Melepas memang tidaklah mudah terlebih jika kau tercandu sudah.
Kamu menghampirinya yang sedang menyodorkan sebotol minuman. Terlihat jelas bahwa kalian saling bertukar senyuman. Dan yang terakhir aku lihat sebelum menaiki anak tangga, dia menggunakan handuk dilengannya untuk mengelap keringatmu.
Apa aku salah melihat? Aku rasa tidak.
---
Mentari terasa begitu tepat berada diatas kepala, namun Puspa tetap menyukai posisinya saat ini. Membiarkan kakinya terayun melambai semilir angin yang sibuk berlalu-lalang. Aku duduk tepat di sampingnya menatap gedung-gedung tinggi yang tertangkap penglihatanku, sesekali aku menoleh pada Puspa yang terlihat begitu tenang dengan rambut terurainya yang dibiarkan menari dengan udara di atas sini.
"Gue pikir anak kelas bikin ulah lagi. Eh, taunya Bu Yoana bikin kasus." Aku mendengus geli mendengarnya.
Sepertinya Puspa belum puas dengan pembicaraan sewaktu dikelas bersama Tama. "Gue tau lo pasti kehilangan Bu Yoana, tapi yang lain pasti pada seneng termasuk gue, hehehe."
Mengenai kasus Ibu Yoana, aku tidak tahu harus bagaimana menanggapinya. Walaupun beliau guru yang aku kagumi dan juga segani, namun tetap saja aku tidak bisa memihak dia dengan perlakuannya yang terlewat batas untuk beberapa waktu belakangan ini.
Akan tetapi dengan pengunduran dirinya dari sekolah mungkin sudah cukup membayar kesalahannya.
"Biar gimanapun dia itu tetep guru kamu, dia juga pernah berjasa untuk sekolah ini."
Puspa mendelik, "Berjasa dengan mengotori nama sekolah kita dengan cara membentak dan melakukan kekerasan pada seorang murid yang memiliki asma hingga kambuh dan nyaris tidak terselamatkan nyawanya, begitu?" Puspa berbicara dengan pelafalan yang begitu sempurna dengan bahasa yang baik dan benar pula bak seorang reporter yang sedang menyiarkan berita.
Namun rasanya dia belum cukup puas sehingga melanjutkan kembali kalimatnya, "Untung aja pihak sekolah cepet-cepet bawa ke rumah sakit kalau engga' mungkin udah lewat tuh anak. Tapi ya gue setuju sih kalau emang orang tua nya gak terima sampe laporin Bu Yoana ke polisi."
Aku pikir percakapan masalah ini sewaktu di kelas sudah cukup untuk dibahas sekali, tapi nyatanya Puspa masih saja senang membicarakan perihal ini.
"Tapi gue juga gak terima kalau tuntutannya di cabut secepet itu, biar gimanapun orang salah itu harus terima hukuman bukan?"
Sekilas aku mengangguk namun tak lama aku menggelengkan kepalaku.
Aku menoleh pada Puspa, "Bagi aku, dengan ngundurin diri dari sekolah ini aja udah cukup, buat dia terima sebagai hukumannya." Jelasku.
"Kamu pikir aja jadi guru itu kan gak mudah, apalagi jadi Wakil Kepala Sekolah. pasti perlu banyak usaha dan juga waktu' tapi karena satu kesalahan yang dibuat, dengan terpaksa dia harus ngelepas semua pencapainnya, apa itu cukup adil?"
Puspa terlihat begitu merenungi penuturanku. Namun dia tetap terdiam sambil menghela nafas sesekali.
Rasanya kulitku sudah mulai terbakar pancaran sinar matahari, akupun beranjak meninggalkan dia seorang diri yang sedang berlarut dengan lamunannya sambil menutup kedua mata, terlihat jelas bahwa dia sangat menikmati suasana yang terdapat diatas atap sekolah ini.
Saat aku menyusuri sekolah tepatnya di lantai tiga' seketika pikiranku teralihkan olehmu tatkala langkahku terhenti tepat diseberang kelasmu. Sejenak aku perhatikkan sekitaran sekolah diatas sini.
Terlihat jelas lapangan nan luas yang masih ramai di kerumuni para siswa, terdapat juga taman-taman kecil yang kurang begitu diperhatikkan oleh penjaga sekolah karena terlihat jelas banyak tanaman benalu yang ikut tumbuh di sekitaran tanaman-tanaman yang indah untuk di pandang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kopi Hitamku
Fiksyen RemajaAku, dengan kopi hitamku. Kamu, dengan kemeja putih kesayanganmu. Lalu dia? ... Copyright©2019 by Ghnfrs