5

23 3 0
                                    

Oleh Nhay S Agustina

Danesh's PoV

Kami pulang dengan suasana senyap tanpa obrolan. Peristiwa tadi masih menghiasi kepala. Membuatnya sedikit berasap karena panas yang dirasa.

Kuguyur kepala dengan air dingin, sedikit banyak membuat api yang membara padam. Mengurangi denyutan yang sempat menyiksa.

Sekarang aku sudah segar dan rapi. Aku mengenakan kaos putih dan celana chino pendek, duduk di tempat tidur sembari membuka gawai.

Kluning!

Sebuah suara notifikasi chat, bukan dari ponselku. Namun, dari ponsel yang sedang dicharger di sudut meja, ponsel milik Qia.

Tanpa menunggu Qia, aku beranjak dan meraih ponsel itu. Membawanya ke tempat tidur dan membuka chat yang baru saja tiba.

Mataku membelalak sempurna setelah membaca chat yang kembali membuat marah. Sebuah pesan dari nomor tak dikenal.

[Qia, aku tau kamu masih mencintaiku 'kan? Matamu mengatakan itu, Sayang. Aku tak peduli kamu sudah milik orang, itu mudah bagiku. Bila perlu akan kusingkirkan pria itu. Aku yakin, kamu masih mencintaiku, Qia.]

Jantungku bedegup hebat, seakan gemuruh petir dan guntur siap menyambar. Berani sekali pria brengsek itu mengirim chat yang isinya begini.

Tak lam pintu kamar terbuka, menampilkan sosok cantik dengan secangkir teh di tangan.

Aku melemparkan tatapan tajam padanya dan membuatnya terhenti melangkah. Wajahnya terlihat bingung dan ketakutan, terlihat jelas dari sorot matanya.

Tanganku terkepal erat, menandakan menahan emosi yang mulai menguasai diri.

"Mas, ka-kamu ke-kenapa?" tanya Qia takut-takut, ia menghampiri dan meletakkan cangkir teh di atas nakas samping ranjang.

Aku masih bergeming, menatap netranya lekat. Netra sebening kristal yang membuatku jatuh sejak pertama kali menatapnya. Mata itu mengerjap indah, membuatku tak tahan untuk segera mengecupnya.

"Mas, ada apa?" tanyanya heran melihat ekspresiku kembali normal setelah mengecup lembut netranya.

"Ini ... baca sendiri!" Kusodorkan ponselnya yang masih menampilkan room chat dari pria itu, Darell.

Qia melebarkan mata setelah membaca isi chatnya. Kemudian memandang dalam diam ke arahku. Lama-kelamaan netranya berair, menganak sungai dengan derasnya.

Ekspresiku melunak, jika sudah begini dekapan hangat adalah obat manjurnya. Kutarik wajah itu ke dalam dada bidangku. Air matanya terasa hangat menembus kaos yang kupakai.

Kukecup hangat puncak kepalanya yang menguarkan wangi stoberi. Mencoba menenangkannya yang tiba-tiba menangis.

Cukup lama kami di posisi ini sampai tangisnya reda. Membuat yang namanya nyaman menghampiri seketika.

"Mas, maafkan aku," lirihnya nyaris tak terdengar di sela sesenggukan.

"Kenapa minta maaf?" tanyaku heran dengan kening berkerut.

"Maafkan aku belum sepenuhnya memberikan hati padamu, Mas. Padahal selama ini kamu sudah melakukan semuanya," sahutnya lagi ketika kulepas dan menangkup kedua pipi tirusnya.

"Tak apa, Qi. Aku mengerti. Melupakan itu tidak mudah, aku mengerti. Hanya saja, aku ingin kamu berjanji, Qi. Bahwa kamu bisa mengabaikan pria itu, dan tetap  menjaga keutuhan rumah tangga kita ini!" Kuusap lembut jejak air mata yang masih tertinggal di wajahnya.

Qia tersenyum, menampilkan lekukan senyum paling manis walau dengan hidung dan mata yang memerah.

Kembali kudekap tubuh langsing istriku, bukti bahwa aku percaya kalau dia bisa menjalani semuanya.

Sandiwara Pernikahan. By Nhay_LishttyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang