BAGIAN 1

3K 82 0
                                    

Desa Jatiwangi tidak seperti biasanya umbul-umbul dan macam-macam hiasan bertebaran di seluruh desa. Tampak semarak sekali keceriaan tercermin di setiap wajah penduduknya. Berbondong-bondong mereka menuju panggung hiburan yang ada di setiap sudut desa.
Sebenarnya bukan hanya penduduk desa Jatiwangi saja yang kelihatan ceria penuh kegembiraan. Desa-desa di sekitarnya pun juga tidak luput dari suasana ceria itu. Tidak sedikit orang dari desa tetangga yang tumplek di desa yang penuh dengan panggung hiburan. Tentu saja kegembiraan ini juga sangat dirasakan oleh Kepala Desa Jatiwangi.
Ki Rangkuti tersenyum bangga menyaksikan warga desanya bergembira. Sepasang bola matanya berbinar-binar merayapi sekelilingnya. Kepala desa yang sudah berumur lanjut tapi masih terlihat gagah itu, duduk didampingi dua orang tamu istimewa yang diundang khusus. Yang duduk di sebelah kanannya adalah seorang laki-laki berumur sekitar empat puluh tahun. Wajahnya masih kelihatan tampan dan gagah. Di punggungnya bertengger sebilah pedang bergagang emas. Senjata itulah yang membuat dirinya dikenal sebagai Dewa Pedang Emas. Sedangkan yang duduk di sebelah kiri Ki Rangkuti, seorang tua berambut putih. Pakaiannya pun serba putih bersih. Matanya bercahaya menandakan seorang yang arif bijaksana. Kelihatannya dia tidak menyandang senjata sebuah pun. Semua orang pasti akan mengenalnya. Laki-laki tua berpenampilan penuh wibawa ini dikenal dengan nama Bayangan Malaikat.
Pada saat itu tiba-tiba seorang laki-laki muda dengan tombak panjang di tangan menghampiri. Pandangan mata Ki Rangkuti langsung tertuju padanya.
"Ada apa, Darmasaka?" tanya Ki Rangkuti.
"Ada seorang wanita tua ingin bertemu, Ayah," sahut Darmasaka yang ternyata putra kepala desa itu. "Siapa dia?" tanya Ki Rangkuti sambil mengernyitkan alisnya.
Sepengetahuannya dia tidak pernah mengundang tamu seorang perempuan tua.
"Dia tidak mau menyebutkan namanya. Katanya Ayah pasti sudah mengenalnya," sahut Darmasaka. "Hm ... ." Ki Rangkutt bergumam.
"Apakah dia menyandang senjata?" tanya Dewa Pedang Emas.
"Tidak," sahut Darmasaka cepat. "Pakaiannya serba biru, dan hanya membawa tongkat berkepala ular "
"Dia menunggang kuda putih dengan garis hitam pada lehernya ?" tanya Bayangan Malaikat.
"Benar!" jawab Darmasaka.
"Tidak salah lagi, pasti si Ular Betina," gumam Dewa Pedang Emas.
"Kau mengundangnya juga, Rangkuti?" tanya Bayangan Malaikat menatap Ki Rangkuti yang sejak tadi diam saja.
Ki Rangkuti yang sejak tadi sudah menduga siapa yang datang, hanya menggeleng perlahan. Dia tidak menyangka sama sekali kalau si Ular Betina akan datang tanpa diundang. Sementara Darmasaka hanya memandang tidak mengerti. Hatinya bertanya-tanya melihat perubahan pada wajah ayahnya yang seperti tidak menyukai kehadiran perempuan tua yang berjuluk Ular Betina itu.
Saat mereka terdiam, tiba-tiba terdengar suara ringkikan dan derap kaki kuda. Tampak seekor kuda putih yang ditunggangi seorang perempuan tua berpakaian serba biru memasuki halaman rumah kepala desa yang luas. Kuda itu berhenti tepat di depan serambi depan, tempat empat orang laki-laki itu berdiri.
Perempuan tua yang tidak lain adalah si Ular Betina, dengan tangkas dan ringan sekali dia melompat dari kudanya, seolah ingin memamerkan ilmu meringankan tubuh yang indah pada keempat laki-laki di depannya. Manis sekali kakinya menjejak tanah setelah berputar di udara dua kali.
''Kau mengadakan pesta besar, kenapa tidak mengundangku, Rangkuti?" suara si Ular Betina kecil, namun terdengar nyaring tinggi.
"Maafkan kelalaianku, Ular Betina," sahut Ki Rangkuti pelan penuh wibawa.
"Tidak seorang pun dari orang-orangku mengetahui di mana tempat tinggalmu."
"Hik hik hik..," si Ular Betina tertawa kecil.
"Aku tidak mempersoalkan orang-orangmu, Rangkuti. Aku datang ke sini hanya ingin menikmati pesta besarmu."
Ki Rangkuti menarik napas panjang dan berat. Ada sedikit kelegaan di dadanya. Jika kedatangan si Ular Betina hanya sekedar menikmati pesta, tidak ada masalah baginya. Hanya yang dikhawatirkan kedatangan perempuan tua itu bisa menghancurkan semua rencana yang sudah disiapkannya berbulan-bulan dengan penuh perhitungan.
"Kau tidak mempersilakan aku duduk di kursi undangan, Rangkuti?" kata si Ular Belina.
"Silakan. Pilihlah tempat di mana kau suka," Ki Rangkuti merentangkan kedua tangannya.
Sambil tertawa mengikik kecil, si Ular Betina melangkah menaiki beranda rumah itu. Dia kemudian duduk di samping Dewa Pedang Emas. Ki Rangkuti masih berdiri meskipun ketiga tamunya sudah duduk di tempat masing-masing. Masih ada delapan bangku lagi yang kosong. Berarti belum semua undangan yang hadir. Padahal rencananya hari ini adalah puncak semua pesta besar yang telah terlaksana.
Ki Rangkuti memberi isyarat pada Darmasaka untuk mendekat. Tanpa membuang-buang waktu lagi, putra kepala desa itu maju mendekati ayahnya. Dia mengangguk kecil pada ketiga tamu undangan Ki Rangkuti. Darmasaka berdiri di samping ayahnya membelakangi Bayangan Malaikat.
"Kau urus kuda Ular Betina dengan baik, kemudian tambahkan satu kursi lagi di sini," kata Ki Rangkuti memerintah.
"Baik, Ayah," sahut Darmasaka.
Darmasaka langsung melangkah menghampiri kuda putih milik si Ular Betina. Kemudian dituntunnya ke belakang. Dua kuda lainnya milik Bayangan Malaikat dan Dewa Pedang Emas, telah tertambat di sana. "Benar-benar anak yang berbakti, Rangkuti," kata Ular Betina setelah Darmasaka lenyap di belakang rumah.
Ki Rangkuti hanya tersenyum, lalu duduk di kursinya sendiri. Hatinya masih belum bisa tenang dengan kehadiran si Ular Betina yang tidak diundang itu. Dia belum bisa memperkirakan maksud kedatangan si Ular Betina yang sebenarnya. Hatinya hanya berharap benar-benar Ular Betina hanya ingin menikmati pesta besar di Desa Jatiwangi ini.
Tidak lama berselang, datang satu per satu undangan. Dari penampilan mereka, jelas kalau semuanya adalah tokoh-tokoh sakti kaum rimba persilatan. Mereka semua adalah laki-laki, kecuali si Ular Betina saja. Mereka duduk pada tempatnya masing-masing, menghadap panggung besar yang berdiri di tengah halaman rumah kepala desa ini.
Para penduduk pun sudah mulai berdatangan memenuhi halaman sekitar panggung. Dalam waktu yang tidak lama, halaman rumah Kepala Desa Jatiwangi penuh sesak dipenuhi manusia. Mereka semua ingin menyaksikan puncak acara pesta besar itu.

5. Pendekar Rajawali Sakti : Naga MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang