BAGIAN 3

1.6K 56 0
                                    

Malam sudah amat larut. Suasana di Desa Jatiwangi sepi lengang. Beberapa obor masih tampak menyala terang di beberapa tempat. Halaman rumah kepala desa pun tampak senyap. Tidak ada seorang pun yang terlihat, kecuali di beranda depan. Tampak Ki Rangkuti duduk termenung didampingi oleh Dewa Pedang Emas dan Bayangan Malaikat. Dua sahabat yang belum juga meninggalkan tempat meskipun perayaan peresmian berdirinya Padepokan Jatiwangi sudah berakhir sore tadi.
Sementara tamu-tamu undangan   lainnya sudah beristirahat di kamar  masing-masing yang telah disediakan oleh Ki Rangkuti. Sejak sore tadi ketiga orang itu duduk di beranda  depan tanpa banyak kata yang terucap dari mulutnya. Ki Rangkuti seperti sedang memikirkan sesuatu  yang berat.
"Aku lihat kau tidak lagi gembira  sejak kematian Mahesa Jalang,   Rangkuti. Apakah kau memikirkan kata-kata Buto Dungkul?" Dewa Pedang Emas membuka suara pelan.
Ki Rangkuti menarik napas panjang.   Bola matanya menatap kedua  sahabatnya bergantian.
"Kau punya perjanjian dengan manusia liar itu, Rangkuti?" tanya  Bayangan Malaikat.
"Ya " desah Ki Rangkuti berat.
"Aku harus berhadapan dengannya   tiga bulan mendatang kalau Mahesa  Jalang tewas."
"Perjanjian nekad!" dengus Dewa Pedang  Emas.
"Aku melakukannya karena terpaksa,  aku hanya ingin menyelamatkan    nyawa Mahesa Jalang waktu itu."
"Seharusnya kau biarkan saja Mahesa Jalang mati saat itu juga. Toh akhimya dia pun harus mati di tangan Buto Dungkul!" Bayangan Malaikat seolah-olah menyesalkan sikap Ki Rangkuti.
"Aku tidak menyesali perjanjian itu "  sahut Ki Rangkuti.
"Lalu, kenapa kau jadi murung?" desak Dewa Pedang Emas.
"Aku memikirkan permintaan Buto  Dungkul."
"Permintaan apa?"
''Buto Dungkul tidak akan membunuhku dalam pertarungan   nanti. Dia hanya ingin mengalahkan  aku saja."
"Kalau cuma itu, kenapa jadi dipikirkan?"
"Bukan cuma itu, Dewa Pedang Emas. Yang jadi beban pikiranku sekarang, Buto Dungkul meminta putriku kalau aku kalah."
Dewa Pedang Emas dan Bayangan Malaikat terkejut setengah mati. Rasanya mereka saat itu mendengar  ledakan petir yang amat dahsyat,   Tidak diduga sama sekali Ki Rangkuti mempunyai perjanjian yang berat  sekali.
Mereka semua tahu bagaimana  hebatnya Buto Dugkul. Rasanya sulit bagi Ki Rangkuti mengalahkan manusia liar itu. Mereka bertiga saja belum tentu bisa menandingi  meskipun secara bersamaan   menyerang. Benar-benar perjanjian  edan!
"Sekar Telasih sudah tahu perjanjian  itu?" tanya Dewa Pedang Emas
"Belum," sahut Ki Rangkuti lesu.
"Aku tidak bisa bayangkan, bagaimana kalau putrimu tahu mengenai perjanjian itu? Benar-benar sembrono sekali kau, Rangkuti," gumam Bayangan Malaikat menyesalkan.
Ki Rangkuti tidak bisa menyalahkan    kata-kata sahabatnya. Diakui kalau  tindakannya sungguh ceroboh.  Padahal tidak ada untungnya sama  sekali menolong Mahesa Jalang  waktu itu. Dia juga tidak kenal sebelumnya. Mungkin karena jiwa  kependekarannya saja yang tergerak  untuk menolong siapa saja yang membutuhkan meskipun harus mengorbankan apa yang dicintainya.
"Sekarang, apa yang akan kau lakukan? Tiga purnama bukan waktu  yang panjang untuk mempersiapkan  diri, Rangkuti," kata Dewa Pedang  Emas.
"Aku belum bisa memikirkannya,"  sahut Ki Rangkuti.
"Sebaiknya kau menyempurnakan   ilmu-ilmu andalanmu. Aku juga tidak akan tinggal diam begitu saja melihat kehancuranmu," kata Bayangan  Malaikat.
"Terima kasih. Kalian memang   sahabat sejati," ucap Ki Rangkuti terharu.
"Ah, sudahlah. Aku juga belum tahu,  apakah pedangku ini bisa merobek  kulitnya," kata Dewa Pedang Emas.
Ki Rangkuti menatap kedua sahabatnya dengan penuh rasa haru.   Dia tidak bisa lagi mengatakan apa-apa. Kesediaan dua sahabatnya   membantu memecahkan kesulitan yang tengah dihadapi, membuat lidahnya seakan-akan jadi kelu.   Mungkin inilah arti persahabatan   sejati. Senang sama dirasa, susah  sama dipikul. Meskipun nyawa taruhannya tidak membuat persahabatan jadi retak.
Dewa Pedang Emas menepuk pundak  Ki Rangkuti, kemudian bangkit berdiri. Kakinya terayun menuju ke pintu masuk rumah besar itu. Tidak lama kemudian Bayangan Malaikat menyusul untuk berisirahat. Kini di beranda depan itu tinggal Ki  Rangkuti duduk termenung sendirian. Sungguh berat persoalan yang dihadapinya sekarang. Bagaimana   mungkin menyerahkan Sekar Telasih  pada manusia liar yang selalu hidup di tengah-tengah hutan belantara?
Saat Ki Rangkuti tengah tennenung,    tiba-tiba secercah sinar meluncur  deras ke arahnya, dan tepat membentur tengah-tengah meja batu  pualam putih di depannya. Laki-laki tua yang masih kelihatan gagah itu  terkejut hingga terlonjak berdiri.    Seberkas sinar yang meluncur deras  itu ternyata sebuah anak panah kecil yang terbuat dari bahan logam berwarna merah menyala. Ki Rangkuti mengedarkan matanya ke sekeliling menerobos kegelapan  malam.
Tidak ada seorang pun yang terlihat di luar sana. Hanya kegelapn saja  yang menyelimuti sekitarnya. Tidak ada suara-suara ganjil terdengar,  kecuali desah angin dan gemerisik dedaunan saja. Ki Rangkuti mengalihkan pandangannya pada anak panah kecil yang tertancap itu.

5. Pendekar Rajawali Sakti : Naga MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang