Berbulan-bulan berlalu. Aku melupakan Nina dan menyibukkan diri dengan urusan pekerjaan dan keluarga. Ada beberapa agenda penting di awal tahun depan yang membutuhkan perhatian ekstra. Selain pengobatan Laila, pernikahan Nadia, juga rencanaku melanjutkan S3 di kota Jakarta.
Pernikahan Nadia akan dilangsungkan beberapa hari setelah lebaran. Aku membongkar tabungan untuk membiayai acara pernikahan yang membutuhkan biaya tidak sedikit itu. Sebagaimana Nadia, calon suaminya pun masih karyawan baru. Mereka berdua belum mandiri dari segi keuangan, hingga tidak bisa terlalu diharapkan untuk membantu biaya pesta.
Ibu menginginkan sebuah acara sederhana berupa akad nikah dan syukuran yang mengundang sedikit tamu. Ibu tentu memikirkan biaya yang harus kutanggung. Namun aku tidak tega pada Nadia. Adik-adikku hidup susah dari kecil, tidak ada salahnya memberi sesuatu yang istimewa pada hari bahagia mereka. Pernikahan adalah peristiwa besar yang diharapkan hanya terjadi satu kali seumur hidup.
Adik-adikku sudah menjaga diri dengan baik, sesuatu yang membuatku amat berterima kasih dan berbangga hati. Berapa banyak gadis yang menikah dalam keadaan berbadan dua? Bahkan yang memiliki anak tanpa menikah pun sudah beberapa kali kutemukan. Seorang gadis yang sudah jelas mencoreng arang di kening ayahnya saja masih dinikahkan dengan pesta meriah, seakan tidak terjadi apa-apa. Lalu akankah sebagai penaung keluarga dan wali bagi mereka, aku akan membiarkan pernikahan impian Nadia ini sunyi tanpa resepsi?
Tidak, aku tidak setega itu. Tidak mengapa meski aku harus ngos-ngosan mengumpulkan uang. Sebuah pesta pernikahan yang akan dikenang seumur hidup merupakan hadiah yang layak untuk adikku. Dulu aku menikahkan Ardina dengan pesta, aku juga akan melakukan hal yang sama untuk Nadia dan Laila. Mereka tidak mempunyai ayah, tetapi mereka masih memiliki aku.
Ibu masuk ketika aku sedang membuat rencana anggaran biaya untuk resepsi.
“Ahmad, jangan memaksakan diri. Kita buat sesuai kemampuan saja. Nadia juga tidak akan keberatan.”
Suara ibunya cukup mengagetkan. Aku menutup lembaran buku dan meletakkan pena, lalu membalik badan menghadap ibu yang duduk di tepi tempat tidur.“Tidak, Bu. Insyaallah dananya ada.”
“Tapi biayanya tidak sedikit. Kamu juga butuh biaya untuk berangkat ke Jakarta.”
“Sudah kupikirkan semuanya. Ibu bantu doa saja, semoga acaranya lancar.”
Entah bagian mana yang salah dari jawabanku, karena setelah kalimat itu diucapkan, Ibu malah melamun dengan pandang menerawang jauh.
“Seharusnya bukan kamu yang menanggung semua ini. Ayahmu ... seharusnya dia di sini, bertanggung jawab pada anak-anaknya.”
Dari waktu ke waktu, aku tahu Ibu tidak berhenti mengingat Ayah. Belasan tahun sejak laki-laki itu pergi begitu saja, sampai hari ini tidak ada kabar berita. Mungkin saja dia sudah mati. Namun, jika benar demikian, di mana kuburnya?
Tiba-tiba nada suara Ibu berubah dan ia cepat-cepat bangkit. “Tapi, sudahlah. Kita tidak usah memikirkan itu.”
Perkataan Ibu mengingatkanku tentang betapa zholim laki-laki bernama Rasyid itu. Ibu benar, yang dilakukan Ayah pada kami benar-benar tidak pantas. Ini bukan tentang uang dan pengorbananku, tetapi tentang kewajiban seorang ayah pada anak, kewajiban seorang suami pada istri.
Bersikap seolah tidak mendengar apa-apa, adalah caraku menanggapi kenangan Ibu tentang suami yang menghilang. Seiring waktu berganti, Ibu mulai menyadari bahwa topik tentang Ayah adalah pembicaraan yang sedapatnya kuhindari. Bagiku, kami tidak perlu mengungkit-ungkit perkara itu. Ayah tidak akan kembali hanya karena namanya disebut-sebut di rumah ini.
Kenanganku kembali pada sebuah peristiwa yang terjadi belasan tahun lalu. Suatu siang, Laila pulang sekolah sambil menangis. Gadis kecil itu mengadu karena seorang temannya mengatakan Laila sebagai anak yatim.
Untuk meredakan tangis, aku berkata, “Dik, kita memang anak yatim, tapi kamu masih punya Abang. Abang akan melindungimu seperti Ayah.”
Mata basah Laila membulat, menatapku tak berkedip. “Ayah kita sudah mati, Bang?”
Pertanyaannya sempat membuat bibir ini terkunci. Ketika pertanyaan yang sama terulang dari bibir mungil itu, wajah Ayah dan sosoknya yang kejam melintas begitu saja. “Ya, ayah kita sudah lama mati.” Aku menjawab pasti.
Bukannya berhenti, tangis Laila bertambah keras hingga Ibu datang dan membawanya ke dapur. Sayup-sayup kudengar Ibu membujuk Laila, ditingkahi keterangan gadis kecil itu tentang berita kematian ayahnya. Ibu berdiri di ambang pintu dapur, memandangku, sementara Laila membenamkan wajahnya pada pinggang Ibu. Perubahan pada air muka Ibu, berikut bibir yang terkatup rapat, menunjukkan kekecewaan Ibu akan ucapanku.
Dari dalam kantong dasternya, Ibu mengeluarkan sehelai uang lembaran seribu rupiah yang sudah lecek, lalu memberikannya pada Laila dan menyuruhnya pergi jajan. Aku menyusul ke dapur. Ibu sedang duduk termenung, tatapnya jauh menerawang. Tanpa bertanya aku sudah paham apa yang tengah ibu pikirkan. Kuraih tangan Ibu, mencium punggung tangan berkulit kusam itu penuh santun.
“Bu, maaf.” Hanya kalimat itu yang terucap.
Ibu diam saja. Aku menunggu Ibu mengucapkan sesuatu, apa saja, bahkan jika Ibu memarahiku.
“Bu, maafkan aku. Semestinya aku tidak bicara seperti itu.“ Aku menyentuhkan punggung tangan Ibu pada keningku, tanpa sedikit pun mengangkat kepala. Maaf Ibu amat kunanti. Aku tidak pernah merasa takut atau sedih terhadap apa pun yang menimpa hidupku, tetapi jika berkaitan dengan Ibu, rasanya sungguh berat.
Terdengar hela napas, disusul usapan lembut Ibu pada kepalaku. “Lain kali jangan katakan seperti itu. Biar bagaimana, dia ayahmu.”
Aku mengangguk patuh. Andai Ibu tahu, bahwa tidak semudah itu bagiku untuk mengikhlaskan perbuatan Ayah. Permintaan maaf ini kulakukan hanya demi Ibu, bukan yang lain. Bagiku, kami memang anak yang sudah lama ditinggal mati ayahnya, bahkan ketika jantung lelaki itu masih berdetak dan darah mengalir dalam tubuhnya yang tinggi besar. Kami sudah menjadi yatim ketika dia tidak peduli pada perut kami yang lapar. Kami sudah menjadi yatim ketika dia membiarkan kami terusir dari rumah dan hidup terlunta-lunta. Kami sudah menjadi yatim ketika adikku meregang nyawa. Kami anak yang tak berayah!
Bahkan nasib anak yang benar-benar yatim jauh lebih baik, karena mereka mendapatkan bantuan dan sumbangan dari banyak pihak yang peduli, tetapi kami tidak. Setiap hari Jumat, di sekolah-sekolah di daerah kami diadakan program Sedekah Jum’at, di mana semua perangkat sekolah mulai dari Kepala Sekolah, guru dan semua murid akan bersedekah semampunya. Uang yang terkumpul akan disalurkan pada anak-anak yatim. Hanya untuk anak-anak yatim, mereka yang identitasnya tertulis pada selembar akta kematian. Sedangkan ayahku? Bahkan pada Kartu Keluarga, nama ayah masih tertulis jelas sebagai kepala keluarga. Ibu selalu menjawab ayah sedang merantau menjadi TKI, hingga kami tidak masuk dalam daftar penerima sedekah. Seringkali kulihat para anak yatim itu berpenampilan lebih baik dari pada kami, uang jajan mereka lebih banyak dibanding kami, anak-anak yang kononnya memiliki ayah.
Tentu saja mereka lebih makmur, karena Islam sangat memuliakan keberadaan anak-anak yatim. Sedangkan kami, siapa yang peduli? Kami hanya mendapat bagian zakat sekali setahun, karena nama kami masuk dalam kategori keluarga miskin. Hanya itu saja.Rasa sakit ini kutelan dalam-dalam. Mengurut dada, mencoba sabar. Namun, mengapa rasanya sulit sekali? Aku enggan bicara tentang ayah. Sedangkan Ibu, seolah pengertian telah terjalin antara aku dengan beliau. Ibu hampir tidak pernah menyebut nama ayah lagi, begitu pun adik-adikku. Buatku, sudah seharusnya demikian. Apa gunanya membicarakan orang yang sudah mati?
...
![](https://img.wattpad.com/cover/201062400-288-k268305.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
MENIKAHI PUTRI PEJABAT
Любовные романыKisah cinta antara seorang ASN muda bernama Yudha Ahmad dengan Nirina Shafia, putri seorang Bupati yang menjadi atasan Yudha