Prolog

13.1K 625 12
                                    

Gadis cantik berjilbab putih tengah memandangi cincin berhiaskan permata yang melingkar di jari manisnya. Sesekali ia menghela napas panjang, seakan berat menerima takdir yang datang kepadanya kali ini.

Namun, perasaan itu segera terobati saat pandangannya tertuju pada gadis kecil yang tengah tertidur di pangkuannya. Wajah cantik gadis kecil berusia 5 tahun itu temurun dari sang ibu, Luna. Yang tak lain adalah sahabatnya.

Aina, nama gadis berjilbab itu, tahu bahwa apa yang terjadi dalam hidup adalah sebuah kebetulan dan kebetulan itu sendiri adalah takdir yang menyamar. Mau tidak mau, siap tidak siap, inilah takdir yang datang kepadanya yang harus ia terima dan dijalani dengan ikhlas.

Sekali lagi, Aina mengembuskan napas panjang. Kalau saja bukan karena janji yang harus ditepati, mungkin ia masih berstatus single sampai detik ini.

"Apa Tiara sudah tidur?" Suara bariton dari ambang pintu membuyarkan lamunannya. Gadis berjilbab itu menoleh ke sumber suara, lalu segera menundukkan pandangan dan mengangguk pelan.

Diumurnya yang sudah menginjak 27 tahun, Aina belum pernah sekali pun menjalin hubungan serius dengan lawan jenis. Membuat ia merasa rikuh saat berdekatan dengan pria asing yang baru sah menjadi suaminya tadi sore itu.

"Bisakah kita bicara sebentar?" tanya Saga, ayah dari sang gadis kecil yang tengah tidur di pangkuannya dan juga suami dari mendiang Luna, sahabatnya.

Pria berkulit putih itu masih berdiri menunggu jawaban, bersandar pada daun pintu dengan tangan terlipat di dada.

"Saya akan segera keluar, tunggu saja di ruang makan," jawab Aina, yang dibalas anggukan oleh Saga.

Perlahan gadis berjilbab itu memindahkan kepala Tiara ke bantal bergambar Hello Kitty, mengecup keningnya lembut lalu berjalan keluar dan menutup pintu kamar bernuansa merah muda itu, pelan.

Saga sudah menunggu di ruang makan yang berukuran 3x4 meter itu, terdapat meja bulat dengan empat kursi yang mengitarinya, lemari kecil dengan pernak pernik tanaman hias di sisi kiri dan kulkas dua pintu di sisi kanannya. Dinding berwarna biru muda, tanpa pembatas langsung mengarah ke dapur dan sebuah taman kecil menambah kesan sejuk di ruangan itu.

Dengan sedikit berdehem, gadis berlesung pipit itu memberi kode kalau ia sudah hadir di sana. Perlahan menarik salah satu kursi dan mendaratkan tubuhnya pelan. Pria yang sedari tadi sibuk dengan ponsel, segera meletakkan benda pipih itu dan menyodorkan cangkir putih yang terbuat dari keramik ke hadapan Aina.

"Minumlah. Kata Luna, kamu sangat menyukai cokelat hangat," ucapnya lembut.

Aina memandang sekilas wajah pria berusia 32 tahun yang mengenakan kaus putih polos itu. Mata Saga terlihat sembab. Ia masih sangat kehilangan istri tercinta, sedangkan di sisi lain ia harus menerima wanita lain untuk menjadi istri 'kedua'nya demi sang putri dan janji pada mendiang istrinya.

"Terima kasih," balas Aina dengan kembali menundukkan pandangan. "Dan ... maaf," imbuhnya.

"Maaf untuk?"

"Untuk ... perjanjian yang mungkin terpaksa Anda sepakati tadi siang."

Helaan napas panjang terdengar dari Saga. "Tidak apa, aku mengerti. Terima kasih, karena mau menerima aku dan juga Tiara."

"Hanya Tiara, tidak dengan yang lain," tukas Aina cepat. "Semua ini karena Tiara, sesuai perjanjian itu," lanjutnya.

"Baiklah. Maaf."

"Saya akan tetap melakukan tugas saya sebagai ibu dan juga istri, kecuali ... untuk hal pribadi yang sudah kita sepakati tadi," ucap Aina seraya mengaduk minuman cokelat di hadapannya dengan sendok kecil.

"Tidak masalah. Aku tau kamu wanita yang baik, berpendidikan, dan paham agama, seperti yang Luna sering ceritakan. Jangan paksa hati untuk terbuka saat masih ada penghalang di dalamnya."

Dahi gadis itu mengeryit. "Maksudnya?"

"Aku tau kamu terpaksa menolak lamaran seorang pria demi janjimu pada Luna." Ucapan Saga kali ini membuat Aina tak berkutik.

"Jangan tanya aku tahu dari mana, itulah keahlianku," ucap Saga lagi.

"Anda seorang mata-mata?" tanya Aina dengan alis terangkat. "Tapi ... kata Luna, Anda seorang Koki?" tanyanya lagi dengan wajah penasaran. Karena tidak ada yang tahu masalah penolakan lamaran itu selain dirinya sendiri.

Saga terkekeh, entah kenapa wajah polos Aina membuat ia tak kuat menahan tawa. Melihat tawa itu, membuat Aina bergidik ngeri dan memilih untuk menundukkan pandangannya.

"Benar kata Luna, kamu sangat menggemaskan," ucap Saga yang seketika membuat pipi Aina memanas, baru beberapa jam menjadi istrinya saja sudah dibuat salah tingkah seperti ini.

"Tapi, taukah kamu? Menghapus cinta pertama dalam hidup itu sulit, Luna adalah cinta pertamaku dan berharap kalau dia adalah cinta terakhirku."

Aina mengembuskan napas panjang. "Saya tahu. Tapi, terkadang ... apa yang kita harapkan tak selalu sejalan dengan takdir yang sudah Allah tetapkan. Termasuk pernikahan ini."

Hening. Mereka terdiam dalam pikiran masing-masing.

"Sekali lagi, terima kasih telah menerima Tiara. Semoga kamu bisa menjadi ibu yang baik sama seperti ibu kandungnya," ucap Saga yang dilanjut dengan menegak habis minuman soda yang ada di hadapanya.

"Aku istirahat dulu, kamu tidur di kamar Tiara, kan?" tanya Saga yang dibalas Aina anggukan pelan tanpa menoleh ke arahnya.

"Baiklah. Selamat malam," pamit Saga, lalu beranjak masuk ke kamar.

Aina menghela napas panjang, menyandarkan punggung di kursi lalu memejamkan matanya sesaat. "Aku ini bukan istri keduamu," ucapnya lirih.

Mungkin Saga lupa, bagaimana bisa menjemput bahagia, jika masih saja membandingkan sosok yang baru datang dengan yang sudah pergi dalam hidup.

(Bukan) Istri KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang