Malam sudah amat larut. Suasana di Desa Jatiwangi sepi lengang. Beberapa obor masih tampak menyala terang di beberapa tempat. Halaman rumah kepala desa pun tampak senyap. Tidak ada seorang pun yang terlihat, kecuali di beranda depan. Tampak Ki Rangkuti duduk termenung didampingi oleh Dewa Pedang Emas dan Bayangan Malaikat. Dua sahabat yang belum juga meninggalkan tempat meskipun perayaan peresmian berdirinya Padepokan Jatiwangi sudah berakhir sore tadi.
Sementara tamu-tamu undangan lainnya sudah beristirahat di kamar masing-masing yang telah disediakan oleh Ki Rangkuti. Sejak sore tadi ketiga orang itu duduk di beranda depan tanpa banyak kata yang terucap dari mulutnya. Ki Rangkuti seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat.
"Aku lihat kau tidak lagi gembira sejak kematian Mahesa Jalang, Rangkuti. Apakah kau memikirkan kata-kata Buto Dungkul?" Dewa Pedang Emas membuka suara pelan.
Ki Rangkuti menarik napas panjang. Bola matanya menatap kedua sahabatnya bergantian.
"Kau punya perjanjian dengan manusia liar itu, Rangkuti?" tanya Bayangan Malaikat.
"Ya " desah Ki Rangkuti berat.
"Aku harus berhadapan dengannya tiga bulan mendatang kalau Mahesa Jalang tewas."
"Perjanjian nekad!" dengus Dewa Pedang Emas.
"Aku melakukannya karena terpaksa, aku hanya ingin menyelamatkan nyawa Mahesa Jalang waktu itu."
"Seharusnya kau biarkan saja Mahesa Jalang mati saat itu juga. Toh akhimya dia pun harus mati di tangan Buto Dungkul!" Bayangan Malaikat seolah-olah menyesalkan sikap Ki Rangkuti.
"Aku tidak menyesali perjanjian itu " sahut Ki Rangkuti.
"Lalu, kenapa kau jadi murung?" desak Dewa Pedang Emas.
"Aku memikirkan permintaan Buto Dungkul."
"Permintaan apa?"
''Buto Dungkul tidak akan membunuhku dalam pertarungan nanti. Dia hanya ingin mengalahkan aku saja."
"Kalau cuma itu, kenapa jadi dipikirkan?"
"Bukan cuma itu, Dewa Pedang Emas. Yang jadi beban pikiranku sekarang, Buto Dungkul meminta putriku kalau aku kalah."
Dewa Pedang Emas dan Bayangan Malaikat terkejut setengah mati. Rasanya mereka saat itu mendengar ledakan petir yang amat dahsyat, Tidak diduga sama sekali Ki Rangkuti mempunyai perjanjian yang berat sekali.
Mereka semua tahu bagaimana hebatnya Buto Dugkul. Rasanya sulit bagi Ki Rangkuti mengalahkan manusia liar itu. Mereka bertiga saja belum tentu bisa menandingi meskipun secara bersamaan menyerang. Benar-benar perjanjian edan!
"Sekar Telasih sudah tahu perjanjian itu?" tanya Dewa Pedang Emas
"Belum," sahut Ki Rangkuti lesu.
"Aku tidak bisa bayangkan, bagaimana kalau putrimu tahu mengenai perjanjian itu? Benar-benar sembrono sekali kau, Rangkuti," gumam Bayangan Malaikat menyesalkan.
Ki Rangkuti tidak bisa menyalahkan kata-kata sahabatnya. Diakui kalau tindakannya sungguh ceroboh. Padahal tidak ada untungnya sama sekali menolong Mahesa Jalang waktu itu. Dia juga tidak kenal sebelumnya. Mungkin karena jiwa kependekarannya saja yang tergerak untuk menolong siapa saja yang membutuhkan meskipun harus mengorbankan apa yang dicintainya.
"Sekarang, apa yang akan kau lakukan? Tiga purnama bukan waktu yang panjang untuk mempersiapkan diri, Rangkuti," kata Dewa Pedang Emas.
"Aku belum bisa memikirkannya," sahut Ki Rangkuti.
"Sebaiknya kau menyempurnakan ilmu-ilmu andalanmu. Aku juga tidak akan tinggal diam begitu saja melihat kehancuranmu," kata Bayangan Malaikat.
"Terima kasih. Kalian memang sahabat sejati," ucap Ki Rangkuti terharu.
"Ah, sudahlah. Aku juga belum tahu, apakah pedangku ini bisa merobek kulitnya," kata Dewa Pedang Emas.
Ki Rangkuti menatap kedua sahabatnya dengan penuh rasa haru. Dia tidak bisa lagi mengatakan apa-apa. Kesediaan dua sahabatnya membantu memecahkan kesulitan yang tengah dihadapi, membuat lidahnya seakan-akan jadi kelu. Mungkin inilah arti persahabatan sejati. Senang sama dirasa, susah sama dipikul. Meskipun nyawa taruhannya tidak membuat persahabatan jadi retak.
Dewa Pedang Emas menepuk pundak Ki Rangkuti, kemudian bangkit berdiri. Kakinya terayun menuju ke pintu masuk rumah besar itu. Tidak lama kemudian Bayangan Malaikat menyusul untuk berisirahat. Kini di beranda depan itu tinggal Ki Rangkuti duduk termenung sendirian. Sungguh berat persoalan yang dihadapinya sekarang. Bagaimana mungkin menyerahkan Sekar Telasih pada manusia liar yang selalu hidup di tengah-tengah hutan belantara?
Saat Ki Rangkuti tengah tennenung, tiba-tiba secercah sinar meluncur deras ke arahnya, dan tepat membentur tengah-tengah meja batu pualam putih di depannya. Laki-laki tua yang masih kelihatan gagah itu terkejut hingga terlonjak berdiri. Seberkas sinar yang meluncur deras itu ternyata sebuah anak panah kecil yang terbuat dari bahan logam berwarna merah menyala. Ki Rangkuti mengedarkan matanya ke sekeliling menerobos kegelapan malam.
Tidak ada seorang pun yang terlihat di luar sana. Hanya kegelapn saja yang menyelimuti sekitarnya. Tidak ada suara-suara ganjil terdengar, kecuali desah angin dan gemerisik dedaunan saja. Ki Rangkuti mengalihkan pandangannya pada anak panah kecil yang tertancap itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
5. Pendekar Rajawali Sakti : Naga Merah
AcciónSerial ke 5. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.