap dengan lift. Posisi Gayatri sekarang berada di lantai paling atas, tempat di mana tersimpan buku-buku fiksi. Kondisinya pun menyesuaikan. Ruangan ini di desain santai, lengkap dengan karpet dan bantal.

Pertama kali mengunjungi perpustakaan, Gayatri cukup betah. Karena ternyata, koleksi perpustakaan super duper lengkap. Komplit se-komplit-komplitnya. Gayatri jadi tidak perlu susah payah pergi ke rental buku ketika ada novel baru. Tinggal pergi ke perpustakaan ini, melapor ke meja administrasi di bawah, dan Gayatri bisa membaca novel sebebas yang dia mau. Ya, Gayatri tidak mampu membeli novel baru seharga lima puluh ribu ke atas. Mampu ketika dia menabung, tapi tentu saja ada yang lebih penting daripada harus mengejar novel baru yang mungkin saja terbit setiap hari. Novel-novel yang dia miliki pun kebanyakan novel bekas lima belas ribuan yang dia beli di toko loak.

Lama berdiam dengan laptop usang yang masih menyala, Gayatri melihat jam yang bertengger manis di tangan kiri.

Pukul empat sore.

Gayatri menghela napas. Pantas saja Cika memilih pulang. Sore hari telah datang.

Akhirnya tanpa pikir panjang Gayatri memasukkan semua barang-barang ke dalam tas. Dengan cepat Gayatri memanggul tas dan masuk ke dalam lift.

AILROSESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang