I. Berharap : Mengaburkan Kenyataan

176 13 2
                                    

"Aku tidak mau nemerima curhatanmu dengan muka yang tidak menyenangkan." Kata Pak De di kantin. Dia berhadapan dengan muridnya yang mencegat Pak De saat keluar kelas barusan.

Vika, satu-satunya gadis yang tidak berjilbab di kelas X ips. Dia manis dengan body goals dimana lelaki akan berusaha memilikinya.

Vika berusaha tersenyum sekalipun getir lebih memaksanya untuk berdiam diri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Vika berusaha tersenyum sekalipun getir lebih memaksanya untuk berdiam diri. Pak De tetap tenang saja sambil menunggu teh hangatnya datang.

"Sebentar aku tebak kamu bakal cerita tentang kisah asmaramu kan?" Ujar Pak De.
"Kenapa semua cowok itu buaya pak?!" Tegas Vika memulai pembicaraan. "Apa yang akan Pak De lakukan bila punya gebetan seperti saya?"

Anjay, Vika to the point sekali. Pak De tersentak diberondong pertanyaan tidak masuk akal. Vika bukan siswi sembarangan. Sekali dia lewat kelas-kelas, seluruh mata lelaki bakal mengamati. Bukan hanya itu, dia adalah gadis dari orang tua yang masih sadar kecantikan anaknya sehingga berupaya membelikan skincare agar putri mereka ini selalu cantik.

"Tak pacarin lah, tapi aku gak yakin juga bakal setia." Celetuk Pak De spontan.
"Berarti Pak De juga buaya."
"Laki-laki ninggalin kamu pasti dia bosan bukan karena kamu cantik. Biasanya dari attitude atau sifat kamu."
"Maksudnya pak?"

Teh hangat pesenan Pak De datang dan disruput pelan-pelan. Lalu dia melanjutkan.

"Kamu itu gampang marah dan kamu itu manja, kamu tidak bisa membedakan mana waktu yang tepat untuk bersama kamu, bersama teman dan bersama keluarga bahkan waktu untuk dia sendiri."

"Apaan sih pak waktu buat dia sendiri?" Vika masih bingung.
"Lelaki perlu jadi dirinya sendiri. Makanya dia butuh waktu."
"Lalu kenapa banyak yang jadi buaya."
"Karena takdir, anak SMA itu gak selayaknya menjalin hubungan terlalu serius. Umur kalian masih jauh untuk menjalin hubungan serius. Sekarang aku tanya, apa kamu menyuruh laki-laki untuk peka? Sahut Pak De.

Vika diam mengamati guru anehnya itu sambil menggigit sebatang wafer keju.

"Iya, lalu apa salahnya?" Tanya Vika.
"Laki-laki tidak dilahirkan untuk peka, tetapi mereka dilahirkan penuh kasih sayang. Maka kalo kamu nyuruh laki peka juga susah. Sekarang kenapa laki-laki kamu cap buaya?"
"Abisnya mereka chat sama cewek lain."
"Kalo ada laki-laki chat sama cewek satu doang, Gunung Kidul tak pindah lor!" Seru Pak De. Setengah tersenyum setengah getir nampak dari raut muka Vika. "Itu tidak mungkin, Vika." Lanjutnya.

"Kalo masalahmu sama satu laki-laki, jangan tiba-tiba kamu ngejudge mereka semua buaya." Saran Pak De.

Vika terdiam mengulum bibirnya dengan raut manja. Pada fase inilah akan ada laki-laki akan sok-sokan menjadi pahlawan kesiangan bangun maghrib seolah jadi penolong terakhir dan menjaganya sepenuh hati. Sayangnya, Pak De tidak bergeming.

"Gak semua laki-laki itu buaya, ya kadang ada yang kadal, iguana, cicak dan hewan melata berkaki lainnya." Sahut Pak De.

"Hhhhssss, paakkkkk.." Vika memukul lengan Pak De bertubi-tubi. Dia sudah lupa kalau itu gurunya. Kejadian ini sontak menjadi sorotan sesaat pembeli kantin saat itu. Para siswa laki yang dari tadi lewat hanya bisa ngebathin "Coba yang dipukuin manja Vika itu aku, enak sekali itu guru kampret."

"Jadi intinya dia ninggalin kamu, apa dia udah dapat yang baru?"
Vika mengangguk pelan. Pak De mengamati situasi sekeliling kantin yang agak lengang karena mendekati jam pelajaran selanjutnya. Sambil menarik nafas perlahan, dia menghirup aroma teh digelasnya.

"Ya jelas saja, gebetanmu dapat yang lebih baik dari kamu, Vika." Ujar Pal De.

Vika menampakkan raut muka yang tidak imut lagi. Seolah memaksa Pak De untuk menerima kebenaran hakiki dari gadis yang diajaknya bicara.

"PAK! DENGERIN YA! AKU SUDAH BANYAK MELUANGKAN WAKTU DAN HARI-HARIKU BUAT DIA. DAN TIBA-TIBA BAPAK BILANG KAYAK GITU. SAYA PENGEN DIA NYESEL PAK KARENA NINGGALIN SAYA....." Bermacam-macam kalimat keras meluap dari mulut Vika. Tak khayal membuat sekitar menjadi bising dan menengok ke arah Vika dan Pak De. Ungkapan emosi berhuruf kapital menjadi ledakan nuklir. Hingga Vika menangis di atas meja, menundukkan kepala. Pak De tetap tenang.

"Sudah plong kan?" Tanya Pak De. Vika terbangun dan mengusap air matanya. Nafasnya menderu.

"Coba tarik nafas... Hembuskan.. Tarik nafas lagi sambil teriak LLOOOSSSSSS...!!!"

"LLLLLLLHHOOOOOOOSSSSSSSSSSSS......!!!" Teriak Vika keras sehingga menimbulkan keributan, sontak para lelaki yang tak asing dengan suara Vika mendekat datang mencari tahu. Tak lama hal ini menjadi tontontan. Pak De justru tertawa terbahak-bahak sambil menyuruh orang-orang pergi. Vika sadar dia dikerjain gurunya. Sambil menangis dia tertawa dan malu, menutupi kedua mukanya yang merah.

"Pakkk! Bikin malu aku aja." Celetuk Vika.
"Tapi lega kan? Kamu cuma butuh rileks aja dulu, solusi apapun kayaknya gak mempan. Ya udah kamu cuma butuh bahagia yang ditimbulkan oleh dirimu sendiri."
"Tapi, hhhssh. Malu pak, teriak-teriak."
"Lah, yang penting udah lega. Ayo balik kelas, aku mau ke kantor."

Pak De berdiri seraya membayar jajanan Vika dan teh hangat seraya berjalan beriringan keluar.
"Pak, makasih banyak." Kata Vika menyalami Pak De dan mencium tangannya atau dalam istilah lainnya salim. Vika berjalan ke kelas sedangkan Pak De berlawanan arah.

Bersambung...

ScreenshotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang