"Lucan."
Lucan menoleh ketika mendengar namanya terucap. Ia sedang sibuk membuat konstruksi rumah dari batang-batang kayu yang terkumpul di kebun. Beberapa potong lagi sebuah desain rumah akan menjadi karyanya.
Dives batuk geli ketika melihat pekerjaan saudaranya itu. Satu goyangan dan rumah itu akan hancur lebur. "Mau jalan-jalan, nggak?" tawarnya sembari duduk di sebelah Lucan.
"Nggak mau. Aku lagi sibuk, tahu. Terus, daripada jalan-jalan, mending kamu keluar cari kesibukan lain ... kalau segitu nganggurnya," sahut Lucan dengan seringai nakal.
Dives menyipitkan mata, jengkel akan respon saudaranya yang terlalu jujur. Memang, beberapa hari ini setelah mereka bekerja di Cafe Riche, ia tidak ada kerjaan yang menyibukkannya di rumah sehingga wajahnya sering terlihat kosong karena melamun, entah apa yang terus dilamunkannya. Lucan berpendapat bahwa saudaranya itu melamunkan kecantikan dan kedermawaan Arrha Urunie, taksirannya.
Pendapat itu mendapat balasan berupa tamparan ke dahi Lucan ... yang masih berbekas sampai sekarang.
"Makasih atas kejujurannya," gerutu Dives. "Aku punya pekerjaan apa selain di Cafe, eh? Aku nggak punya bakat apapun kecuali disuruh-suruh, tahu. Dan masak."
Lucan berhenti sejenak. Ia menoleh ke Dives dengan pandangan prihatin, entah sungguh-sungguh atau main-main. "Aku sama ibu, nggak pernah nganggap kamu orang yang tanpa bakat, Dek. Mungkin kamu hanya kurang hobi saja."
"Hobi? Mana sempat aku mikir 'hobi' kalau setiap hari harus mikir 'mau makan apa' besoknya? Dan enak saja kamu, Dek," tukas Dives masam. Ia tidak terima dengan panggilan 'Dek' dari saudaranya yang seharusnya lebih muda itu.
Lucan meneliti ikatan kayu yang menjadi tiang konstruksi rumahnya. "Hmm, olahraga? Yah,"--ia menoleh dan menatap perut Dives yang datar--"bingung juga aku lama-lama lihat perutmu datar terus."
"Gini-gini, aku sering jogging, tahu," sembur Dives seraya memukul-mukul perutnya dengan bangga.
"Sombongnya minta ampun ...." Lucan mengerling jengkel--
"Lha, kamu? Malah nggak pernah olahraga, kan?" ejek Dives yang sekarang mengelus perutnya dengan sikap menyindir.
Lucan memutar kepala ke arahnya dengan kecepatan super.
"Ulangi coba."
Dives tersenyum lebar. "Gendut."
Mata Lucan menyala sedetik. Namun, ia akhirnya hanya menghela napas dan kembali berkonsentrasi ke rumahnya yang hampir jadi. Satu batang kayu dan mahakaryanya siap dijual.
"Aku sering olahraga, kali. Kamu saja yang nggak pernah lihat."
Dives terbahak. "Oh ya. Nggak pernah lihat karena memang nggak."
Lucan melempar sebatang kayu ke hidung Dives yang sempat menghindar.
"Sudah. Ayah kalian rajin ngajak olahraga. Kalian semua nggak ada yang pemalas," bela Sima ketika melihat Dives dan Lucan ribut.
"Kalian anak yang Mitra tangguh, tahu."
Dives menoleh ke Sima dan berdehem pelan, sedangkan Lucan melebarkan mata dengan panik ketika menyadari konstruksinya bergoyang sedikit. Sima mengawasi mereka berdua dan tersenyum.
"Tapi yang dikatakan Lucan benar juga, Dives. Kamu perlu hobi lain. Bagaimana kalau kamu jalan-jalan dan cek lingkungan sekitar? Mungkin bisa menginspirasi. Toh,"--Sima melirik jam yang menunjukkan pukul dua siang--"ini masih siang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Heredity
Fantasy*Duality Series: They Seri B (Heredity) Garis keturunan yang tidak sesuai harapan punya risiko fatal bila diumbar di Distrik Barat-laut, negara Urtisian ini. Art from: pixabay.com Cover by: Desygner Brought to you by: ra-za-g