2

36 3 0
                                    

Oleh : Lishtty Lavina

Pov. Qiandra

Siapa yang tahu garis yang Tuhan goreskan dalam takdir kita? Hingga kita mampu menghindari semua masalah dan luka yang akan menimpanya. Tidak ada, 'kan?

Begitupun nasibku, kupikir dialah takdir yang Tuhan tuliskan untukku, hingga aku berani menggantung harapan dengannya setinggi langit. Namun, aku salah, dia yang telah memiliki tempat terindah di hati, rupanya dengan tega berkhianat.

Tepat di hari pernikahan, ia meninggalkanku untuk wanita lain, entah siapa wanita itu. Kecewa dan malu jadi satu, sehingga sulit menyembunyikan rasa kesal di hati.

Tidak tahu apa yang akan terjadi dengan keluargaku, jika saat itu tidak ada Mas Danesh, sahabat karib Masku, Mas Qiu. Aku sering memanggil Mas Qiekan dengan sebutan Mas Qiu, sedangkan teman-temanya selalu memanggil dia Qiki.

Mas Danesh pria baik, dia rela menikahiku meski dia tahu kalau aku tak pernah mencintainya. Tepat di hari kejadian, pria berbadan tegap dan semampai itu dengan lantang mengucapkan ijab qabul di hadapan penghulu. Bukan rasa bahagia yang kurasa melainkan rasa sakit. Kenapa takdir mempermainkan cintaku? Sehingga harus orang tak terduga yang menikahiku.

"Berusahalah mencintai dia Qia! Dia pria baik, dia bersedia menikahimu demi nama baik kita, kalau saja Nak Danesh tidak ada, mau ditaruh di mana muka kita?" ucap Ibu saat itu.

Ibu benar, Mas Danesh rela mengorbankan dirinya demi kami. Dan sejak saat itu juga aku selalu berusaha menjadi seorang istri yang baik untuknya. Melayani, memberi perhatian juga menjaga perasaannya, meski rasa cinta belum bisa kuberikan.

Jam dinding menunjukkan pukul sepuluh malam, tetapi pria itu tak kunjung datang, sesekali kusingkapkan tirai setiap telinga menangkap suara deru motor. Pikirku Mas Danesh, ternyata bukan.

Kujatuhkan kembali bokong di sofa berwarna putih gading ini, kembali lagi berkutat dengan buku novel yang belum selesai dibaca.

Beberapa menit kemudian terdengar kembali suara motor, kali ini aku yakin kalau itu suara motor Mas Danesh. Bergegas kusimpan novel itu, dan menghampiri pintu yang tengah diketuknya.

"Assalamualaikum." Ternyata benar, suara berat itu memang miliknya, gegas kubuka pintu dan tampaklah Mas Danesh yang lusuh dan berantakan.

"Waalaikumsalam, ayo masuk, Mas." jawabku seraya tersenyum, lalu meraih tangannya dan mengecup dengan takjim.

Ia membalas dengan mengecup keningku lama, tetapi lama-kelamaan kecupan itu berpindah ke bibir dan melumatnya lembut. Tanpa sadar aku mencubit perutnya dengan kencang dan membuatnya meringis kesakitan.

"Sudah! Sana bebersih, terus makan!" titahku dengan nada tegas.

"Baiklah, nanti minta lagi ya!" ia mengedipkan matannya, membuat geli saja. Aku pun tersenyum menanggapi kenakalannya.

Mas Danesh itu sebenarnya pria dingin dan cuek, tetapi ada kalanya ia bertingkah konyol dan nakal seperti anak kecil, hingga membuat tawa pun tergelak begitu saja.

Selesai mandi, dia menghampiriku yang sedang menata makanan di meja. Ia memeluk dari belakang, lalu menciumi tengkukku lembut.

"Sudahlah Mas! Ayo dimakan dulu, keburu dingin, loh," ucapku seraya menyodorkan piring yang sudah terisi nasi dan juga lauknya.

"Duduk Qia, temani mas makan!" pintanya seraya mengelus lembut tanganku. Aku pun menurut. Mas Danesh makan dengan lahapnya, hingga nasi dan lauknya habis tak tersisa. Ada kebahagian tersendiri saat menyaksikanya makan selahap itu. Sebagai seorang istri aku merasa sangat dihargai dan dipedulikan, meski ia tahu kalau cinta belum bisa kuberikan.

Sandiwara Pernikahan. By Nhay_LishttyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang