tujuh

18.9K 465 29
                                    

Sesekali Jimin menoleh pada sosok Hanni yang masih terlelap di atas sofa. Rasa kasihan membuatnya enggan membangunkan sang wanita. Ia pun kembali menyibukkan diri dengan masakannya untuk sarapan.

Mencium aroma makanan yang dibuatnya membuat Jimin tersenyum. "Ini pasti lezat," gumamnya lalu mencicipi rasa masakannya. Kembali ia tersenyum, cukup puas dengan rasanya.

"Sepertinya enak."

Jimin menoleh. Karena keasyikan dirinya tak sadar kalau Hanni sedari tadi sudah bangun dan ada di sana. "Oh, kau sudah bangun. Kemarilah."

Tangan Jimin menyendok kuah sup. "Cicipi ini sedikit saja."

Hanni membuka mulut dengan pasrah. Dilihatnya Jimin meniup kuah itu guna mengurangi panasnya.

"Bagaimana?" tanya Jimin menatap antusias.

"Kau suka ciuman, ya."

"Hah?"

"Iya, rasanya keasinan. Persis sepertimu yang suka ciuman."

"Hanni! Mau kuperkosa sekarang?"

Wanita itu terkekeh geli. Entah apa yang dipikirkannya, kini ia malah bertindak berani dengan memeluk Jimin dari belakang membuat pria itu terkejut.

"Jim ...," lirihnya. "Kau bisa pakai aku kapan pun kau mau. Seperti yang kau katakan, aku ini sudah jadi budakmu. Tapi kumohon jangan berikan aku pada orang lain. Kau boleh menyiksaku atau membunuhku sekalian, tapi tolong ...."

"Apa pun yang akan kulakukan kau tak usah mengajariku, Hanni. Kau juga tak perlu mengingatkan akan hakku menidurimu. Karena aku sudah tahu semua itu."

Hanni terdiam. Pelukannya melemah.

"Sekarang mandi, lalu sarapan bersamaku. Aku akan pergi dari sini. Jika kau ingin Song Seo kembali menyiksamu, kau boleh tetap di sini. Jika tidak cepat lakukan yang kuperintahkan."

"Ba-baik ...." Hanni pun melepas pelukannya dan melangkah menjauh.

Jimin mematung memandangi kepergian wanita itu. Keraguan kembali merayap menghampiri hatinya membuat Jimin menarik napas panjang. "Jangan katakan iba ini telah mengubah rasaku padanya. Aku harus bertahan demi pembalasan dendamku."

Berhasil menguatkan hatinya, Jimin pun menata sarapan yang dibuatnya di atas meja makan. Menunggu Hanni dengan tenang di sana. Tak berapa lama berselang Hanni datang mengenakan pakaian casual miliknya.

Kaos berwarna gres dengan hotpants warna hitam. Goresan memar masih tercetak jelas di kedua kakinya. Jimin yang sekilas lalu merasa telah berhasil menguatkan dirinya kembali menggeram. Hatinya tersayat. Perih. Ia menggenggam erat garpu dan pisau stendles di tangan kiri. Menarik napas sekali lagi lalu memasang wajah dingin.

Hanni duduk dalam diam. Pernyataan Jimin tadi sudah cukup untuknya bersikap kembali sebagai budak. Menyerah pada nasib yang akan sama-sama hancur. Entah itu di tangan sang ayah atau di tangan Jimin. Semua sama saja.

"Katakan kenapa ayahmu ingin menjualmu?"

Hanni berhenti menyuapkan soup ke mulutnya. Wajahnya masih menunduk dalam ketika bibirnya mulai berucap. "Appa mengalami pailit karena proyek itu. Tak ada investor yang tertarik untuk menanam saham, dan perusahaan kekurangan modal, Tuan."

My Enemy, My Slave (Jimin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang