Sadam melempar handphone Sephia ke dinding kamar. Pecah, mematikan deringnya. Lalu kedua tanganya meraih kerah kemeja putih Ferdian dan mencengkramnya kuat-kuat. Mata Sadam menatap kedua mata Ferdian, menghujat, benci, marah? Oh, ya, sudah pasti. "Apa yang kau lakukan?" katanya, nadanya sedikit bergetar.
Ferdian masih mengunci rapat-rapat mulutnya. Ketakutan tampak jelas di matanya. Sesuatu telah mendorongnya untuk melakukan penghianatan itu.
"Apa yang kau lakukan?!" Sadam bertanya satu kali lagi, kali ini nadanya lebih tinggi.
Ivan dan Aji menghampiri, lalu berdiri di belakang Sadam—meninggalkan Sephia yang tergeletak di atas ranjang. Jelas Ferdian memahami situasi ini dengan cepat. Matanya menyipit sedikit dan menatap kedua rekannya itu dengan rasa jijik. Ivan menanggapi tatapan Ferdian sebagai tanda, kalau Ferdian sudah tahu konsekuensi apa yang akan diterimanya. Sedangkan Aji, sibuk mengancingi celana panjang hitamnya.
"Aku tanya sekali lagi!" kata Sadam, suaranya keras dan parau. "Apa yang ..."
"Aku akan membunuh siapapun yang kau pinta, Pak," kata Ferdian, tegas dan mantap. "Tapi memperkosa seorang wanita? Itu bukan hanya sebuah dosa! Itu adalah sebuah penghinaan untuk diriku sendiri sebagai ayah dari seorang putri! Penghinaan untuk diriku sendiri sebagai anak dari seorang ibu!"
Ucapan Ferdian berhasil menyentuh perasaan Sadam—setidaknya untuk sesaat. Sadam melepaskan cengkraman tangannya di kerah kemeja Ferdian, membuat Ferdian punya cukup waktu untuk melangkah mundur ke arah dinding, dan menjaga jarak dari orang-orang yang akan menghukumnya. Sadam memutar tubuhnya, lalu berjalan menjauhi Ferdian, melewati Ivan dan Aji, menuju meja depan sofa, mengambil gelas dan meminum beer. Setelahnya, sebuah perintah kembali disuarakan, "bunuh dia!" seru Sadam, lalu dia mengambil jasnya di atas sofa dan berjalan keluar kamar.
Kejadian setelahnya terjadi sangat cepat, persis seperti adegan pembunuhan yang dilakukan pembunuh bayaran berharga mahal, dalam film-film Hollywood. Berawal saat tangan kiri Ferdian meraih gelas beer-nya—yang berada di tepian jendela—dan melemparnya secara serampangan ke arah Aji dan Ivan. Aji melompat sedikit ke kiri untuk menghindari gelas yang melesat, lalu melangkah cepat dan mengarahkan tinjunya ke arah wajah Ferdian. Tinju itu membuat tubuh Ferdian goyah dan terjatuh ke lantai. Ivan tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini, sebuah sepakan diarahkannya ke wajah Ferdian, seperti menendang bola. Tak perlu waktu lama bagi Ferdian untuk menyadari kalau tinju dan sepakan yang mendarat telak di wajahnya berhasil mematahkan hidungnya, dua gigi depannya lepas, serta kuping yang berdenging (oh, tentu saja). Ivan meraih kerah bagian belakang baju Ferdian, lalu menyeretnya ke arah tengah kamar 205—pilihan yang tepat, dia butuh ruang yang lebih luas untuk mengeksekusi. Aji berlari menuju tepian ranjang, lalu meraih pisau buah yang sebelumnya digunakan Sadam untuk membuka bra Sephia. Ada sedikit perlawanan yang dilakukan Ferdian; meraih tangan Ivan, berusaha membalikkan badan, dan upayanya yang gagal saat ingin mengambil pecahan gelas yang berserakan di lantai. Namun, usahanya sia-sia, Ivan terlalu kuat untuk dia lawan.
"Hey?!" seru Aji. "Perlihatkan sesuatu yang menarik sebelum dia mati," katanya, sambil menunjuk ke arah selangkangan Sephia yang terbuka.
Senyum Ivan mengembang setelah mendengar ucapan Aji, licik dan keji. Lalu, dengan sigap tangannya meraih pergelangan tangan kanan Ferdian dan menyeretnya—lagi.
Di depan ranjang, tubuh Ferdian diberdirikan. Aji mengarahkan tinju tepat di bagian uluh hati Ferdian. Batuk, adalah reaksi pertama dari Ferdian ketika baru saja terkena tinju Aji. Lalu tak butuh waktu lama baginya untuk merasakan nyeri dan sesak, sesuatu yang membuat tubunya sontak menunduk. Di saat inilah Ivan mencengkram rambut bagian belakang kepala Ferdian, lalu sedikit menariknya agar wajah Ferdian tepat menghadap kemaluan Sephia. Oh, ya ... Ferdian melihatnya; bulu-bulu halus itu, bagian kulit yang sedikit memerah itu. Lalu yang terjadi setelahnya adalah sesuatu yang sangat keji. Aji menancapkan pisau buah yang berada di genggaman tangan kananya ke bagian leher sebelah kiri Ferdian, dan secara cepat menarik horizontal pisau itu ke bagian kanan leher Ferdian. Ferdian digorok. Darah mengalir dari luka yang terbuka di leher Fedian, mengenai bagian selangkangan Sephia (sesuatu yang akan dikira Arkana darah haid). Aji terkena cipratan dan melangkah mundur dengan wajah jijik. Sedangkan Ferdian mengeluarkan suara seperti mengorok dan matanya terbuka lebar.
Aji meraih kantung mayat—yang seharusnya untuk Sephia—dalam tas jinjing berwarna hitam di atas sofa. Kemudian membentangkan kantung mayat tersebut di atas lantai, lalu Ivan menjatuhkan tubuh Ferdian di atas kantung. Ivan dan Aji bertukar pandang setelah tubuh Ferdian dimasukkan ke dalam kantung. Mata mereka menatap gerakan-gerakan kecil dari dalam kantung, meronta pelan, seperti kucing dalam karung.
"Demi Tuhan! Ferdian masih hidup," kata Ivan.
"Persetan!" seru Aji. "Ayo kita bawa kantung ini, sebelum orang yang dihubunginya datang."
Lalu dengan cepat mereka memasukkan kantung mayat ke dalam troli pakaian hotel—yang sudah mereka siapkan sebelumnya—dan mendorong troli keluar kamar dengan tergesa-gesa. Sekitar setengah jam setelah mereka meninggalkan kamar, Arkana dan Sofia datang dan mendapati Sephia terbaring terlentang di atas ranjang dengan pakaian yang robek dan area selangkangan bersimbah darah.
Ada satu hal yang dilewatkan Ivan dan Aji malam itu. Hal yang menjadi alasan mengapa mereka berkumpul di kamar 205. Keteledoran yang pada akhirnya menjadi konflik—dan masalah untuk mereka sendiri—antara mereka dan Sephia.
Kerena tergesa-gesa, mereka melewatkan perintah Sadam untuk membunuh Sephia.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAYIT [Complete]
HorrorWARNING 18+ CERITA INI PENUH DENGAN ADEGAN KEKERASAN. HARAP KEBIJAKAN PARA PEMBACA. Judul: MAYIT Genre: Horor/Thriller Status: COMPLETE (tahap revisi) -Beberapa kali peringkat 1 Paranormal -Beberapa kali peringkat 1 Horror -Beberapa kali peringkat...