Wattpad Original
Ada 5 bab gratis lagi

Part 4

474K 22.2K 580
                                    

Sudah lima belas menit kami terjebak kemacetan di pintu keluar bandara. Sinar matahari Bali ternyata sangat panas. Syukurnya hembusan udara dari AC di mobil terasa sejuk menyentuh kulitku, dan membantu menenangkan debaran jantungku.

'Ya ampun, Hana, dia cuma mantan suami kakakmu, nggak usah salah tingkah gitu, deh,' batinku

"Makasih, ya, Mas udah jemput. Sorry ngerepotin," ucapku berusaha memecahkan kesunyian di dalam mobil yang tercipta semenjak kami masuk ke mobil Jeep Cherokee putih milik Mas Tama.

"No problem."

Suara berat itu lagi. Pandangannya tetap lurus ke depan. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk setir, seakan tidak sabar ingin terbebas dari kemacetan ini. Atau mungkin tidak sabar ingin terbebas dariku—adik mantan istrinya.

Aku semakin sungkan. Dari dulu aku tidak pernah terlalu akrab dengannya, dan sudah sangat lama sejak terakhir kali kami bertemu. Sekarang kami sama saja seperti orang asing. Namun, ia harus meluangkan waktunya untuk menjemputku, menyiapkan vila untukku, bahkan kata Kak Naya, aku tidak usah sungkan minta Mas Tama menjadi guide-ku selama di Bali.

Aku bergidik ngeri, membayangkan suasana hening dan awkward seperti ini yang harus selalu kuhadapi kalau aku minta ia jadi guide-ku.

"Kamu kedinginan?"

Suara lelaki di sebelahku terdengar, mengusikku dari lamunan.

"Eh, nggak kok, Mas, panas banget malah," jawabku pelan.

"Oh." Sudah. Dia diam lagi. Mobil mulai berjalan, walaupun tiap beberapa menit berhenti, karena padatnya lalu lintas.

"Hmm, Mas Tama vilanya di daerah mana, ya?" tanyaku ingin tahu.

"Jimbaran ada, Sanur ada, Ubud ada, Bedugul juga ada. Terserah kamu pengennya di mana," jawabnya santai.

Aku melongo. Memang vilanya dia ada berapa?

"Vila Mas banyak, ya?"

"Iya."

"Sombong."

Dia menoleh cepat. Ups, keceplosan. Aku pikir aku hanya mengucapkannya dalam hati.

"Sorry," cicitku lirih. Mas Tama mendengkus.

"Bukan sombong. Memang kenyataan. Aku nggak tahu kamu mau jalan-jalan ke mana, jadi aku minta stafku buat mengosongkan masing-masing satu vila. Musim liburan kayak gini biasanya vila-vila full," jelasnya.

"Satu aja, Mas, nggak usah banyak-banyak. Nanti Mas Tama rugi, lho, kalo vilanya banyak yang dikosongin. Lagian kata Kak Naya, vilanya digratisin sama Mas Tama. Kan, aku jadi nggak enak," ucapku hati-hati.

Mas Tama cuma melirikku sekilas, salah satu sudut bibirnya tertarik sedikit membentuk senyum nggak niat. "Ck, nggak bakalan rugi. Santai aja."

"Tuh, kan, beneran sombong." Aku merengut. Sudut bibirnya tertarik ke atas lagi, kali ini terlihat lebih niat.

"Kamu sekarang sudah SMA, ya, Na?" tanyanya.

"Sembarangan! Aku udah kuliah, Mas. Udah mau lulus ini tinggal skripsi."

Enak aja aku dikira anak SMA.

Wajahku memang imut, tapi body-ku jelas bukan body anak-anak. Bahkan banyak yang bilang aku sexy. Walaupun kadang aku suka risih dengan ukuran dadaku yang lumayan besar. Cukup merepotkan saat aku sedang main basket, dan agak tidak match sama wajahku yang imut. Ini bukan sombong, memang kenyataan.

"Nggak kerasa, ya. Terakhir ketemu seingatku kamu masih bocah," ucap Mas Tama sambil melirikku sekilas.

"Ya, itu udah bertaon-taon yang lalu, Mas, dan waktu itu aku udah SMA, bukan bocah," jawabku ketus. Salahkan tinggiku yang mentok di 155 cm, walaupun rajin basket sehingga sering dianggap bocah. Mas Tama terkekeh, ternyata bisa juga dia ketawa.

"Kamu kuliah di mana? jurusan apa?"

"ITS, Mas, ambil DKV." Mas Tama manggut-manggut.

"Kamu emang hobby gambar, ya."

Aku menaikkan alis, tidak menyangka ia tahu kalau aku suka menggambar.

"Dulu pas kakakmu nikah, kamu beri hadiah gambar dia pake baju pengantin. Bagus banget gambarnya," pujinya.

Ingatanku melayang saat Kak Naya menikah, waktu itu aku masih SMP, teknik gambarku pasti belum sebagus sekarang. Namun, aku ingat gambar itu, gambar portrait Kak Naya yang terlihat sangat cantik mengenakan kebaya putih.

Aku melirik Mas Tama, ingin melihat reaksinya. Masihkah kenangan tentang kakakku membuat hatinya sakit? Apakah cintanya untuk seorang Kanaya belum luntur oleh waktu? Namun, wajah Mas Tama tetap terlihat santai, tidak menunjukkan ekspresi melankolis. Apa aku yang terlalu drama mengharapkan ada tetesan air mata?

"Mas Tama nggak sedih gitu kalo kita ngomongin Kak Naya?" tanyaku penasaran. Mas Tama menoleh ke arahku, wajahnya berubah sendu.

"Ini berat untukku, Na," ucapnya lirih dengan ekspresi yang terlihat sangat sedih.

Aku menghela napas. Ikut merasakan kesedihannya. Aku tidak tahu harus berkata apa, maka kuberanikan untuk menepuk-nepuk lengannya, berusaha memberinya kekuatan lewat sentuhanku di lengannya yang ternyata sangat keras dan kokoh.

Ups ... fokus Hana!

Tiba-tiba Mas Tama tertawa–tawanya keras dan lepas–membuat matanya menyipit dan wajahnya jadi kelihatan manis banget.

"Hana ... Hana, polos banget, sih, kamu," ucapnya di sela-sela tawa.

Aku merengut tidak mengerti, bukannya tadi suasananya lagi sedih, kok, dia malah ketawa? Mas Tama geleng-geleng kepala melihat wajah bingungku. Tangan kirinya yang tidak memegang setir tiba-tiba terulur mengacak-acak rambutku.

"Apaan, sih, Mas, jadi kacau nih rambutku." Aku berusaha merapikan rambutku. Dia cuma terkekeh geli.

"Udah lima tahun, Na. Kami juga pisah baik-baik. Mungkin kami memang lebih cocok jadi teman. Sama Mas Ivan juga aku kenal baik, kok, dia salah satu klienku" jelasnya.

"Oooo ... jadi Mas Tama tadi ngedrama buat nipu aku," seruku gusar.

"Ya, kamunya lucu, baru ketemu udah kepo. Mana gampang banget lagi ditipu." Ia tertawa sambil lagi-lagi mengacak rambutku.

"Mas Tamaaa ... ah!" teriakku kesal.

Mantan Kakak Ipar Rasa PacarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang