Delapan tahun kemudian...
***
Awan-awan pembawa hujan tiba di langit Distrik Barat-laut.
Matahari yang baru saja bangun dari lelap tiba-tiba memucat dan menggelap. Tepat di bawahnya, sebuah rumah sederhana ternaungi sinar redup itu. Sekali lirik, seseorang keluar dari rumah dan memandang ke atas. Dengan cahaya yang tersisa, sang surya menerangi wajahnya.
Matanya yang biru berkilauan, sementara angin menggerakkan rambutnya yang berwarna abu-abu terang dan ungu gelap.
Dives Cadenza menghela napas panjang.
"Hujan, Ves?" ujar seorang perempuan dari dalam rumah. Dives menoleh ke sumber suara dan mengangguk pelan, lalu kembali menatap langit. Belum sempat mengerjap, setetes air mengenai matanya.
"Aduh!" teriak Dives seraya mengerjap-ngerjapkan mata dengan kaget. Ia mencoba untuk mengelap matanya dengan kain di baju, tetapi niat itu diurungkan ketika ia sadar bahwa air yang membasahinya semakin banyak.
"Masuk, cepat!" perintah orang lain di dalam rumah. Dives segera berlari masuk dan menutup pintu. Bersamaan itu, hujan turun dengan deras.
"Duh, mataku. Lu, tolong ambilin handuk," pinta Dives ke saudaranya yang kembar fraternal, Lucan Cadenza.
"Ada handuk di gantungan belakang. Ambil yang itu saja. Lainnya belum dicuci," ujar perempuan yang wajahnya kelihatan sudah berumur.
"Ya, Bu. Sebentar," kata Lucan sambil berjalan ke halaman belakang. Beberapa detik, ia kembali sambil melempar handuk ke wajah Dives.
Dives dengan mata yang sedikit menyipit menyambar handuk itu secepat kilat.
"Ves, Lu, sini bantu siapkan makan pagi," perintah Ibu Cadenza bersaudara, Sima Cadenza.
Dives dan Lucan dengan sigap membantu ibunya. Menu yang disiapkan seperti biasa, teri kalengan dan nasi padatan. Makanan paling awet dan mudah didapatkan di kota Urtisian.
Lucan mengambilkan air putih untuk mereka bertiga, sedangkan Dives memotong nasi padatan itu menjadi tiga bagian sama besar. Sima membuka teri kalengan, lalu menuang dan membagi isinya dengan adil ke setiap piring.
Setelah siap, mereka berdoa dan mulai makan.
"Bu, aku dan Lucan pergi kerja ya," ujar Dives tiba-tiba. Lucan menatap Sima dengan wajah yang menyiratkan permintaan serupa.
Sima menghela napas. "Ya, tapi hati-hati dan ingat, sembunyikan supra kalian."
Supra Dives berwarna deep-purple dan bisa membuatnya bergerak cepat. Ketika ia bergerak cepat, percikan listrik akan menyambar dan menyerang sekitar tubuhnya, sedangkan supra Lucan berwarna celadon dan sama dengan Dives. Namun alih-alih listrik, anginlah yang mendorong sekitar tubuhnya.
Dives dan Lucan mengangguk bersamaan, lalu membersihkan meja setelah selesai.
Lucan menyambar jaketnya di gantungan, sementara Dives mengikat syal perseginya ke leher. Mereka berdua berpamitan dan membuka pintu. Udara yang dingin menerjang mereka bersamaan hujan yang bergemuruh.
Lucan mengangkat payungnya dan segera berlari diikuti Dives
"Kenapa kok buru-buru?" tanya Dives saat berhasil mengejar Lucan.
Lucan mengeratkan jasnya dan memperlihatkan tampang yang seperti menunjukkan kepasrahan. "Sebenarnya, tadi aku mau bilang sesuatu yang mendesak ke kamu. Tapi karena ada Ibu, nggak jadi."
Tiba-tiba, Dives menghentikan langkahnya.
Lucan ikut berhenti, kemudian menoleh ke saudaranya.
"Apa?" omel Lucan tidak sabar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heredity
Fantasy*Duality Series: They Seri B (Heredity) Garis keturunan yang tidak sesuai harapan punya risiko fatal bila diumbar di Distrik Barat-laut, negara Urtisian ini. Art from: pixabay.com Cover by: Desygner Brought to you by: ra-za-g