Di depan anak tangga, ponselku berbunyi. Dari nadanya, aku sudah tahu siapa yang memanggil. “Halo, Laila.”
“Abang ....” Sapaan bernada lembut dan manja terdengar dari seberang.
Aku bergegas menjauh beberapa langkah dari Nina. “Ila di mana? Ada apa tadi malam telepon Ibu?”
“Habisnya ponsel Abang gak aktif.”
Mendengar suaranya, langsung tergambar ekspresi merajuk seorang gadis berusia dua puluh satu tahun.
“Ila terpaksa telepon Ibu, karena kepepet. Bang, Ila perlu uang lebih. Kan, udah skripsi, Ila perlu banyak dana."
Aku mendengarkan saja seraya menahan jengkel. Bagaimana bisa, untuk masalah sepele seperti ini saja Laila harus melibatkan orang tua. Menjaga ketenangan batin Ibu sudah sepantasnya dilakukan.
"Bentar lagi Abang kirim lebih. Tapi Abang minta, jangan suka bikin risau orang tua." Aku kontan memberi teguran. Seperti biasa, saat adik-adikku melakukan sesuatu yang tidak wajar atau tidak tepat, aku bersegera meluruskan.
“Iya, iya, maaf deh.”
“Kapan jadwal kontrol ke dokter?”
“Nanti sore. Ila pergi ama Kak Nadia.”
“Bagus. Hati-hati bawa motornya. Jangan lupa makan obatmu. Uangnya Abang kirim sekarang. Untuk Nadia nanti Abang transfer ke rekeningnya langsung.”
“Tengkyu Abwang. Abwang baik, deh.” Seperti ada tongkat ajaib yang mampu mengubah segalanya, dalam sedetik suara Laila spontan ceria.
Tak urung aku tersenyum, kembali tergambar wajah Laila di seberang sana. “Ya, sudah. Abang kerja dulu.”
Begitu sambungan diakhiri, aku langsung mentransfer sejumlah uang ke rekening Laila. Sambil berjalan mendekat pada Nina, aku menelepon Laila kembali.
“Laila, udah Abang kirim.” Aku menutup ponsel. Perhatianku kembali pada Nina. “Ayo.”
Kudahului gadis itu menapaki anak tangga. Baru saja menjejakkan kaki di lantai dua, kami berpapasan dengan seorang gadis yang keluar dari sebuah ruangan. Aku menyapa, sekadar mengucapkan salam pagi, dan gadis itu menjawab dengan senyum. Bau parfumnya lembut menyapu indra penciuman, dan dia melirik manis sebelum memberi anggukan kecil.
Gadis bersoft lens warna abu-abu itu bernama Maya. Dia ASN baru, putri seorang kepala dinas. Bukan hanya bernama hampir sama dengan artis ibukota, sekilas dipandang, Maya ini memang mirip dengan Luna Maya, terutama senyumnya yang memesona.
Meskipun jarang memandang perempuan yang menjadi lawan bicara, tetapi aku cukup menyadari bahwa kecantikan Maya memang di atas rata-rata. Wajah nyaris sempurna, kulit putih bersih dengan tubuh langsing dan tinggi semampai.
Sebagaimana ASN dan tenaga honorer muslimah Kabupaten Bunga Raya yang semuanya berhijab, begitu juga Maya. Bedanya, hijab Maya selalu tidak bisa. Penampilan Maya mengesankan seorang wanita karier yang smart dan fashionable. Mungkin jika sampai diadakan pemilihan Miss Bunga Raya, bisa jadi Maya pemenangnya.
Pagi ini, gadis yang biasanya riang itu, menjadi lebih pendiam. Tidak bersikap sebagaimana biasa, di mana selalunya dia yang menegur duluan. Binar cemburu terlihat jelas pada mata dan sikapnya.
Bahwa Larissa Maya menyukai Yudha Ahmad, sudah menjadi rahasia umum di kantor ini. Kata orang, kami berdua merupakan lajang idaman. Sama-sama masih muda dan memiliki peluang karier menjanjikan.
Sementara itu, kusadari Nina terus mengikuti Maya dengan lirikan mata. Sikap keduanya begitu kaku. Padahal mereka sudah lama saling mengenal.
"Hai, May." Nina melempar sapa.
"Hai,Nin." Maya mengamati kami berdua. "Dari mana, tumben kalian barengan?"
"Aku ada perlu dengan Yudha." Nina melir ik padaku.
"Oww." Bibir Maya membulat, sekelibat penasaran terbaca jelas pada wajahnya. "Kalau begitu, silakan." Dia berbalik, meninggalkan aku dan Nina.
Jelas sekali kedua gadis ini sedang berbasa-basi. Nina melihat Maya hingga gadis itu hilang dari pandangan.
Kami masuk ke ruangan yang pada pintunya bertuliskan Kepala Seksi Bimbingan Usaha dan Perdagangan. Aku menarik kursi untuk Nina, yang ditempati gadis itu dengan wajah semringah. Sementara aku duduk di kursi beroda di belakang meja lebar yang membatasi kami berdua.
"Well, Mbak Nirina Shafia, apa yang bisa dibantu? Segelas kopi?"
"Seperti biasa, segelas kopi tanpa gula" Nina ringan membalas tawaran.
Lima menit kemudian, dua gelas kopi panas sudah terhidang. Nina menghirup aromanya, tak sabar menikmati. Dari seberang meja, diam-diam aku mengamati dan terus menduga-duga tujuan kedatangan gadis ini.
Berkali-kali tertangkap kegelisahan tersirat pada wajah Nina, meski senyum tak lepas dari bibir berlipstik merah muda itu. Senyum yang kadang membuat hati ini berdesir.
Untuk sesaat, rasa tidak nyaman karena kesedihan Ibu dan jengkel pada Laila, terlupakan. Benar kata orang, pesona perempuan memang luar biasa. Pada mereka yang tipis imam, tak jarang membuat lupa dunia.
"Ini kopi keduaku pagi ini." Nina berkata. "Meski setelah ini mungkin asam lambungku akan naik. Pada dasarnya, aku tidak tahan kafein."
"Sama. Aku menjadi penikmat kopi sejak jaman kuliah dulu."
Nina meletakkan cawan dan menangkap basah aku tengah memandangnya. "Jangan memandangku terus, aku jadi grogi."
"Grogi? Ya sudah, kamu saja yang memandangku." Aku mengangkat bahu. Dalam hati malu sendiri 'diserang' seperti itu. Terkadang Nina mampu membuatku gagal menjaga pandangan.
"Aku tidak berani, khawatir ada yang marah."
"Siapa yang marah?"
"Perempuan cantik di ruangan sebelah. Yang menyapamu sebentar tadi."
Aku tergelak kecil, menyandarkan diri di kursi dengan sikap rileks. "Itu lagi."
"Pacarmu, Yud?" Nina bertanya ringan, seolah itu pertanyaan tidak penting baginya.
"Kamu, kan tahu, aku nggak punya pacar."
Sekarang senyum Nina hadir kembali.
"Pasti ada sesuatu yang penting sampai kamu mencariku. Ada apa, Na?"
Dia melirik ke sekeliling ruangan, dan mengangkat alisnya, membuatnya tampak jenaka. Sebagai orang yang sudah bertahun-tahun mengenalnya, aku tahu ekspresi seperti ini hanyalah kamuflase. Nina sedang mengenakan topeng untuk menyembunyikan kegugupan dan ketidak nyamanan. Apapun itu, ada sesuatu yang serius, yang coba ia samarkan. Kalau aku tidak salah menilai, gadis ini sedang sangat gelisah sekarang.
"Aku meneleponmu dari kemaren sore hingga tadi malam, tapi kamu tidak bisa dihubungi. Kamu punya waktu nanti siang? Aku perlu bicara."
"Mengapa tidak di sini saja?"
Dia menggeleng pelan. "Tidak bisa."
"Memangnya kenapa?"
![](https://img.wattpad.com/cover/201062400-288-k268305.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
MENIKAHI PUTRI PEJABAT
RomansaKisah cinta antara seorang ASN muda bernama Yudha Ahmad dengan Nirina Shafia, putri seorang Bupati yang menjadi atasan Yudha