Jam menunjukkan pukul enam sore. Pertanda bahwa para pegawai boleh pulang.
Dives menatap jam itu dan menghela napas, lalu membuka tutup panci di kompor dan menyadari bahwa air rebusan itu sudah mendidih dari tadi sehingga ia buru-buru mematikannya. Serbet diraihnya dari meja dan panci itu dipindah.
Dives menaruhnya di meja beralaskan koran dengan bunyi keras. Cukup keras untuk Lucan menoleh ke arahnya.
"Wow, santai, bro. Slow saja," canda Lucan sambil mengelap tangannya.
"Capek. Pulang yuk," keluh Dives yang kedua tangannya bertumpu ke meja. Wajahnya kelihatan pucat dan kelelahan, bahkan berkeringat deras karena bercampur hawa panas dari oven dan kompor.
"Lah, sudah boleh pulang?" tanya Lucan ikut menoleh ke jam yang ada di dinding.
"Dari tadi, kali. Cepat beres-beres. Kita pulang," perintah Dives ke Lucan yang mendengus.
Dives mematikan kompor dan membereskan peralatan, sedangkan Lucan merapikan meja dan membersihkannya. Saat Dives sudah selesai, ia menyambar syal di gantungan dan memakainya, sementara Lucan mematikan lampu dapur dan menyampirkan jaketnya ke bahu. Mereka berdua keluar bebarengan dan mengunci pintu karena mereka yang terakhir berada di sana.
Baru mulai berjalan, seseorang menyapa mereka. Lucan yang mendengar sapaan itu menoleh, lalu menyikut Dives dengan geli.
Dives mengernyit jengkel. "Apaan?"
Lucan menggeleng-gelengkan kepala dan menunjuk orang yang menyapa mereka dengan dagunya. Dives memutar kepala ke arah yang ditunjuk saudaranya itu dan seketika membeku.
Arrha dengan rambut terurai terkikik geli.
"Arrha? Duh, maaf! Aku nggak dengar...," jelas Dives gugup sambil menepuk punggung Lucan yang menghindar dengan keras.
"Hahaha, nggak apa-apa. Aku senang lihat kalian akrab seperti itu. Kalian mau pulang, kan?" tanya Arrha yang masih menahan cekikikan.
Lucan dengan santai menjawab, "Yep, benar. Mau ikut?"
Mata Dives berpindah dan sekarang melototi Lucan. Pandangannya seakan-akan mengatakan, "Serius? Kamu mau mengajak seorang perempuan ke rumah laki-laki pas sore menjelang malam gini?" Namun, saudara kembarnya itu hanya meliriknya, lalu mengangkat bahu. Pandangan mata masih tidak menunjukkan rasa bersalah.
Arrha mengangkat kepala seakan-akan berpikir panjang, kemudian menjawab sambil menepuk kedua tangan, "Boleh tuh! Aku juga mau sekalian nyapa ibumu!"
Keringat yang mengalir di dahi Dives seakan-akan mengabaikan suhu dingin karena ia tidak menyangka Arrha akan menjawab seperti itu. "Kamu benaran mau ikut? Yaelah,"–Dives menempelkan tangannya ke dahi–"kok ya mau. Padahal bahaya banget."
Lucan tersenyum dengan wajah penuh kemenangan dan menepuk bahu Dives. "Kamu lupa kah, Ves?" bisiknya misterius saat Arrha sudah berjalan mendahului mereka.
Dives menyipitkan mata, kemudian menatap punggung Arrha yang berhiaskan lambang aneh. Ingatan tercetus ke pikirannya.
Arrha adalah seorang anggota Millioto, geng terkenal dari distrik Tenggara yang kuat dan juga pengguna supra. Supra warna azure-mist dengan penyembuhan yang cepat.
Strong woman.
Dives mendengus lega seraya berjalan dengan langkah lebar sehingga Arrha tertinggal di belakangnya dan Lucan. Mereka bertiga terus berjalan dan di sela-sela perjalanan itu, ia menyambungkan semua perkataannya dengan apa yang dibicarakan oleh Arrha, begitu pula Lucan. Arrha tertawa dengan begitu lebar dan senang, tanpa ada rasa waspada sama sekali, apalagi rasa curiga. Ia seperti tidak pernah menganggap Dives dan Lucan akan melukainya walaupun Dives dan Lucan juga sebenarnya tidak ada niat seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heredity
Fantasy*Duality Series: They Seri B (Heredity) Garis keturunan yang tidak sesuai harapan punya risiko fatal bila diumbar di Distrik Barat-laut, negara Urtisian ini. Art from: pixabay.com Cover by: Desygner Brought to you by: ra-za-g