1

69 4 0
                                    


Oleh : Nhay S Agustina

Pov Danesh

Kurenggangkan punggung yang terasa pegal akibat tertekuk seharian. Pekerjaan yang segunung membuat jam segini baru bisa merasakan yang namanya lega.

Suasana kantor mulai sepi, hanya ada beberapa karyawan yang tampak kelelahan. Beginilah jika akhir bulan, laporan menumpuk dan memaksa kami bekerja hampir tengah malam.

Kulangkahkan tungkai menuju parkiran, menyapa beberapa orang yang juga akan pulang. Kupasang helm dan merapatkan jaket, ketika menstarter motor, sebuah suara menghentikan.

"Danesh!" Suara itu lumayan keras hingga terdengar telinga yang tertutup helm.

Aku menoleh, tersenyum kecut ketika mengetahui pemilik suara tersebut. Seorang wanita ber-blazer hitam dan rok yang lebih pantas dipakai anak TK tersebut menghampiri.

"Kamu udah mau pulang?" tanya wanita yang sampai malam begini make up-nya masih menempel sempurna.

"Iya, sudah telat. Kasian Qia sendirian," jawabku dengan alasan tepat. Jujur saja, agak malas meladeni wanita ini yang terkenal genit pada setiap karyawan lelaki.

"Gini ... bo-boleh gak aku nebeng? Order ojol gak direspon," pintanya memelas sembari mengedip-ngedipkan mata seperti puppy kecil yang manis, namun di mataku malah terlihat aneh.

Aku menghela napas panjang. Bukan hanya kali ini, wanita bersurai blonde ini meminta tolong. Tentu selalu aku tolak. Hanya Ibu dan Qia yang akan kubonceng, tidak untuk wanita lain.

"Gini ya, bukannya gak mau nolong, Bell. Maaf ya, aku buru-buru!" Kutancap gas tanpa memperdulikan ekspresi wanita itu, yang pasti hanya ada Qia.

Motor melaju bersama kendaraan lainnya. Aku tersenyum setiap mengingat Qia. Wanita halalku itu pasti masih setia menunggu kepulanganku.

Dia bernama Qiandra, wanita cantik yang sah menjadi istriku sejak lima tahun lalu. Wanita yang hanya dipandang dari jauh membuat hatiku bergetar hebat.

Qia adalah adik dari sahabatku, Qiekan. Pertama kali aku bertemu dengannya ketika main ke rumah Qiekan. Ia gadis cerewet, pintar, dan ceria. Sejak saat itulah, berawal hanya mengagumi perlahan membesar menjadi sebuah cinta dalam diam untuk waktu yang lama.

Cinta itu tak pernah kukatakan, cukup kusimpan dalam hati. Apalagi ketika mengetahui Qia memiliki lelaki yang dicintainya. Sampai sebuah pengkhianatan tepat di hari pernikahan Qia, mempelai pria lari bersama wanita lain. Saat itulah aku menjadi pahlawan, menjadi pengantin pengganti.

Aku sempat ragu apakah pernikahan cinta pada satu pihak saja bisa bahagia? Seiring berjalannya waktu, Qia mulai menerima dan menunaikan tugasnya sebagai istri. Namun, sikapnya berubah menjadi dingin, tak ada lagi cerewet dan keceriaan tersebut.

Tak terasa motorku telah tiba di sebuah rumah minimalis berwarna abu-abu. Alhamdulillah, walau gaji kecil aku bisa membeli sebuah rumah untuk kami tinggali.

Terlihat lampu ruang tamu masih menyala terang, pertanda Qia masih terjaga.

"Assalamualaikum!" ucapku sembari mengetuk pintu.

Tak lama, pintu terbuka menampilkan wajah Qia yang tersenyum tipis.

"Waalaikumsalam, ayo masuk, Mas." Diraihnya tanganku dan mengecupnya sebagai bakti istri pada suami.

Kukecup pelan keningnya yang polos. Cukup lama, sampai sebuah tangan mencubit kuat perut rataku.

"Sudah! Sana bebersih, terus makan," perintah nyonya adalah titah yang harus segera dilaksanakan.

"Baiklah, nanti minta lagi ya!" Kukedipkan sebelah mataku, Qia hanya tersenyum menanggapi.

****

Saat ini kami sudah berada di ranjang yang sama. Jarum jam telah melewati dua belas, tapi kami masih belum memejamkan mata.

"Qi, mas jangan ditungguin. Kasihan kamu kalo melek terus," kataku sembari mengelus puncak kepalanya.

Qia menoleh, keasyikannya terusik. Ditutupnya novel, dan memandang lekat netraku.

Ini yang kusuka, netra sekelam malam itu penuh misteri dan menghanyutkan.

"Udah kewajiban Istri, Mas. Aku hanya menjalani kewajibanku," jawabnya mantap, membuatku tak tahan bila tak melayangkan sun bertubi-tubi pada wajahnya.

Jambi, 05 Oktober 2019

Sandiwara Pernikahan. By Nhay_LishttyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang